Kolase Berbagai Sumber (Dok. Keluarga Besar Salawati Daud - Arsip Nasional Republik Indonesia) |
Suasanya sejuk, asri,
udaranya pun segar. Sebab Kamp Plantungan terletak di kaki Gunung Prau.
Pemerintah Hindia-Belanda dulu menggunakan tempat tersebut sebagai pusat
isolasi penderita lepra.
Perempuan yang nyaris
berkepala tujuh tersebut kemudian menghela napas dalam-dalam, mencoba
mengumpulkan kembali kewarasan setelah rezim baru datang sembari menumpahkan
darah. Salawati Daud, nama perempuan yang sudah uzur tersebut, kembali
mengenang masa-masa perjuangannya untuk Indonesia di Sulawesi Selatan.
Sekarang, dua dekade
setelah reformasi, Salawati Daud dan segala jasanya untuk negeri ini masih
hilang tak berbekas. Ia dilempar ke dalam kasta pariah sejarah lantaran
statusnya sebagai anggota Gerwani. Orde Baru menghapus secara sistematis segala
jasa dan capaian tokoh-tokoh yang terkait dengan partai berlambang palu-arit
itu, termasuk Salawati.
1. Lahir di Sangihe, Salawati pindah ke Makassar
pada akhir dekade 1920-an
Pemandangan Pasarstraat (kini menjadi Jalan Nusantara) di Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1900 sampai 1920. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures) |
Salawati Daud lahir dengan nama asli Charlotte
Salawati di Tariangbaru, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada 20 April 1909.
Tak banyak yang bisa dijelaskan dari masa kecil dan remajanya.
Namun beberapa
sejarawan sepakat ia berasal dari keluarga terpandang. Sempat aktif di kancah
politik Sulawesi Utara, ia memilih pindah ke Makassar pada usia 20-an awal. Di
salah satu pusat administrasi Hindia-Belanda tersebut, Salawati pelan-pelan
merintis jalan sebagai aktivis perempuan.
Ia memulai karier di
dunia politik sebagai anggota Perserikatan Celebes. Beberapa tahun kemudian
Salawati jadi bagian dari Partai Indonesia (1933-1937) dan Partai Indonesia
Raya (1937-1945). Selain itu, Salawati kerap mengirim beragam tulisannya
perihal politik, nasionalisme dan perempuan ke sejumlah surat kabar lokal.
Masuk umur 45 tahun, ia
diakui secara luas salah satu tokoh perempuan terkemuka di Sulawesi dan
Makassar. Dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi (Kementerian
Penerangan Republik Indonesia, 1954), disebutkan bahwa Salawati memimpin
redaksi majalah Wanita yang didirikan tahun 1948. Terbit dua kali
sebulan, majalah ini sempat mencapai oplah 1.000 eksemplar.
2. Salawati sempat mengkonfrontir langsung
Westerling usai kampanye militer brutalnya di Sulsel
Setleah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Jakarta tak sempat
membentuk pemerintahan di Makassar dan Sulawesi. Seluruh wilayah timur dan
sebagian Kalimantan sepakat melebur dalam Negara Indonesia Timur (NIT), negara
sempalan bentukan administrasi Belanda-NICA.
Sam Ratulangi, Gubernur
Sulawesi, dan pejabat-pejabat Republiken kemudian ditangkap oleh polisi
Belanda. Kontan ini memicu kemarahan kelompok pemuda dan pelajar. Pada 1946,
mereka sepakat tergabung dalam kesatuan gerilya pimpinan Ranggong Daeng Romo.
Akhir tahun 1946, kabar
kekejian regu Depot Speciale Tropen (DPT) pimpinan Kapten Raymond
Westerling sampai di telinga Salawati. Dalam buku Peranan Wanita Indonesia
di Masa Perang Kemerdekaan, 1945-1950 (Depdikbud, 1986), ia dan tujuh
tokoh perempuan lain seperti Sikado Dg. Nai, Djohariah dan Tjongkeng mengirim
petisi kecaman ke Van Mook, kepala administrasi NICA di Batavia. Salawati
bahkan sempat mengkonfrontir alias berhadapan langsung dengan Westerling,
saat Si Turki berada di Makassar.
Khawatir dengan
keselamatannya, Salawati Daud ikut menyingkir ke hutan. Di sana, ia bertemu
dengan sesama pejuang perempuan yakni Emmy Saelan. Tiga tahun jalani medan
gerilya, ia berkeliling Sulsel mengajak rakyat menolak kehadiran kembali
Belanda.
3. Salawati memimpin penyerangan pos militer Belanda
di Masamba, 29 Oktober 1949
Kondisi sebuah tangsi dan pos militer Belanda yang berada di Masamba, Luwu, Sulawesi Selatan, pada November 1949. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief) |
A. Budi Susanto dalam
buku Politik & Postkolonialitas di Indonesia (Kanisius, 2003)
bahkan menulis bahwa ia menjadi salah satu inisiator sekaligus pemimpin pejuang
di peristiwa "Masamba Affair", saat rakyat Luwu dan pejuang menyerbu
pos militer Belanda di Dusun Pambusu, Desa Rompu, Kecamatan Masamba, pada 29
Oktober 1949.
Sempat ditangkap
Belanda awal November 1949, Salawati dibebaskan tak lama setelah Konferensi
Meja Bundar. Lepas dari terungku, ia diangkat menjadi salah satu dari lima
anggota Dewan Kolegial Kota Makassar.
