Influencer memiliki
tugas penting untuk menyampaikan keyakinan dan perspektif mereka kepada
pengikut mereka. Dalam PEMILU dan PILKADA, influencer memiliki kemampuan untuk
mengubah persepsi publik tentang partai politik atau kandidat dengan cara yang
lebih mudah diterima oleh masyarakat. Influencer dapat menyederhanakan pesan
politik yang berat dan sulit dipahami.
Media sosial sekarang
menjadi tempat utama di mana orang berinteraksi satu sama lain, dan cara
kampanye politik berjalan dipengaruhi oleh hal ini. Instagram, TikTok, dan
YouTube telah berkembang menjadi platform yang sangat efektif untuk menyebarkan
pesan iklan dengan cepat dan ke seluruh populasi. Banyak politisi telah
menggunakan strategi digital yang melibatkan influencer untuk merangkul pemilih
muda selama pemilihan dan pemilihan 2024. Lebih dari 68% orang Indonesia aktif
menggunakan media sosial, menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar untuk
kampanye politik digital, menurut laporan We Are Social tahun 2023. Influencer
dengan audiens yang luas dan beragam sangat penting untuk memanfaatkan platform
ini untuk menyampaikan pesan politik secara lebih cepat dan masif.
Seperti dilansir dari
Kompas.id edisi 04/01/2024, seorang influencer dapat membuat video pendek
tentang tujuan calon presiden, wakil presiden serta calon Kepala daerah baik
ditingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten serta menyampaikankannya dengan cara
yang inovatif, seperti menggunakan infografis, komedi, atau tantangan yang
populer. Hal ini membuat generasi muda, khususnya mereka yang biasanya tidak
terlalu tertarik dengan politik, lebih tertarik dan menyadari pentingnya
pemilu.
Namun, ada kemungkinan
bahwa pesan yang mendalam atau kritis akan hilang jika konten politik hanya
mengikuti tren atau menjadi viral. Narasi politik dapat berubah menjadi konten
hiburan. Hal ini dapat mengurangi kedalaman pembicaraan tentang masalah penting
seperti lingkungan, kebijakan ekonomi, dan pendidikan. Dalam beberapa situasi,
politisi lebih cenderung memilih konten yang menarik perhatian daripada yang
memberikan pemilih wawasan yang relevan. Akibatnya, kampanye menjadi kurang
menarik.
Pada PEMILU 2024
menunjukkan bahwa kampanye politik telah mengalami pergeseran besar dari
pendekatan konvensional ke pendekatan digital. Media sosial sekarang menjadi
alat penting bagi politisi untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat
(Arighi . 2024), berbeda dengan masa lalu ketika politisi berkonsentrasi pada
baliho, debat terbuka, atau iklan televisi. Saat ini, influencer sangat penting
dalam ekosistem ini karena mereka memiliki kemampuan untuk memobilisasi
pengikutnya untuk mendukung kandidat tertentu atau sekadar meningkatkan
kesadaran tentang pentingnya pemilu.
Ada kritik terhadap
peran influencer dalam politik di balik potensinya. Salah satunya adalah
gagasan bahwa influencer seringkali tidak memiliki pemahaman yang mendalam
tentang masalah politik dan hanya berkonsentrasi pada aspek luar dari kampanye.
Hal ini dapat menyebabkan pemilih tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang program
yang ditawarkan oleh kandidat. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kampanye yang
bergantung pada popularitas influencer dapat merusak demokrasi. Pemilih mungkin
memilih kandidat berdasarkan pengaruh figur publik yang mereka idolakan, bukan
program atau kualitas kepemimpinan.
Dalam beberapa situasi,
politisi dan influencer yang tidak memperhatikan etika dapat bekerja sama untuk
menghasilkan hasil yang merugikan. Misalnya, ketika seorang influencer
memberikan dukungan kepada kandidat hanya karena mereka dibayar, tanpa memahami
konsekuensi dari dukungan tersebut. Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan
tentang kredibilitas dukungan tersebut dan apakah itu masuk dalam kategori
manipulasi politik.
