Haruskah Kita (Umat) Mengikuti Imbauan Tokoh Agama (Katolik) dalam Konstelasi Politik 2024?

Haruskah Kita (Umat) Mengikuti Imbauan Tokoh Agama (Katolik) dalam Konstelasi Politik 2024?



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Sejak zaman dahulu, agama dan politik seringkali saling bersinggungan dan menjadi perbincangan yang kompleks dalam keseharian masyarakat. Isu ini menjadi semakin relevan ketika tokoh agama, dalam hal ini tokoh agama Katolik, turut memberikan imbauan atau pandangan terkait dengan konstelasi politik akhir-akhir ini menjelang Pemilu Pilpres 2024.

Pertanyaan mendasar pun muncul; "Haruskah kita (umat) mengikuti imbauan tokoh agama (Katolik) dalam konstelasi politik?"

Dalam tulisan ini, akan dibahas pentingnya mempertimbangkan pandangan tokoh agama Katolik dalam konteks politik, sejauh mana pengaruhnya terhadap masyarakat, serta implikasi dari penilaian dan keputusan yang diambil. Tentu saja, setiap individu memiliki kebebasan untuk melakukan munasabah dan menentukan sikap politik, namun apakah mempertimbangkan imbauan dari tokoh agama bagi umat Katolik sejalan dengan nilai-nilai dan ajaran agamanya?

Mengapa pendapat tokoh agama dalam hal ini berperan penting? Bagaimana urgensi keberpihakan dan pengikutannya dalam konteks politik? Apakah pengaruh tokoh agama dapat memberikan kontribusi positif atau justru mengarah pada pembatasan kebebasan berpolitik?

Peranan Pastor Katolik dalam politik adalah subjektif dan bergantung pada negara dan situasi politik tertentu. Ini berkaitan dengan prinsip pemisahan Gereja dan Negara yang ada di banyak negara.

Dalam beberapa negara, pastor Katolik dapat terlibat dalam politik langsung sebagai anggota parlemen atau pejabat pemerintah lainnya dengan syarat bahwa mereka mengikuti hukum dan aturan yang berlaku. Mereka memiliki hak dan kebebasan untuk berpendapat, berpartisipasi dalam pemilihan, dan menjadi anggota partai politik jika mereka ingin melakukannya.

Namun, dalam doktrin Gereja Katolik, pastor biasanya menghindari keterlibatan langsung dalam politik praktis sebagai bagian dari misi rohani mereka. Mereka lebih fokus pada tugas spiritual dan akan berbicara mengenai nilai-nilai moral dan etika yang relevan dalam konteks politik. Dalam hal ini, peran mereka adalah untuk memberikan nasihat dan arahan moral kepada umat Katolik dan masyarakat pada umumnya.

Namun, bahkan dalam peran mereka sebagai pengajar dan pembimbing moral, pastor Katolik harus menjaga prinsip netralitas politik dan menyadari keragaman pendapat politik di antara umat mereka. Di samping itu, mereka juga harus menghormati dan menghargai pemisahan Gereja dan Negara serta kebebasan berpendapat yang dijamin oleh hukum.

Pada akhirnya, peranan pastor Katolik dalam politik harus berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dan kebijakan Gereja Katolik. Selain itu, peran tersebut juga harus mencerminkan penerapan prinsip-prinsip moral dan etika yang dianut oleh Gereja dalam berbagai masalah politik yang memengaruhi masyarakat.

Konstelasi Politik 2024

Akhir-akhir ini menjelang putaran tahap akhir kampanye Pemilu situasi keadaan negara kita menghangat. Menghangat bila tidak bisa dikatakan membara.

Kampanye politik yang seharusnya menjadi ajang mempromosikan paslon dan pendidikan politik bagi masyarakat, sudah berubah menjadi arena pembantaian antar paslon dengan saling serang dan menjatuhkan dengan membuka aib dan fitnah oleh para timses antar pasangan calon.

