Sarung Muhaimin dan Pakaian NTT Ganjar di Acara Debat Cawapres, Apropriasi atau Apresiasi?

Sarung Muhaimin dan Pakaian NTT Ganjar di Acara Debat Cawapres, Apropriasi atau Apresiasi?

Pada acara debat cawapres, Mahfud MD mengenakan pakaian Madura. Sedangkan Ganjar Pranowo yang dari Jawa mengenakan pakaian NTT. Muhaimin Iskandar berkalung sarung. Apresiasi atau apropriasi? (foto: thoudy badai/republika)


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Mendampingi Mahfud MD, Ganjar Pranowo mengenakan pakaian NTT, lengkap dengan tenun ikat dan tii langga, tutup kepala dari Pulau Rote, dibuat dari daun lontar. Mahfud MD yang tampil dalam debat cawapres pada Jumat (22/12/2023) malam, mengenakan pakaian tradisional Madura, kampung halamannya.

Ganjar orang Jawa, tetapi mengenakan pakaian NTT untuk tujuan politik tertentu. Apakah tindakan Ganjar sebagai apresiasi atau apropriasi? Ada istilah cultural appropriation (perampasan budaya atau apropirasi budaya).

Anies Baswedan yang mendampingi Muhaimin Iskandar mengenakan jas dan peci. Demikian pula Muhaimin, juga mengenakan jas dan peci, serta berkalung sarung.

Pada Jumat malam itu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming mengenakan kemeja biru. Ini seragam yang selama ini mereka pakai sebagai seragam pasangan capres-cawapres.

Pada 1930, Ketua Partai Indonesia (Partindo) Sartono mengingatkan kepada pengurus dan anggota Partindo soal pakaian yang harsu dikenakan. Seperti tulis oleh Rudolf Mrazek, mereka yang tidak mengenakan pakaian swadeshi, atau setidaknya tidak mengenakan kain tutup kepala buatan lokal, pada masa depan akan ditolak kehadirannya dalam pertemuan-pertemuan Partindo.

Sartono mengadopsi gerakan swadeshi di India untuk memboikot produk-prouk Inggris menggunakan produksi bangsa Indonesia sendiri. Maka di Indonesia, gerakan itu ditujukan untuk menggunakan pakaian produksi bangsa Indonesia.

Untuk beberapa waktu, Ganjar Pranowo pernah menyerang Jokowi, setelah Jokowi terlihat mendukung Prabowo. Tapi Jumat malam kemarin, Ganjar meniru hal yang telah dilakukan oleh Jokowi yang rajin mengenakan pakaian daerah, yang bukan daerah asal kelahirannya.

Britanica menulis, perampasan budaya terjadi ketika anggota kelompok mayoritas mengadopsi elemen budaya kelompok minoritas dengan cara yang eksploitatif, tidak sopan, atau stereotip. Ganjar sudah mengunjungi NTT, mungkin karena itu ia merasa layak mengenakan pakaian NTT di acara debat cawapres.

Ia juga telah mengunjungi Papua, tetapi mengapa ia tidka mengenakan pakaian Papua? Sebagaimana halnya Jokowi yang sudah berkali-kali mengunjungi Papua, tetapi ia belum pernah mengenakan pakaian Papua.

Muhaimin yang tumbuh besar di lingkungan sanri Jawa Timur, akrab dengan sarung. Pada pertemuan Partindo tahun 1930 itu, para pengurus yang hadir mengenakan sarung, kecuali dua orang.

Peci, oleh Sukarno telah diangkat menjadi simbol nasionalisme ketika pelan-pelan para pemuda menanggalkan pakaian sarung dengan celana. Bangsawan-bangsawan muda Jawa yang tergabung dalam Budi Utomo sellau mengenakana kain (sarung) dalam setiap pertemuan, lengkap dengan blangkon atau ikat kepala.

Ketika kain sarung diganti celana, oleh Sukarno blangkon diganti dengan peci. Sarung, kemudian menjadi pakaian kesukaan perempuan Eropa di Jawa, dikenakan bersama kebaya.

Kain (sarung) dan blangkon pernah menjadi bahan poyokan pada masa revolusi kemerdekaan. Saat itu, pejuang dari pesisir utara yang masuk Yogyakarta.

Melihat mondolan di blangkon --seperti diceritakan Sukarno dalam suratnya kepada Douwes Dekker— para pejuang pesisir utara itu menceletuk, “Apa itu, zaman perjuangan, granatnya tidak dilempar, tetapi disimpan di belakang kepala.”

Douwes Dekker yang kemudian dikenal sebagai Setiabudi adalah seorang Indo yang pro-perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia menilai, penampilan lahiriah pemuda bangsawan Jawa dengan kain (sarung)dan blangkon tidak bisa mewakili karaker pemuda yang diperlukan saat itu.

Maka, kepada para siswa STOVIA anggota Budi Utomo itu, pada 1912 Douwes Dekker berkata, ”Hilangkan dan buanglah itu semua.” Roeslan Abdoelgani pernah menanyakan alasan Douwes Dekker menyarankan hal itu.

 “Och, Roeslan, onze jongens moeten brutal zijn even brutal als de Nederlanders,” jawab Douwes Dekker, seperti yang diceritakan Roeslan Abdoelgani saat menyampaikan pidato “Pembinaan Kesatuan Bangsa” pada pembentukan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Cabang Bandung, 15 Juli 1963.

Artinya: “Oh, Roeslan, pemuda kita harus kurang ajar seperti kurang ajarnya pemuda Belanda.”

Sumber rujukan:

- Capita – Selecta: Pembinaan Kesatuan Bangsa (28 Oktober 1928 – 28 Oktober 1964) Dalam Rangka Nation Building & Character Building karya CST Kansil dan kawan-kawan (1964)

- Outward Appereances, editor Henk Schulte Nordholt (2005)

 



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama