Maka, inilah Liga
Korupsi Indonesia. Tak ada trofi di sini. Tak ada standing ovation. Hanya
rakyat yang lelah dan negara yang terkuras. Kita, yang duduk di tribun, bukan
penonton, melainkan korban.
Mari kita buka catatan
hitam republik ini.
Tahun demi tahun,
daftar skandal bertambah panjang. Miliaran, triliunan rupiah menguap. Dari
kasus BLBI, Jiwasraya, Asabri, hingga proyek BTS. Dari meja birokrasi hingga
ruang sidang DPR. Dari kantor bupati hingga istana. Dan di atas semua itu, ada
kasus yang baru saja pecah: korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, dengan angka
yang nyaris tak masuk akal—hampir satu kuadriliun rupiah.
Berapa uang yang
dicuri? Rp 968,5 triliun selama lima tahun. Itu bukan hanya angka di layar
kalkulator. Itu adalah puluhan juta anak yang tak bisa sekolah. Itu adalah
ribuan rumah sakit yang tak dibangun. Itu adalah jalan-jalan yang tetap
berlubang, desa-desa yang tetap miskin, dan petani yang tetap merugi.
Dan siapa yang
bertanggung jawab? Siapa yang akhirnya dikorbankan? Pejabat kelas menengah.
Bukan mereka yang duduk di puncak, bukan yang menciptakan sistem. Liga ini,
seperti kompetisi yang dimainkan oligarki, hanya menjatuhkan pion, bukan raja.
Di negeri ini, korupsi
tidak pernah benar-benar dihukum. Ia sekadar dikoreksi. Kadang disesalkan,
kadang dihukum ringan, kadang diampuni.
Dalam banyak kasus,
hukuman bagi koruptor lebih ringan dibanding pencuri ayam. Seorang nenek di
Banyumas divonis 1,5 tahun penjara karena mengambil singkong di kebun orang,
sementara seorang pejabat yang merampok miliaran uang rakyat sering kali bebas
sebelum masa tahanannya habis.
Kita bisa lihat
bagaimana vonis koruptor selalu diiringi dengan kemungkinan remisi. Hukuman
seumur hidup nyaris tak pernah benar-benar berarti seumur hidup. Uang yang
dicuri jarang kembali. Dan setelah keluar dari penjara, mereka tetap bisa
melanjutkan hidup dalam kemewahan.
Hukum, di negeri ini,
adalah hukum yang lentur. Di tangan orang kecil, ia tajam. Di tangan penguasa,
ia bisa ditekuk seperti karet.
Mengapa ini terjadi?
Karena korupsi bukan
sekadar kejahatan individu. Ia adalah sistem. Ia seperti virus yang menginfeksi
organ negara dari dalam. Tak ada keputusan politik besar di negeri ini yang
tidak dikalkulasi dengan kepentingan modal. Tak ada kebijakan publik yang
benar-benar steril dari lobi-lobi gelap.
Demokrasi kita adalah
demokrasi yang dijalankan oleh uang, dan setiap jabatan adalah investasi.
Seorang kepala daerah menghabiskan miliaran rupiah untuk kampanye, seorang
anggota DPR harus menyetor kepada partai. Maka, begitu mereka terpilih, apa
yang mereka lakukan? Mengembalikan modal.
Di negeri yang korup,
politik adalah bisnis. Negara adalah korporasi. Dan kita, rakyat, hanya
pemegang saham tanpa suara.
Liga Korupsi Indonesia
tidak akan berhenti hanya karena satu dua koruptor ditangkap.
Sebab setiap tahun,
selalu ada juara baru. Jika bukan pejabat, maka pengusaha. Jika bukan di
kementerian, maka di proyek infrastruktur. Mereka bukan orang bodoh. Mereka
paham bagaimana sistem bekerja. Mereka punya tim hukum. Mereka punya jaringan.
Dan mereka tahu, selama mereka bisa berbagi hasil dengan orang yang tepat,
mereka akan selamat.
Korupsi di Indonesia
bukan sekadar penyalahgunaan kekuasaan. Ia adalah bagian dari cara kerja
negara. Ia telah menjadi budaya yang diwariskan, sistem yang dilestarikan, dan
mekanisme yang tak bisa dihapus hanya dengan sekadar regulasi.
Lalu, apa yang bisa
dilakukan?
Hukum bisa diperbaiki.
Hukuman bisa diperberat. KPK bisa diperkuat kembali. Tapi selama politik masih
dibiayai oleh uang gelap, selama pemilih masih bisa dibeli, selama media lebih
suka berselingkuh dengan kekuasaan, selama aparat penegak hukum bisa
dinegosiasikan, selama sistem hukum tetap berat sebelah—maka korupsi hanya akan
berpindah tangan, bukan berhenti.
Yang bisa menghentikan
korupsi bukan sekadar penegakan hukum, tapi perubahan mentalitas politik. Bukan
sekadar vonis, tapi perubahan sistem yang memungkinkan kekuasaan untuk diawasi
dengan ketat.
Dan itu hanya bisa
terjadi jika rakyat tidak lagi diam. Jika suara bukan lagi barang dagangan. Jika
politik bukan lagi panggung sandiwara.
Tapi di negeri ini, itu
terdengar utopis.
Liga Korupsi Indonesia
adalah cerita yang berulang.
Tahun ini ada juara
baru. Tahun depan ada lagi. Koruptor yang lama ditangkap, koruptor yang baru
muncul. Negara terus merugi. Rakyat terus dirugikan. Dan kita, seperti biasa,
hanya bisa menonton.
Tapi sampai kapan kita
hanya menjadi penonton?
Mungkin suatu hari
nanti, liga ini bisa dibubarkan. Tapi tidak hari ini. Tidak selama para bandit
masih mengendalikan permainan. Tidak selama kita masih diam.
Maka pertanyaannya
bukan lagi siapa pemenang Liga Korupsi tahun ini.
Tapi sampai kapan kita
membiarkan mereka menang?