Pertanyaan itu tertera dalam bukunya berjudul Pelacur dan Politikus (1997). Buku itu
merupakan kumpulan artikel Rudi Gunawan, yang sebagian besar terbit di majalah Jakarta
Jakarta sekitar awal tahun 1990-an.
Pelacur, tulis Rudi, memperoleh uang penghasilan
dari kelamin-kelamin yang mengacung, yang mendesak pelampiasan dan pemuasan.
Pelacur adalah profesi yang murni bermodalkan kelamin.
Pelacuran, karena itu, merupakan bisnis yang
berbasis kelamin dan uang. Yang dimaksud pelacur di sini ialah pelacur perempuan
dan pria sekaligus.
Sementara itu, politikus, kata Rudi, adalah
seseorang yang punya kekuasaan yang dengan leluasa omong tentang kebaikan,
keadilan, dan kesejahteraan rakyat, seraya menginjak-injak apa yang yang dia
sebut rakyat.
Bagi Rudi, masyarakat cenderung memandang pekerjaan
pelacur sebagai profesi kotor, vulgar, dan tak terhormat. Pelacuran terkait
dengan banyak sisi gelap manusia, sehingga pelacuran adalah bentuk nyata borok
masyarakat.
Buku Kumpulan Artikel FX Rudi Gunawan (1997) |
Posisi pelacur, tulis Rudi, sungguh menjadi sebuah
ironi untuk apa yang dianggap sebagai kebejatan. Masyarakat secara umum
menganggap pelacur sama dengan kebobrokan mesum.
Pada sisi lain, Rudi mengatakan bahwa politik, dalam
konteks ini berupa politik kekuasaan, adalah suatu permainan yang penuh tipuan,
sarat variasi perilaku dan beragam omongan retorik, serta tak jarang pula kaya
dengan perilaku vulgar, konyol, dan kotor.
Politikus, oleh sebab itu, ialah orang yang mampu
bersembunyi di balik segala kecerdasan akal busuk, prinsip kemunafikan, dan
sudi menjajakan harga dirinya demi kuasa, jabatan, dan uang.
Sebaliknya, bagi Rudi, pelacur sesungguhnya adalah
seorang yang polos. Dia hanya fokus melacur tubuhnya demi raihan ratusan ribu
atau jutaan rupiah. Karenanya, pelacur mungkin sulit merumuskan atau mengartikulasikan
apa yang dia pahami soal keadilan, kemiskinan, atau demokrasi. Yang mereka tahu
semata ialah bagaimana merayu pelanggan agar bisa dapat uang untuk hari ini.
Itu saja.
Pelacur, menurut Rudi, umumnya buta politik, yang
tak tahu mendalam dan masa bodo dengan hiruk pikuk politik kekuasaan, karena
pelacur sendiri telah amat dipusingkan oleh hidup pekat keseharian mereka, oleh
cengkeraman germo, oleh perilaku seksual tak waras para pelanggannya.
Kembali ke pertanyaan di permulaan tulisan ini:
lebih bermoral mana, pelacur yang baik atau politikus yang jahat?
Dalam bukunya ini Rudi Gunawan tidak secara gamblang
menjawab pertanyaan tersebut. Dia, malahan, menyerahkan jawaban kepada
pembacanya, yang tentu saja respons pembaca bisa sangat beragam. Rudi menulis,
“apa jawaban anda sekarang? Atau,
anda hanya akan mengangkat bahu dan berkata emang gue pikirin! Kalau sudah
begitu sih, apa boleh buat.”
Walaupun Rudi tak tegas menyediakan jawaban,
setidaknya dalam lembar-lembar tulisan di bukunya itu kita dapat membaca
relatif terang pembelaaan dan keberpihakan Rudi kepada pelacur.
“Segala borok
masyarakat, segala kemunafikan manusia, juga bisa terkuak hanya lewat seorang
pelacur. Soalnya kita semua sebenarnya bukan tak mungkin adalah juga
pelacur-pelacur yang bersembunyi di balik segala kepintaran akal busuk kita
sebagai well educated people,” ujar
Rudi.
“Bahkan, bukan tak mungkin kita sebenarnya lebih
parah karena bukan hanya tubuh yang kita jual, tetapi malah pikiran,
kemiskinan, dan penderitaan orang lain, atau prinsip dan harga diri kita
sendiri. Maka dari itu, mari bung, kita sama-sama mengaca,” pungkasnya.
Jadi, dalam pandangan saya, ada setidaknya tiga poin
yang bisa kita kritisi dari artikel Rudi Gunawan.
Satu, Rudi Gunawan, dalam tulisannya, tidak
mendefinisikan apa yang dia maksudkan dengan moral. Rudi barangkali telah menganggap
kalau segmen pembacanya adalah orang-orang terpelajar, sebagaimana para pembaca
majalah Jakarta yang tentu saja
berbeda dengan pembaca majalah remaja atau pembaca koran harian Pos Kota waktu itu yang mayoritas diminati kalangan
menengah-bawah. Meskipun begitu, bagi saya, pendefinisian istilah moral relatif
perlu supaya pembaca mempunyai titik berangkat yang serupa ketika menelusuri
alur gagasan penulis.
Dua, penulis terkesan sudah secara apriori memiliki
pandangan personal di kepalanya mengenai seorang politikus yang selamanya
negatif dan buruk. Oleh karena itu, penulis terjebak ke dalam generalisasi
penalaran yang mendakwa semua politikus jahat.
Tiga, seperti sudah dipaparkan di awal tulisan ini, bahwa
buku karangan FX Rudi Gunawan itu adalah himpunan artikel. Layaknya sebuah
artikel, isinya tentu saja pendek-pendek dan relatif kurang mendalam, sehingga
pembaca sulit memahami dengan baik dan serius jalan pikiran penulis. Di suatu
waktu di masa depan, penulis atau peminat tema ini dapat menyajikan gagasan
yang lebih utuh dan komprehensif dalam sebuah buku lainnya.
Sebagai penutup, saya tak hendak menilai seorang
pelacur itu secara moral baik atau politikus itu jahat, atau sebaliknya. Motif
menjadi atau terposisikan dalam pelacuran atau dunia politik bisa amat beragam,
sehingga menilai seorang pelacur atau politikus semata dari beberapa titik
pandang saja dapatlah bias. Sebab itu, menurut saya, pertanyaan mana yang lebih
bermoral, pelacur yang baik atau politikus yang jahat menjadi irrelevan dan tak
lagi bermakna.