Yang sedang berkampanye dan pendukungnya yang merupakan masyarakat biasa seakan lupa bahwa jika situasi ini diteruskan dapat dipastikan bahwa situasi mengarah pada situasi sulit dan mengarah pada terjadi pembelahan masyarakat (situasi Pemilu 2019).

Situasi semakin rumit ketika seorang rohaniwan katolik Franz Magnis Suseno muncul ke tengah masyarakat dengan pendapatnya yang seakan mewakili (masyarakat menafsirkan begitu) gereja katolik. Pendapat dia yang terang-terangan tendensius menyudutkan salah satu calon yang terus menerus dia kumandangkan dalam berbagai podcast dan medsos, dengan menekankan bahwa dia tidak takut kehilangan nyawa dengan omongannya, seakan menyiratkan bahwa ini yang dia yakini adalah kebenaran dan merupakan juga suara dari gereja.

Bagaimana sebaiknya umat katolik menyikapi situasi seperti ini, ketika seorang imam katolik "bermain" politik praktis?

Gereja katolik memiliki peraturan tersendiri dalam mengatur hal ini. Dalam tulisan saya kali ini saya akan mengutip pada tulisan RD (Romo Praja) Rikardus Jehaut yang berjudul ; "Ketentuan Hukum Kanonik Tentang Keterlibatan Imam Dalam Politik" dan tulisan berjudul; "Imam Dapat Turut Ambil Bagian Aktif Dalam Berpolitik" dari RD Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, yang secara pribadi saya kenal.

Dalam pandangan gereja katolik

Sebagai manusia, imam juga memiliki hak politik yang sama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai warga negara yang baik, imam berkewajiban untuk terlibat dalam politik lewat upaya sadar dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan bonum commune yang merupakan tujuan politik (bdk. Kan. 747, § 2). Dan nilai-nilai Injili, seperti inklusivitas, pilihan mendahului orang miskin, HAM, solidaritas dan subsidiaritas, kebaikan umum (bdk. Kan. 747, § 1) harus mewarnai cara berpolitik seorang imam Katolik. Berbagai nilai inilah yang menjadi dasar visi politiknya yakni membangun suatu tatanan politik yang adil, beradab dan mengabdi pada kepentingan umum terutama kelompok masyarakat yang dirugikan.

Di lain pihak, penting juga untuk disadari bahwa politik dalam arti sempit berarti upaya dan strategi untuk mendapatkan kekuasaan secara legitim. Politik adalah seni penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan bersama yang bergerak di bawah hukum-hukum dan berbagai aturan permainan yang jelas dan menjadi konsensus atau kesepakatan bersama.

Gereja Katolik mengatur hak politik imam ini. Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 kan. 287, §2 menyatakan bahwa para imam dilarang untuk turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.

Ketentuan yuridis ini memiliki pertautan yang erat dengan paragraf yang pertama dari kanon. 287, §1, di mana dikatakan bahwa para klerus hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan dengan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia (clerici pacem et concordiam iustitia innixam inter homines servandam quam maxime semper foveant)

Menurut RD Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta dalam tulisannya bahwa pengertian dalam kanon 287 dapat dijabarkan sebagai berikut:

 “Kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja dan memajukan kesejahteraan umum”. Kalimat dalam kanon 287, §2 inilah yang menjadi kunci yang menyatakan bahwa imam dapat terlibat aktif dalam politik.

Contoh konkret baru baru ini seorang Uskup diosesan: Fernando Lugo terpilih menjadi Presiden Paraguay. Dia mendapat dispensasi atas jabatannya sebagai Uskup dari Takhta Suci, dan menjadi Presiden Paraguay.

Dia mengatakan bahwa kakinya telah tertanam di tanah kehidupan orang miskin dan tidak bisa dipindahkan lagi. Dia ingin membela hak-hak kehidupan orang miskin dan menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik, melalui jalan politik praktis.

Perubahan dapat dicapai, jika ada kemauan politik dan ikut terlibat dalam dunia politik. Kata Lugo: “Saya pikir tugas kepastoran di Gereja sangat penting namun tidak mencukupi untuk memperjuangkan martabat rakyat Paraguay”.

Kanon 287, §2 mau memberikan pengecualian bahwa praktik keterlibatan imam dalam politik praktis itu ada dasarnya, bukan karena tren atau mode. Ada tiga alasan mengapa Imam dapat terlibat dalam politik:

A. Keterlibatan imam dalam politik praktis diperbolehkan karena pertama-tama Hak-hak Gereja terpasung, sehingga Gereja tidak bisa hidup, tidak memiliki hak-hak dasar sebagai persekutuan umat beriman, sebagai masyarakat beriman yang hidup. Singkatnya, hak-hak Gereja dirampas oleh kebijakan kekuasaan Negara.

Hak – hak Gereja itu adalah; hak merayakan peristiwa imannya dalam ibadat (ekaristi, doa lingkungan dan lain peribadatan), hak memiliki tempat untuk beribadat, hak memperoleh kedudukan yang sama dengan umat beragama lain di hadapan hukum serta dalam tata kehidupan masyarakat (pemerintahan). Jika keadaan menunjukkan fenomena bahwa Gereja perlahan-lahan dirugikan oleh karena kehilangan hak-hak Gereja, maka Uskup dan imamnya atau religius lain (suster, bruder) dapat terlibat aktif dalam politik.

B. Keterlibatan imam dalam politik praktis diperbolehkan karena keadaan masyarakat menuntut. Karena situasi masyarakat dan kehidupan manusia yang jauh dari kesejahteraan, menggerakan hati Gereja untuk terlibat (bdk. GS, 1). Gereja tidak bisa berpangku tangan dan membiarkan keadaan masyarakat sekitar penuh dengan penderitaan dan tidak manusiawi. Gereja harus memajukan kesejahteraan umum (bdk. definisi politik).

C. Politik itu tanda dan sarana keselamatan (bdk. Eddy Kristiyanto, OFM, Sakramen Politik, Penerbit Lamalera, Yogyakarta 2008). Dalam sejarah Gereja, politik menjadi bagian tak terpisahkan dari tugas Gereja untuk mewartakan kabar gembira, karya keselamatan Allah bagi dunia. Karena itu jika seorang imam berpolitik diperbolehkan secara yuridis (aturan Gereja) karena keadaan masyarakat yang menuntutnya demi keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.

D. Dalam prosedur imam yang terjun ke politik praktis hendaknya diindahkan aturan Gereja, yakni imam tersebut harus meminta izin dahulu dari ordinaris setempat. Paling tidak dia memberikan alasan yang kuat untuk terjun ke dunia politik praktis. Keterlibatan imam guna membela hak-hak Gereja yang terampas oleh kekuasaan harus mendapat dukungan dari Uskup atau pemimpin umum tarekat religius yang bersangkutan. Dengan ikut serta berpolitikl secara praktis memajukan kesejahteraan umum melalui politik, Gereja akan semakin signifikan dan relevan kehadirannya bagi dunia dan masyarakat.

Penutup

Sebagai awam katolik saya bertanya-tanya, apakah "cerewet" seorang Franz Magnis dalam politik praktis Indonesia berlandaskan hukum dan ketentuan diatas?

Adakah hak-hak gereja yang terpasung dan dirampas oleh negara? Adakah tuntutan dari masyarakat dalam hal ini agar gereja katolik mengambil peran dalam perpolitikan atau politik praktis di Indonesia? Atau adakah situasi darurat gereja katolik di Indonesia yang mengijinkan seorang Romo Katolik harus cawe-cawe begitu "cerewet"nya dalam perpolitikan?

Sebagai awam katolik yang tidak ingin melihat perpecahan dan timbulnya kebencian pada pada para pastor yang berpolitik, sebaiknya gereja mulai mengambil langkah nyata atau sekalian saja mengumumkan secara resmi daripada tanggung-tanggung, paslon nomor berapa gereja katolik berpihak.

Seperti kata teman katolik saya mengenai Frans Magnis: "saya pernah kagum sama dia, sampe ikut kelasnya di Driyarkara. Sekarang semua sirna. Preeet lah!"

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama