Masa Tenang yang ‘Tak’ Tenang : Menyongsong Pemilu 14 Februari 2024

Masa Tenang yang ‘Tak’ Tenang : Menyongsong Pemilu 14 Februari 2024

Malam lebih pintar dari politisi sekalipun

Malam juga telah dijadikan tempat bersembunyi

Menghindari dari permainan penuh intrik

Malam sedang dibuat kesepatan janji politik

Dengan mahar yang tersembunyi dilaci meja

Kesepakatan telah diambil dalam klausul penuh kompensasi

Malam telah menjadi saksi calon pemimpin yang telah terperas

Kehabisan modal hanya untuk menumpangi kereta



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Penyelenggaraan Pemilu di tahun 2024 sudah ada di depan mata pelaksanaannya, berbagai tahapan-tahapan pemilu sudah dilalui oleh setiap individu yang akan berlaga di Pemilu 2024 entah sebagai calon eksekutif (Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden) maupun sebagai calon yang nanti akan duduk di ranah legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kab/Kota). 


Adapun tahapan-tahapan Pemilu yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 167 Ayat 4 yang menyebutkan bahwa,

 “(4) Tahapan Penyelenggaraan Pemilu meliputi:

a. perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan Penyelenggaraan pemilu;

b. pemutaktriran data Pemilih dan penyusunan daftar Pemilih;

c. Pendaftaran dan Veirifikasi Peserta Pemilu;

d. penetapan Peserta Pemilu;

e. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;

f. pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;

g. Masa Kampanye Pemilu;

h. Masa Tenang;

i. Pemungutan dan pengitungan suara;

j. penetapan hasil Pemilu; dan

k. pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”.

Mengacu Pasal 167 Ayat 4 di atas pada dewasa ini (13/02/2024) kita sudah berada pada tahap masa tenang yang berlangsung pada tanggal 11 Februari 2024 hingga tanggal 13 Februari 2024 atau 3 (tiga) hari sebelum masa Pemungutan suara berlangsung. Sudah berbagai tahapan panjang dan penuh drama sebelum akhirnya sampai pada tahapan yang menentukan, yaitu masa pemungutan suara yang akan dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk memilih penerima tongkat estafet kepemimpinan (Presiden) selanjutnya dan memilih pada siapa rakyat akan menitipkan aspirasinya (Legislatif).

Lebih lanjut, sebelum tiba pada tahapan pemungutan suara terdapat satu tahapan yang dikenal dengan tahapan ‘masa tenang’. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mendefinisikan bahwa masa tenang merupakan,

“masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilu”.

Berdasarkan definisi tersebut artinya ‘segala’ tindakan ataupun aktivitas yang berbau kampanye diharamkan/dilarang pada masa tenang yang berlangsung selama 3 (tiga) hari ini, lebih lanjut adapun beberapa larangan yang tercantum dalam Pasal 278 Ayat 2 UU No 17 Tentang Pemilu menjelaskan bahwa,

“larangan bagi pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk:

a. tidak menggunakan hak pilihnya;

b. memilih Pasangan Calon;

c. memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu;

d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

e. memilih calon anggota DPD tertentu”.

Adanya tahapan masa tenang ini menurut hemat penulis diperlukan untuk memberikan serta menciptakan suasana yang tenang menjelang tahap pemungutan suara yang akan berlangung, masa tenang ini juga diperlukan untuk membersihkan berbagai atribut atau alat peraga kampanye yang terpasang di ruang-ruang publik yang tentu saja apabila tidak dibersihkan dan ditertibkan akan menganggu unsur estetika bahkan dapat merugikan masyarakat seperti kecelakaan akibat terkena alat peraga kampanye. Lebih lanjut, masa tenang juga diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat atau pemilih untuk mempertimbangkan calon pilihannya berdasarkan pengetahuannya yang di dapat ketika masa kampanye berlangsung.

Dirty Vote

Pada masa tenang yang sedang berlangsung pada dewasa ini, muncul sebuah film dokumeter yang digarap oleh Dandhy Dwi Laksono yang bertajuk ‘Dirty Vote’ yang rilis pada tanggal 11 Februari 2024 atau setelah gelaran kampanye akbar ketiga Capres dan Cawapres. Perilisan film ini ketika masa tenang sedang berlangsung sontak saja menyita perhatian dari masyarakat banyak, lantas mengapa perilisan film ini (Dirty Vote) berhasil mendapatkan attensi dari masyarakat banyak? Karena isi di dalam film ini menjelaskan dan mengungkap berbagai metode serta potensi kecurangan yang terjadi di Pemilu tahun 2024.

Di dalam film tersebut, disebutkan beberapa contoh penyimpangan serta potensi kecurangan di Pemilu 2024 tersebut. Contoh penyimpangan seperti putusan MK yang setuju untuk merubah frasa syarat usia minimum bagi Capres dan Cawapres yang pada akhirnya memuluskan langkah putra sulung Presiden Jokowi (Gibran Rakabuming) sebagai Cawapres pendamping Prabowo Subianto. Adapun contoh potensi kecurangan yang diangat dalam film tersebut, ialah penunjukan PJ kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang dianggap tidak transparan serta penunjukan PJ kepala daerah yang dinilai mal-administrasi oleh OMBUDSMAN, yang menurut angka PJ kepala daerah tersebut menguasai sekitar 140 juta DPT di berbagai wilayah di Indonesia.

Perilisan film ini (Dirty Vote) tentu saja menimbulkan pro-kontra serta berhasil mendapatkan attensi dari masyarakat Indonesia secara luas. Seharusnya pada dewasa ini kita berada di fase tenang yang notabene kita mempertimbangkan serta semakin memantapkan hati dan pikiran kita untuk memilih, dengan adanya perilisan film ini masa tenang yang seharusnya tenang justru tak kunjung kita dapatkan.

Refleksi

Tentu saja perilisan film tersebut (Dirty Vote) di masa tenang ini menjadi sebuah angin segar bagi masyarakat untuk semakin memantapkan pilihannya serta dapat dijadikan sebagai sebuah refleksi sebelum tahapan pemungutan suara (14 Februari 2024) dimulai, karya documenter tersebut dapat dijadikan sebuah refleksi serta pengingat bahwasanya Kekuasaan itu bersifat negatif (Syafiie, 2019). Lebih lanjut, film tersebut juga dapat dijadikan sebuah pengingat bahwasanya kekuasaan itu dapat memberikan sebuah efek kecanduan bagi mereka yang sudah merasakannya. Berbagai cara dilakukan guna semakin memantapkan pengaruh serta melanggengkan kekuasaan yang sedang dimiliki, termasuk menabrak konstitusi dan melalaikan etika berdemokrasi-bernegara. Singkat kata penulis teringat dengan kalimat yang dikeluarkan oleh Lord Acton,

“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority; still more when you superadd the tendency of the certainty of corruption by authority.”

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama