Gelanggang Setan Pemilu: Kemiskinan, Kebodohan dan Politik

Gelanggang Setan Pemilu: Kemiskinan, Kebodohan dan Politik



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Terpeliharanya kemiskinan, kebodohan untuk tujuan Politik dalam kontestasi Pilpres 2024 menjadi semakin menarik. Karena sepanjang masa kampanye, puluhan jenis bantuan sosial dikucurkan pemerintah pusat kepada masyarakat luas. Tak main-main, total anggarannya bahkan nyaris menyentuh angka Rp 500 triliun. Jumlah fantastis tersebut bahkan lebih tinggi ketimbang penanganan pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Dikatakan dosen Bivitri Susanti, penyalurannya pun secara acak. Artinya, tidak sesuai dengan jumlah masyarakat yang membutuhkan. Bansos yang sejatinya digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan penyambung hajat hidup orang banyak, seolah kehilangan esensinya selama masa pemilu kali ini.

Hubungan antara kemiskinan dan politik sebetulnya masuk kategori ‘lagu lama’. Politisi sering memanfaatkan isu kemiskinan sebagai alat untuk mendulang dukungan, mempertahankan atau meraih kekuasaan, bahkan untuk menggulingkan pemerintahan yang ada. Mereka menganggap isu kemiskinan yang ada di masyarakat sebagai salah satu poin sentral dalam strategi politiknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Antonio Gramsci yang mengatakan bahwa politisi yang ingin berkuasa harus dapat mengidentifikasi dan memperjuangkan isu-isu yang relevan bagi rakyat, termasuk kemiskinan.

Namun, dalam kenyataannya, janji-janji politik untuk mengatasi kemiskinan umumnya tidak terealisasi dan bahkan diabaikan setelah politisi yang bersangkutan meraih kekuasaan. Masyarakat yang telah dieksploitasi lantas ditinggalkan begitu saja bersama janji-janjinya setelah pemilu selesai. Rantai kemiskinan memang tidak semudah itu untuk ditaklukan. Kemiskinan adalah masalah struktural yang melibatkan banyak sektor sekaligus, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Karena itu, perlu rumusan yang lebih matang dan melibatkan banyak lapisan masyarakat demi taraf hidup lebih baik ketimbang sekedar bansos yang sifatnya sementara.

Sayangnya, tak semua masyarakat memahami konsep di atas. Sulitnya kehidupan membuat mereka tak punya kesempatan dan ruang untuk berpikir kritis. ‘Yang penting bisa makan hari ini’ menjadi slogan yang banyak diaminkan oleh sebagian besar masyarakat yang berada jauh di bawah garis kemiskinan. Kondisi inilah yang lantas dimanfaatkan para politisi bertindak culas. Ia datang dengan bansos sekarung beras, berusaha melenakan masyarakat yang dalam kondisi tak terjamah pengetahuan dan kelaparan. Masyarakat yang masih polos, tentu menyambutnya dengan senang hati tanpa pikir panjang.

Hal ini menjadi bukti bila pendidikan menjadi faktor penting untuk menangani politisi nakal selama masa pemilu. Pendidikan memberikan warga negara pengetahuan dan pemahaman tentang isu-isu politik, partai politik, kandidat, dan platform mereka. Ini memungkinkan pemilih untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi dan rasional saat memilih. Pendidikan meningkatkan kemampuan pemikiran kritis dan analitis seseorang. Ini memungkinkan pemilih untuk menilai argumen politik dengan lebih baik dan mengevaluasi klaim kandidat secara kritis. Pemilih yang terdidik cenderung memahami pentingnya kebijakan publik dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung mendukung kandidat yang memiliki platform kebijakan yang kuat. Berbanding terbalik dengan pemilih yang kurang terdidik, mereka lebih mengedepankan sisi ketokohan, gimmick, bahkan politik uang menjadi acuan pemilih. Mengutip dari Rocky Gerung dalam pidatonya di Dewan Kesenian Jakarta, 2010, ia mengatakan merawat publik perlu mengaktifkan akal sehat.

 “Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of hope, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of fear, karena di situlah statistik pemilu dipertaruhkan”

Mengaktifkan akal sehat praktis bukan perkara mudah. Ada proses panjang pendidikan di dalamnya yang belum bisa dinikmati sebagian besar masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pada Juni 2022, dari total penduduk Indonesia sebesar 275,36 juta jiwa, hanya 6,41 persen yang telah menempuh pendidikan tinggi. Sementara mayoritas penduduknya masih berada di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Adapun yang belum tamat SD atau bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,61 persen. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan masih sangat terbatas bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Data tersebut juga menunjukkan bahwa masih ada tantangan besar dalam memastikan bahwa pendidikan yang berkualitas dan terjangkau dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Karena itu, diperlukan upaya bersama dari berbagai lapisan masyarakat demi menciptakan kebijakan yang inklusif dan program-program yang efektif untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dan peluang ekonomi bagi semua warga negara.

Masalah politik, kemiskinan, dan pendidikan seakan menjadi lingkaran setan yang sulit ditaklukan. Ketiganya tak bisa menyelesaikan masalah satu sama lain bila tidak ada kesatuan sinergis untuk memutus rantainya. Tapi, sayangnya para politisi yang notabene punya pendidikan dan ekonomi yang lebih baik, enggan untuk memberi kesadaran ke masyarakat. Mereka tahu betul, bansos bukanlah solusi yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan. Sebab, sifatnya amat sementara dan terbatas periode. Akan tetapi, mayoritas mereka bungkam dan memilih untuk terus meninabobokan masyarakat dengan program jangka pendek tersebut. Bukan tanpa alasan, kebodohan masyarakat yang terus dipelihara dan pengharapan yang tinggi pada bansos akan membuat masyarakat setempat menjadi ketergantungan. Ia bergantung pada politisi terkait serta seluruh koloninya yang bisa memberikan bansos secara cepat dan banyak. Visi para politisi pun seiring waktu semakin remeh-temeh, bukannya meningkatkan pendidikan masyarakat dan memberikan lapangan pekerjaan, justru melenakannya dengan bansos tak seberapa. Ibarat orang memancing, yang terus diberikan bukanlah kailnya sebagai alat mendapat ikan, melainkan diberikan ikan tanpa keterampilan mendapatkan ikan di masa depan.

Sikap culas para politisi tersebut ironisnya masih terjadi hingga kini. Banyak yang masih belum sadar betapa bahayanya politisi yang sengaja memelihara kebodohan dan kemiskinan rakyatnya. Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian bersama agar bisa menjadi bangsa yang naik kelas. Harapannya, masyarakat tidak lagi perlu mengemis di negeri sendiri lewat bantuan sosial, melainkan berdikari, berdiri di kaki sendiri.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama