Untuk membuat Aka bilan pertama-tama pohon gewang atau
akar sebutan penduduk setempat untuk pohon gewang yang sudah tua tinggi sekitar
8 meter atau lebih,berdiameter satu meter, memiliki daun yang sehat dan tidak
terserang hama, atau saat sudah memiliki buah ditebang, lalu dipisahkan dari
kulitnya. Penduduk setempat masih melakukannya dengan manual menggunakan parang
atau kapak.
Setelah isi dalam atau
inti pohon akal dipotong keci-kecil lalu dijemur sampai kering dan tidak ada
kandungan airnya. Proses ini biasanya berlangsung selama dua hari jika cuaca
sedang tidak hujan dan jika cuacanya tidak terlalu baik maka proses penjemuran
bisa berlangsung sampai empat atau lima hari. Setelah benar-benar kering
potongan akal itu lalu ditumbuk atau digiling menggunakan mesin penggiling.
Jika ditumbuk menggunakan Alu, alat penumbuk berupa kayu dengan panjang sekitar
2 meter dan berdiameter 5 sentimeter, dan Ahuk, media tumbuk yang teruat dari
kayu sepanjang 2 meter yang dilubangi sehingga menyerupai sampan.
Hasil tumbukan yang telah halus ini kemudian diayak menggunakan wawalin, pengayak tradisional dari anyaman tulang daun gewang berbentuk persegi 4 berukuran 50 x 50 centimeter untuk memisahkan tepung sagu dari ampas potongan serat yang tidak boleh disatukan.
Potongan Akalbilan yang sedang dijemur |
Jika ampasnya dirasa masih banyak mengandung tepung, proses menumbuk dapat diulang lagi. Tepung yang diayak ini lagi disaring lagi di dalam karung menggunakan karung untuk menghindari tepung bertebaran di mana-mana dan jangan sampai dihirup. Penyaringan kedua ini menggunakan kain yang diikat kedua ujungnya,dipegang oleh kedua tangan lalu digoyangkan di dalam karung sehingga tepung halusnya akan keluar melalui serat kain. Ampas kedua ini oleh penduduk setempat dijadikan sebagai pakan ternak atau jika ada orang yang mencarinya biasanya dihargai dengan harga 35 ribu rupiah sampai dengan 40 ribu rupiah perkarungnya, disisi lain dapat juga digunakan sebagai media tumbuhnya jamur oleh sebagian pengusaha jamur.
Tepung hasil saringan
ini kemudian dimasukkan ke dalam baskom dan dicampurkan air lalu diremas
menggunakan air seperti ketika kita hendak membuat roti. Setelah itu diratakan
dan diisi air sampai baskomnya penuh dan mulai diaduk menggunakan Leleaka atau
anyaman dari tulang daun pohon gewang berbentuk seperti tabung labu
erlenmeyer .
Pengadukan ini
berlangsung selama dua jam dan cara mengaduknya pun hanya dibagian atasnya saja
sehingga bagian bawahnya terbentuk lapisan endapan sari tepung. Jika dirasa
sudah cukup tebal, banyak lalu dibuang airnya. Proses pembuangan air ini
menggunakan gayung untuk menimba dan meninggalkan endapannya. Endapan itu lalu
dihancurkan dan ditambahkan air dan didiamkan. Setelah 5 menit airnya lalu
dibuang dan yang tersisa adalah lapisan sagu berwarna putih.
Sagu ini belum kering
benar dan masih mengandung air yang cukup banyak, untuk mengeringkannya
dedak/ampas dari penyaringan kedua ditaruh diatasnya lalu ditekan-tekan
sehingga air yang masih di dalam sagu akan diserap oleh dedak tersebut. Proses
ini akan diulang sampai lima kali hingga tersisa lempengan sagu yang lembab dan
biasanya disebut kakumuk. Lempengan
sagu ini yang kemudian siap digunakan untuk membuat Akalbilan. Jika dikeringkan
dapat diolah untuk membuat aneka kue modern setelah ditambahkan tepung terigu.
Cara mengambil lempengan sagu ini untuk membuat Aka bilan adalah dengan diserut
seperti yang biasa dilakukan para penjual es krim menggunakan sendok.
Untuk membuat Aka bilan,
tepung sagu dicampurkan dengan parutan kelapa dan kacang hijau yang telah
dimasak. Campuran ini lalu diratakan menggunakan tangan diatas babilan (lempengan tanah liat berbentuk
seperti piring) yang telah dipanaskan diatas api.
Ada dua lempeng babilan yang
digunakan (jika lempengan pertama sudah matang lalu dipindahkan ke bagian
atasnya). Babilan pertama ditaruh diatas api dan ditindis babilan kedua, jika babilan
pertama sudah matang Aka bilannya lalu dikeluarkan dan lempengan babilan kedua
dipindahkan ke bawah. Proses ini akan diulang sampai seluruh campuran Aka bilan
yang sudah dicampur habis.
Aka Bilan adalah salah
satu kuliner tradisional khas Malaka. Kuliner ini terbuat dari sagu. Kalau di
Maluku sagu diolah menjadi Papeda, di Malaka sagu diolah menjadi Aka Bilan.
Bedanya Papeda adalah bubur sagu yang dimakan dengan ikan kuah asam sedangkan
Aka Bilan dibuat seperti roti pipih yang dibakar dengan taburan kacang
hijau rebus di atasnya sebagai topping. Aka Bilan sangat nikmat jika dimakan
panas - panas sambil menyeruput segelas kopi atau teh.
Nama Aka Bilan sendiri
berasal dari dua kata bahasa Tetum yakni kata akar yang berarti sagu dan kata bilan
yang berarti dibolak -- balik. Jadi kita bisa mengartikan Aka
Bilan sebagai sagu yang dibolak -- balik. Hal ini memang tidak terlepas dari
cara membuat Aka Bilan yang harus dibolak -- balik saat dibakar di atas dua
buah kuali kecil dari tanah liat yang biasa disebut dengan istilah babilak.
Pada zaman dahulu, Aka
bilan merupakan makanan pokok masyarakat di perbatasaan dengan negara Timor
Leste ini sebelum mereka mengenal ubi -- ubian, jagung dan padi. Ini terjadi
karena banyaknya pohon gewang yang tumbuh subur di sini. Selain daunnya dibuat
tali dan atap rumah, batang pohon gewang itu dimanfaatkan sebagai makanan
sehari -- hari. Namun seiring perkembangan zaman, semakin banyak produksi padi
dan jagung, makanan ini pun perlahan -- lahan berganti peran sebagai kudapan.
Untuk bisa membuat Aka
Bilan memang bukan pekerjaan mudah. Pohon gewang harus ditebang dan dipotong
menjadi beberapa bagian terlebih dahulu agar mudah diolah. Potongan -- potongan
bagian gewang itu kemudian dibelah menjadi dua, diiris kecil-kecil,
dikeringkan pada panas matahari kurang lebih tiga hari, lalu ditumbuk
menggunakan lesung untuk mendapatkan tepung sagu. Tak berhenti di situ saja,
tepung sagu itu harus disaring lagi menggunakan air supaya bisa mendapatkan
tepung yang layak untuk dimakan.
Setelah mendapatkan
tepung sagu yang layak untuk dimakan, tepung tadi ditakar sesuai kebutuhan pada
nyiru (nampan) lalu dicampur parutan kelapa, garam secukupnya dan air. Kemudian
sediakan babilak pada tungku sehingga adonan sagu siap dibakar. Bahan bakarnya
bukan kompor dan gas, tapi perlu kayu bakar agar hasilnya merata sempurna dan
wangi.
Walaupun pengolahannya
agak berat, namun sagu tetap dikonsumsi sebagai kudapan pada pagi dan sore hari
karena kandungan gizinya yang tinggi. Dari panduan gizi Bidang Kesehatan
Masyarakat Dinas Kesehatan Belu, dalam 100 gram sagu kering terkandung karbohidrat
sebesar 94 gram, protein 0,2 gram, serat makanan 0,5 gram, zat besi 1,2 mg, dan
kalsium sebanyak 10 mg. Total dalam 100 gram sagu terkandung 355 kalori serta
protein, vitamin, dan mineral. Sedangkan dalam satu lempeng Aka Bilan terhitung
energi sebesar 124,3 kcal, 1 gram protein, lemak sebesar 1,3 gram dan 26 gram
karbohidrat murni. Itu belum termasuk kandungan gizi kacang hijau yang ditabur
di atasnya.
Bagi kebanyakan orang
Malaka, Aka bilan itu enak dinikmati selagi hangat meski jujur saja rasanya
hambar ketika saya dan dua teman mencicipinya untuk pertama kalinya. Menjual
Akalbilan menjadi motor ekonomi yang meningkatkan penghasilan sebagian besar
mama-mama di Wanibesak, ini dapat kita lihat langsung dari kebanyakan orang
yang berderet menjual Akalbilan pada hari-hari pasar tradisional yang telah
disepakati seperti di pasar Betun pasar Besikama, pasar Hatimuk, dan
pasar-pasar tradisional lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Malaka, NTT.
Selain mengusahakan Aka
bilan, mereka juga hidup dari hasil bertani dengan mengusahakan lahan kering
yang ditanami berbagai jenis pangan lokal. Dengan curah hujan yang cukup mereka
menanam tiga kali setahun dan kebanyakan menanam tanaman beumur tiga bulan.
Ketika ditanya seberapa
sering mereka mengonsumsi Aka bilan, kebanyakan mereka mengatakan sering sekali
selama persediaan tepung akal ada di dapur. Selain Akalbilan mereka juga
mengonsumsi jagung, beras, ubi-ubian, sorgum dan beberapa jenis makanan kalengan
dalam kemasan sebagai kudapan (biskuit, minuman kaleng dan susu ).
Menurut pengakuan sebagian orang penghasilan dari Aka bilan sebagai kegiatan
ekonomi selain sebagai sumber ekonomi, mereka juga dapat menyekolahkan
anak-anak mereka. Akalbilan yang dijual memiliki nilai lebih dibandingkan jika
dijual dalam keadaan mentah dalam satuan kakumuk dan masih berupa gumpalan sagu
padat.
Perlu di pahami bahwa pohon gewang (akar) pada umumnya digunakan sebagai pakan
ternak seperti babi dan sapi. Ketika sampai di Malaka, akal nyatanya menjadi
sesuatu yang bernilai lebih bahkan dianggap sebagai penyelamat dulunya saat
gagal panen atau masa paceklik pangan terjadi. Tumbuh dengan liar dan tidak
butuh perawatan khusus oleh warga, namun siap dipanen kapanpun jika sudah cukup
umur. Kini saat penduduk Malaka telah terselamatkan dari paceklik pangan, aka
bilan tetap dikonsumsi sebagai camilan atau pengganti nasi dan jagung jika
mereka bosan dan hendak mengganti menu makanan mereka sesekali. Selama mereka
mau dan rajin akal tetap bisa dikonsumsi mengingat mereka juga berkebun dan
tidak sepenuhnya bergantung pada akal sebagai pangan pokok.
Terlepas dari aka bilan
yang kita pelajari dan lihat di sana, kita menemukan sebuah fakta menarik yang
tak bisa diacuhkan begitu saja bahwa disana banyak manula yang hidup diatas
usia 100 tahun. Mencengangkan bukan? Saya pernah bertemu beberapa orang tua di
usia 70 tahun tapi tak sesehat mereka yang saya lihat di kampung kemarin. Dalam
pandangan saya, aktivitas fisik dan hidup di tempat yang jauh dari polusi dan
radikal bebas adalah beberapa penyebabnya disamping pola makan yang tidak
banyak mengandung pengawet maupun bahan kimia tambahan. Mereka berkebun dan
mengonsumsi makanan yang jauh dari pestisida sebab bahan makanan sehat itu
diambil langsung dari kebun mereka. Mereka juga menjaga keharmonisan hubungan
antara manusia, alam, budaya dan adat istiadat yang masih kental sampai
sekarang.