Sebagian besar
influencer terkenal karena konten hiburan, tetapi banyak dari mereka sekarang
menggunakan platform mereka untuk berbicara tentang masalah penting, seperti
politik dilansir dari Kompas.id edisi 16 Maret 2024. Influencer yang menyadari
tanggung jawab sosial mereka telah menunjukkan bahwa mereka dapat
berpartisipasi dalam peran edukatif, bukan hanya menghibur. Mereka memiliki
kemampuan untuk menyampaikan informasi tentang visi-misi kandidat yang
sederhana namun bermakna, memfasilitasi pembicaraan politik, dan mengajak
pengikut mereka untuk terlibat dalam proses politik yang lebih besar, seperti
mendaftar sebagai pemilih dan berpartisipasi aktif dalam pemilu.
Contohnya adalah
influencer yang memberikan informasi tentang hak-hak pemilih, cara memilih
dengan benar, atau bahkan memberikan instruksi singkat tentang cara mengikuti
debat kandidat dengan hati-hati. Metode ini tidak hanya meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang politik, tetapi juga membantu pemilih muda belajar tentang
proses politik formal.
Membangun kepercayaan
melalui transparansi adalah salah satu cara influencer dapat memiliki pengaruh
yang lebih besar dalam kampanye pemilu (Ilham , 2022). Influencer yang terlibat
dalam kampanye politik harus jujur tentang dukungan yang mereka berikan, apakah
itu karena hubungan komersial atau karena keyakinan pribadi. Sangat penting
bagi mereka untuk tetap terbuka sehingga pengikut mereka tidak merasa ditipu.
Selain itu, politisi
harus lebih selektif dalam memilih influencer untuk bekerja sama. Mereka harus
memastikan bahwa influencer tersebut memahami dan mendukung tujuan kampanye
politik daripada hanya mengejar popularitas di media sosial. Dengan cara ini,
kampanye politik dapat lebih berfokus pada substansi daripada sekadar mengejar
popularitas sosial.
Terlepas dari fakta
bahwa influencer memainkan peran penting dalam kampanye pemilu, penting bagi
mereka untuk mempertahankan moralitas dan tanggung jawab mereka. Di era
disinformasi yang cepat menyebar, influencer dapat menjadi pedang bermata dua:
mereka bisa menjadi sumber informasi yang baik atau justru menyebarkan
informasi palsu yang memperburuk polarisasi politik. Oleh karena itu, mereka
harus memastikan bahwa informasi yang mereka bagikan akurat dan jika ada unsur
komersial dalam dukungan politik, itu harus diungkapkan secara terbuka kepada
publik.
Penggunaan influencer
dalam kampanye politik telah diatur di banyak negara (Dharta 2024). Sebagai
contoh, beberapa negara mewajibkan influencer untuk mencantumkan label
"berbayar" atau "endorse" selama kampanye mereka untuk
kandidat tertentu. Tujuannya adalah untuk tetap jelas dan mencegah opini publik
dimanipulasi. Langkah-langkah serupa di Indonesia mungkin menjadi pertimbangan
penting untuk PEMILU dan PILKADA, karena kepercayaan masyarakat terhadap proses
pemilu harus dipertahankan.
Pada akhirnya, peran
pengaruh Influencer dalam PEMILU dan PILKADA dapat berbahaya. Mereka memiliki
potensi untuk meningkatkan partisipasi politik antara pemilih muda dan politisi
melalui peran penting mereka. Namun, tanpa etika dan tanggung jawab yang jelas,
mereka dapat mendorong opini publik ke arah yang tidak sehat. Oleh karena itu,
transparansi, kejelasan informasi, dan edukasi politik yang efektif harus
menjadi prioritas bagi influencer, politisi, dan pemilih.