Saat itu, Dewan
Kolegial (setingkat Wali Kota) merupakan dewan eksekutif di tingkat kota.
Anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh lokal terkemuka keturunan Belanda,
Tionghoa, Indonesia, campuran dan sebagainya. Salawati saat itu jadi satu-satunya
perempuan saat itu.
Atas dasar tersebut,
peneliti Dhianita Kusuma Pertiwi di tahun 2018 silam menyebut Salawati Daud
sebagai "Wali Kota pertama" sepanjang sejarah Indonesia. Pengaruh
yang besar di kalangan pejuang mengantarnya duduki satu kursi Dewan Kolegial
Makassar pada tahun 1949 hingga 1950, alias tahun-tahun terakhir keberadaan
NIT.
4. Aktif mengurus masalah integrasi prajurit KNIL ke
TNI, dan jadi juru runding pemerintah dengan kelompok Kahar Muzakkar
Kapten Andi Azis
bersama kompinya memberi penghormatan kepada pejabat NIT, APRIS dan KNIL
setelah resmi menjadi bagian dari APRIS pada awal tahun 1950. (Dok. Keluarga
Besar Andi Djuanna Daeng Maliungan)
Ketika menjabat anggota
Dewan Kolegial Kota Makassar, Salawati berperan aktif dalam dinamika lokal
pasca KMB dan hengkangnya NICA-Belanda. Salah satunya saat Kapten Andi Azis dan
serdadu KNIL lainnya melakukan "pemberontakan melawan Indonesia" pada
5 April 1950 dan awal Agustus 1950.
Padahal selama beberapa
bulan sebelumnya, Salawati Daud aktif menjadi penghubung antara Jakarta dan
Makassar untuk usaha integrasi para serdadu bekas KNIL ke dalam TNI. Usai upaya
integrasi KNIL berakhir buntu, Salawai belum ingin menyerah. Pada 26 Agustus
1950, Salawati melalui Komisi Djasa Baik Masalah Gerilja Sulawesi Selatan
bentukannya datang menghadap Presiden Soekarno.
Ditulis Cornelis
van Dijk dalam buku Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Pustaka Utama
Grafiti, 1987), Salawati berulang kali menemui Bung Karno dan pejabat-pejabat
lain membahas nasib para gerilyawan KGSS. Hasilnya, Perdana Menteri Mohammad
Natsir pada 10 Oktober 1950 membentuk panitia penyelidik independen untuk
masalah integrasi gerilyawan Sulawesi ke TNI.
Di tengah jalan, kubu
Kahar Muzakkar terlibat debat sengit dengan Letkol TNI Alex Kawilarang perihal
nasib banyak anggota KGSS. Salawati menjadi penengah antara TNI dan Kahar
Muzakkar. Ia bahkan rela mendatangi basis pasukan pimpinan Kahar di pedalaman
Enrekang sebanyak dua kali. Namun, pecah kongsi tak terelakkan.
Kelak, Kahar menyatakan
diri tergabung dalam gerakan DI/TII pimpinan S.M. Kartosuwiryo dan menebar
teror hingga 1965. Sementara itu Letkol Kawilarang terlibat dalam peristiwa
Permesta di tahun 1958.
5. Usai G30S, Salawati Daud dijebloskan ke Kamp
Plantungan tanpa proses pengadilan
Kondisi Kamp Plantungan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang menjadi tempat tapol wanita yang dituduh terlibat dalam gerakan G30S. (Dok. Sekretariat Bersama '65) |
Kondisi Kamp Plantungan
di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang menjadi tempat tapol wanita yang dituduh
terlibat dalam gerakan G30S. (Dok. Sekretariat Bersama '65)
Di tahun 1950 juga,
Salawati Daud ikut andil dalam membentuk organisasi perempuan nasional Gerakan
Wanita Sedar (Gerwis) dan menjadi pengurusnya. Di kemudian hari, Gerwis ini
berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Tahun 1953 ia keluar
dari Partai Kedaulatan Rakyat, partai yang ia asuh sejak 1948. Jelang Pemilu
1955, Salawati memilih Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai tempat baru
karier politiknya.
Amurwani Dwi
Lestariningsih, dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (Gramedia,
2011), menjelaskan bahwa PKI memilih Salawati sebagai salah satu dari enam
kader perempuan di DPR-RI usai meraup 6,1 juta suara dalam Pemilu pertama
tersebut.
Bekerja sebagai anggota
dewan, Salawati memboyong keluarganya ke Jakarta. Di ibu kota, ia kian aktif
membesarkan Gerwani dan terpilih menjadi Wakil Ketua II. Jabatan wakil rakyat
dan petinggi Gerwani diembannya hingga 1965. Selama kurun waktu tersebut, ia
aktif dalam kampanye hak perempuan dan kritik atas pembangunan yang tak merata.
Namun lantaran bersinggungan
dengan PKI-Gerwani, Salawati Daud dijebloskan ke penjara pada pertengahan
Oktober 1965, dua pekan pascaG30S, tanpa melalui proses pengadilan. Sempat
mendekam di Penjara Bukit Duri Jakarta, ia kemudian dipindahkan ke Kamp
Plantungan. Ia baru keluar 1978.
Ia mengembuskan napas
terakhir di Jakarta pada tahun 1985, di usia 76 tahun. Satu-satunya penghargaan
hanya adopsi Salawati Daud menjadi nama salah satu ruas jalan di Kecamatan
Masamba, Kabupaten Luwu Utara.
Referensi Catatan Histori: