Hubungan antara
kemiskinan dan politik sebetulnya masuk kategori ‘lagu lama’. Politisi sering
memanfaatkan isu kemiskinan sebagai alat untuk mendulang dukungan,
mempertahankan atau meraih kekuasaan, bahkan untuk menggulingkan pemerintahan
yang ada. Mereka menganggap isu kemiskinan yang ada di masyarakat sebagai salah
satu poin sentral dalam strategi politiknya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Antonio Gramsci yang mengatakan bahwa politisi yang ingin berkuasa harus dapat
mengidentifikasi dan memperjuangkan isu-isu yang relevan bagi rakyat, termasuk
kemiskinan.
Namun, dalam
kenyataannya, janji-janji politik untuk mengatasi kemiskinan umumnya tidak
terealisasi dan bahkan diabaikan setelah politisi yang bersangkutan meraih
kekuasaan. Masyarakat yang telah dieksploitasi lantas ditinggalkan begitu saja
bersama janji-janjinya setelah pemilu selesai. Rantai kemiskinan memang tidak
semudah itu untuk ditaklukan. Kemiskinan adalah masalah struktural yang
melibatkan banyak sektor sekaligus, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
dan lain sebagainya. Karena itu, perlu rumusan yang lebih matang dan melibatkan
banyak lapisan masyarakat demi taraf hidup lebih baik ketimbang sekedar bansos
yang sifatnya sementara.
Sayangnya, tak semua
masyarakat memahami konsep di atas. Sulitnya kehidupan membuat mereka tak punya
kesempatan dan ruang untuk berpikir kritis. ‘Yang penting bisa makan hari ini’
menjadi slogan yang banyak diaminkan oleh sebagian besar masyarakat yang berada
jauh di bawah garis kemiskinan. Kondisi inilah yang lantas dimanfaatkan para
politisi bertindak culas. Ia datang dengan bansos sekarung beras, berusaha
melenakan masyarakat yang dalam kondisi tak terjamah pengetahuan dan kelaparan.
Masyarakat yang masih polos, tentu menyambutnya dengan senang hati tanpa pikir
panjang.
Hal ini menjadi bukti
bila pendidikan menjadi faktor penting untuk menangani politisi nakal selama
masa pemilu. Pendidikan memberikan warga negara pengetahuan dan pemahaman
tentang isu-isu politik, partai politik, kandidat, dan platform mereka. Ini
memungkinkan pemilih untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi dan
rasional saat memilih. Pendidikan meningkatkan kemampuan pemikiran kritis dan
analitis seseorang. Ini memungkinkan pemilih untuk menilai argumen politik
dengan lebih baik dan mengevaluasi klaim kandidat secara kritis. Pemilih yang
terdidik cenderung memahami pentingnya kebijakan publik dalam kehidupan
sehari-hari dan cenderung mendukung kandidat yang memiliki platform kebijakan
yang kuat. Berbanding terbalik dengan pemilih yang kurang terdidik, mereka
lebih mengedepankan sisi ketokohan, gimmick, bahkan politik uang menjadi acuan
pemilih. Mengutip dari Rocky Gerung dalam pidatonya di Dewan Kesenian Jakarta,
2010, ia mengatakan merawat publik perlu mengaktifkan akal sehat.
“Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan
Republic of hope, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of fear,
karena di situlah statistik pemilu dipertaruhkan”
Mengaktifkan akal sehat
praktis bukan perkara mudah. Ada proses panjang pendidikan di dalamnya yang
belum bisa dinikmati sebagian besar masyarakat Indonesia. Berdasarkan data
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pada Juni
2022, dari total penduduk Indonesia sebesar 275,36 juta jiwa, hanya 6,41 persen
yang telah menempuh pendidikan tinggi. Sementara mayoritas penduduknya masih
berada di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Adapun yang belum tamat SD
atau bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,61 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan masih sangat terbatas bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Data tersebut juga menunjukkan bahwa masih ada
tantangan besar dalam memastikan bahwa pendidikan yang berkualitas dan
terjangkau dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Karena itu, diperlukan
upaya bersama dari berbagai lapisan masyarakat demi menciptakan kebijakan yang
inklusif dan program-program yang efektif untuk meningkatkan akses terhadap
pendidikan dan peluang ekonomi bagi semua warga negara.
Masalah politik,
kemiskinan, dan pendidikan seakan menjadi lingkaran setan yang sulit
ditaklukan. Ketiganya tak bisa menyelesaikan masalah satu sama lain bila tidak
ada kesatuan sinergis untuk memutus rantainya. Tapi, sayangnya para politisi
yang notabene punya pendidikan dan ekonomi yang lebih baik, enggan untuk
memberi kesadaran ke masyarakat. Mereka tahu betul, bansos bukanlah solusi yang
tepat untuk mengentaskan kemiskinan. Sebab, sifatnya amat sementara dan
terbatas periode. Akan tetapi, mayoritas mereka bungkam dan memilih untuk terus
meninabobokan masyarakat dengan program jangka pendek tersebut. Bukan tanpa
alasan, kebodohan masyarakat yang terus dipelihara dan pengharapan yang tinggi
pada bansos akan membuat masyarakat setempat menjadi ketergantungan. Ia
bergantung pada politisi terkait serta seluruh koloninya yang bisa memberikan
bansos secara cepat dan banyak. Visi para politisi pun seiring waktu semakin
remeh-temeh, bukannya meningkatkan pendidikan masyarakat dan memberikan
lapangan pekerjaan, justru melenakannya dengan bansos tak seberapa. Ibarat
orang memancing, yang terus diberikan bukanlah kailnya sebagai alat mendapat
ikan, melainkan diberikan ikan tanpa keterampilan mendapatkan ikan di masa
depan.
Sikap culas para
politisi tersebut ironisnya masih terjadi hingga kini. Banyak yang masih belum
sadar betapa bahayanya politisi yang sengaja memelihara kebodohan dan
kemiskinan rakyatnya. Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian bersama agar
bisa menjadi bangsa yang naik kelas. Harapannya, masyarakat tidak lagi perlu
mengemis di negeri sendiri lewat bantuan sosial, melainkan berdikari, berdiri
di kaki sendiri.