Ya, biarkanlah mereka,
biarkan mereka berpendapat, bukannya kemerdekaan mengeluarkan pendapat itu
dijamin undang-undang?
Pertanyaan mereka
sederhana, di tengah hampir semua institusi negara bicara tentang harusnya
membangun jiwa integritas, larangan KKN, pemberantasan narkoba, pemberantasan
judi online, stop bullying, dan masih
banyak kata-kata bijak yang keluar dari para pejabat kita. Namun justru kenapa
kejadian menjijikan itu malah makin marak terjadi, dan yang paling mengesalkan
pelakunya adalah mereka yang mestinya jadi barometer untuk pembawa keadilan di
negeri ini?
Sebagai contoh,
keterlibatan para pemangku kepentingan dalam “Tragedi Kanjuruhan”, walaupun
kasusnya masih dalam penyelidikan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta
(TGIPF), namun jika rasa malu ada dalam benak para pemangku kebijakan yang
terlibat tadi, semestinya tidak perlu lagi menunggu hasil penyelidikan, tidak
perlu masyarakat mengatakan dan memaksa untuk mundur. Namun dengan sadar dan
legowo mereka seharusnya menyatakan bertanggung jawab dan mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai bentuk rasa malu atas tragedi terbesar dalam
persepakbolaan kita di dunia.
Masih hangat kejadian
tukang jualan narkoba, justru pelakunya bukan mereka yang melarat, tapi mereka
yang punya pangkat. Kasus lainnya yaitu dugaan korupsi tingkat kakap yang
ditangkap oleh KPK yaitu segelintir oknum pemberi keadilan tertinggi di negeri
ini, sungguh perbuatan yang sangat memalukan, yang harusnya menjadi benteng
terakhir pemberi keadilan di negeri ini, namun karena hilangnya rasa malu,
mereka bersekongkol menghianati kepercayaan masyarakatnya.
Jikalau saya tuliskan
semua obrolan warung kopi dari kaum melarat tadi, tentunya tidak akan
selesai-selesai, dan pastinya juga akan menjadi tulisan yang berjilid-jilid.
Begitu merebaknya
penyuapan, korupsi, kolusi, nepotisme dan kejahatan-kejahatan lainnya yang
dilakukan oleh oknum yang memiliki “harkat, pangkat dan martabat” tadi adalah
salah satu wujud dari hilangnya rasa malu. Merebaknya kelakuan menjijikan
tersebut dikarenakan perilaku tersebut dianggap sudah biasa, umum dan bukan
sebuah aib bagi diri dan keluargnya.
Jangan sampai kita
memandang suatu kejahatan yang biasa dan umum dilakukan menjadi suatu
kebenaran. Namun biasakanlah untuk berbuat benar walaupun kamu sendirian.
Hilangnya rasa malu itu
tidak hanya pada diri mereka saja, namun kita pun harus mawas diri, mungkin
kejadian memalukan tersebut terjadi pada diri kita atau berada pada lingkaran
lingkungan kita.
Banyak kisah yang bisa
kita jadikan cermin bahwa budaya malu mulai hilang dari peradaban ketimuran kita.
Mulai dari lingkungan kecil keluarga, sampai pada lingkup besar tatanan
kenegaraan.
Mungkin kita sering
melihat anak-anak kita di rumah dengan cueknya nonton TV atau bertiktok ria
dengan androidnya, sementara di depan matanya sang ibu sibuk menyapu dan
mengepel lantai. Kelihatannya merupakan hal yang sepele, namun hal itu sungguh
menyedihkan dan memalukan bukan? Atau kita sebagai orang tua menganggap
biasa-biasa saja?
Pernahkah kita berbuat
perbuatan sepele yaitu melempar sampah bekas makanan dari dalam mobil ke jalan,
tanpa merasa berdosa dan malu sedikit pun.
Menerobos lampu merah
adalah suatu yang biasa dan memaklumi diri kita sendiri karena kita takut
kesiangan kerja?
Siswa di sekolah dengan
santainya menyontek ketika ulangan kepada temannya, atau melihat buku catatan. Tidak
ada dalam bahasa tubuh mereka gemeteran, atau terlihat merah raut wajahnya atau
merasa malu ketika ketahuan oleh gurunya.
Ketika waktu jam sibuk,
mendapatkan tempat duduk ketika naik KRL memerlukan perjuangan yang luar biasa.
Ketika mendapatkan tempat duduk, dan di hadapan ada seorang perempuan hamil 9
bulan, atau orang tua renta berdiri di depannya, jarang orang yang mau mengalah
untuk mempersilahkan wanita hamil atau orang tua renta itu untuk duduk. Lebih
baik pura-pura saja tidak melihat, dengan pura-pura main HP atau mungkin
pura-pura tidur.
Itulah sekelumit
realitas kejadian yang terjadi di lingkungan kita sehari-hari. Sebuah realitas
dari perbuatan yang dianggap kecil, namun berdampak besar pada
karakter-karakter yang dibangun dalam perilaku yang lebih besar lagi. Membangun
alibi seolah-olah apa yang dilakukannya adalah perbuatan yang umum, dan dapat
dibenarkan dengan berbagai dalih pembenaran.
Bukankah suatu hal yang
biasa dan menjadi rahasia umum, untuk menduduki suatu jabatan banyak terjadi
tikung menikung walaupun dengan teman sendiri? Persahabatan yang dipupuk sejak
lama harus pudar karena sikap tidak sportif dan memalukan seperti itu.
Jikalau perbuatan yang
memalukan di atas dibiarkan begitu saja, saya yakin negara sekuat apapun akan
tumbang dan terhinakan. Kita kenal Negara Somalia yang terletak di Benua Afrika
Timur, dulunya negara kaya raya, karena para pejabatnya dan rakyatnya sudah
melupakan budaya malu, maka negaranya hancur dan berubah menjadi negara yang
sangat miskin.
Bagaimana dengan negara
kita? Corruption Perceptions Index
yang dirilis oleh Transparency
International tahun 2021 menempatkan Indonesia berada pada urutan ke 96
dari 180 negara dengan skor 38 dari sekala 100. Semakin kecil skornya maka
kepercayaan masyarakat terhadap negaranya juga semakin kecil. Negara dengan Corruption Perceptions Index terbesar
adalah Denmark, Finlandia dan New Zealand yang secara masyarakat internasional
pun semua mempercayainya. Kita memang harus banyak belajar pada ketiga negara
tersebut.
Kepercayaan masyarakat
Indonesia terhadap penyelenggara negaranya yang minim, diakibatkan oleh
perilaku-perilaku ketauladanan yang minim pula. Bagaimana tidak, hampir setiap
saat terjadi kasus-kasus korupsi, para pelaku kejahatan melenggang begitu saja
tanpa rasa malu, malahan dengan berompi orange tahanan KPK tersenyum dan
melambaikan tangan pada rakyatnya, sekali lagi dengan tanpa rasa malu.
Tindakan pencegahan
dengan membiasakan hal-hal yang baik dan benar dan melawan segala bentuk
tindakan kejahatan dalam sebuah lembaga adalah sebagai upaya penyelamatan
negara ini dari suatu kehancuran.
Memupuk kembali rasa
malu, malu berbuat tidak jujur, malu untuk menyuap, malu untuk menerima suap,
malu berbuat tidak adil, malu untuk berbuat segala sesuatu yang tidak baik,
baik untuk diri sendiri maupun untuk lingkungan sekitar kita, seharusnya menjadi
itikad setiap diri yang bisa dipupuk di semua lini kehidupan kita. Tentunya
kita mulai dari diri kita.
Ya, benar sekali jika
ada sebuah ungkapan bahwa mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang
kecil. Karena dari sana perubahan itu akan terjadi. Mulailah dari lingkungan
sekitar kita, baru mengepakkan sayap pada lingkungan yang lebih besar lagi.
Tanpa sikap seperti itu, perubahan ke arah yang lebih baik tidak akan pernah
terjadi, malahan yang terjadi adalah saling menyalahkan, saling mencurigai, dendam
kesumat dan perilaku-perilaku kontra produktif yang akan menjadikan bangsa ini
menjadi sangat lemah.