Ganjar orang
Jawa, tetapi mengenakan pakaian NTT untuk
tujuan politik tertentu. Apakah tindakan Ganjar sebagai apresiasi atau
apropriasi? Ada istilah cultural appropriation (perampasan budaya atau
apropirasi budaya).
Anies Baswedan yang mendampingi Muhaimin Iskandar
mengenakan jas dan peci. Demikian pula Muhaimin, juga mengenakan
jas dan peci, serta berkalung sarung.
Pada Jumat malam itu, Prabowo Subianto dan Gibran
Rakabuming mengenakan kemeja biru. Ini seragam yang selama ini mereka pakai
sebagai seragam pasangan capres-cawapres.
Pada 1930, Ketua Partai Indonesia (Partindo) Sartono
mengingatkan kepada pengurus dan anggota Partindo soal pakaian yang harsu
dikenakan. Seperti tulis oleh Rudolf Mrazek, mereka yang tidak mengenakan
pakaian swadeshi, atau setidaknya tidak mengenakan kain tutup kepala buatan
lokal, pada masa depan akan ditolak kehadirannya dalam pertemuan-pertemuan
Partindo.
Sartono mengadopsi gerakan swadeshi di India untuk
memboikot produk-prouk Inggris menggunakan produksi bangsa Indonesia sendiri.
Maka di Indonesia, gerakan itu ditujukan untuk menggunakan pakaian produksi
bangsa Indonesia.
Untuk beberapa waktu, Ganjar Pranowo pernah
menyerang Jokowi, setelah Jokowi terlihat mendukung Prabowo. Tapi Jumat malam
kemarin, Ganjar meniru
hal yang telah dilakukan oleh Jokowi yang rajin mengenakan pakaian daerah, yang
bukan daerah asal kelahirannya.
Britanica menulis, perampasan budaya terjadi ketika
anggota kelompok mayoritas mengadopsi elemen budaya kelompok minoritas dengan
cara yang eksploitatif, tidak sopan, atau stereotip. Ganjar sudah
mengunjungi NTT, mungkin karena itu ia merasa layak mengenakan pakaian NTT di
acara debat
cawapres.
Ia juga telah mengunjungi Papua, tetapi mengapa ia
tidka mengenakan pakaian Papua? Sebagaimana halnya Jokowi yang sudah
berkali-kali mengunjungi Papua, tetapi ia belum pernah mengenakan pakaian
Papua.
Muhaimin yang
tumbuh besar di lingkungan sanri Jawa Timur, akrab dengan sarung. Pada pertemuan
Partindo tahun 1930 itu, para pengurus yang hadir mengenakan sarung, kecuali dua orang.
Peci, oleh Sukarno telah diangkat menjadi simbol
nasionalisme ketika pelan-pelan para pemuda menanggalkan pakaian sarung dengan celana.
Bangsawan-bangsawan muda Jawa yang tergabung dalam Budi Utomo sellau
mengenakana kain (sarung)
dalam setiap pertemuan, lengkap dengan blangkon atau ikat kepala.
Ketika kain sarung diganti celana,
oleh Sukarno blangkon diganti dengan peci. Sarung, kemudian menjadi
pakaian kesukaan perempuan Eropa di Jawa, dikenakan bersama kebaya.
Kain (sarung) dan blangkon pernah
menjadi bahan poyokan pada masa revolusi kemerdekaan. Saat itu, pejuang dari
pesisir utara yang masuk Yogyakarta.
Melihat mondolan di blangkon --seperti diceritakan
Sukarno dalam suratnya kepada Douwes Dekker— para pejuang pesisir utara itu
menceletuk, “Apa itu, zaman perjuangan, granatnya tidak dilempar, tetapi
disimpan di belakang kepala.”
Douwes Dekker yang kemudian dikenal sebagai
Setiabudi adalah seorang Indo yang pro-perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia
menilai, penampilan lahiriah pemuda bangsawan Jawa dengan kain (sarung)dan blangkon tidak
bisa mewakili karaker pemuda yang diperlukan saat itu.
Maka, kepada para siswa STOVIA anggota Budi Utomo
itu, pada 1912 Douwes Dekker berkata, ”Hilangkan dan buanglah itu semua.”
Roeslan Abdoelgani pernah menanyakan alasan Douwes Dekker menyarankan hal itu.
“Och,
Roeslan, onze jongens moeten brutal zijn even brutal als de Nederlanders,”
jawab Douwes Dekker, seperti yang diceritakan Roeslan Abdoelgani saat
menyampaikan pidato “Pembinaan Kesatuan Bangsa” pada pembentukan Lembaga
Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Cabang Bandung, 15 Juli 1963.
Artinya: “Oh, Roeslan, pemuda kita harus kurang ajar
seperti kurang ajarnya pemuda Belanda.”
Sumber rujukan:
- Capita – Selecta: Pembinaan Kesatuan Bangsa (28
Oktober 1928 – 28 Oktober 1964) Dalam Rangka Nation Building & Character
Building karya CST Kansil dan kawan-kawan (1964)
- Outward Appereances, editor Henk Schulte Nordholt
(2005)