Pertanyaan mendasar pun
muncul; "Haruskah kita (umat) mengikuti imbauan tokoh agama (Katolik) dalam
konstelasi politik?"
Dalam tulisan ini, akan
dibahas pentingnya mempertimbangkan pandangan tokoh agama Katolik dalam konteks
politik, sejauh mana pengaruhnya terhadap masyarakat, serta implikasi dari
penilaian dan keputusan yang diambil. Tentu saja, setiap individu memiliki kebebasan
untuk melakukan munasabah dan menentukan sikap politik, namun apakah
mempertimbangkan imbauan dari tokoh agama bagi umat Katolik sejalan dengan
nilai-nilai dan ajaran agamanya?
Mengapa pendapat tokoh
agama dalam hal ini berperan penting? Bagaimana urgensi keberpihakan dan
pengikutannya dalam konteks politik? Apakah pengaruh tokoh agama dapat
memberikan kontribusi positif atau justru mengarah pada pembatasan kebebasan
berpolitik?
Peranan Pastor Katolik
dalam politik adalah subjektif dan bergantung pada negara dan situasi politik
tertentu. Ini berkaitan dengan prinsip pemisahan Gereja dan Negara yang ada di
banyak negara.
Dalam beberapa negara,
pastor Katolik dapat terlibat dalam politik langsung sebagai anggota parlemen
atau pejabat pemerintah lainnya dengan syarat bahwa mereka mengikuti hukum dan
aturan yang berlaku. Mereka memiliki hak dan kebebasan untuk berpendapat,
berpartisipasi dalam pemilihan, dan menjadi anggota partai politik jika mereka
ingin melakukannya.
Namun, dalam doktrin Gereja
Katolik, pastor biasanya menghindari keterlibatan langsung dalam politik
praktis sebagai bagian dari misi rohani mereka. Mereka lebih fokus pada tugas
spiritual dan akan berbicara mengenai nilai-nilai moral dan etika yang relevan
dalam konteks politik. Dalam hal ini, peran mereka adalah untuk memberikan
nasihat dan arahan moral kepada umat Katolik dan masyarakat pada umumnya.
Namun, bahkan dalam
peran mereka sebagai pengajar dan pembimbing moral, pastor Katolik harus
menjaga prinsip netralitas politik dan menyadari keragaman pendapat politik di
antara umat mereka. Di samping itu, mereka juga harus menghormati dan
menghargai pemisahan Gereja dan Negara serta kebebasan berpendapat yang dijamin
oleh hukum.
Pada akhirnya, peranan
pastor Katolik dalam politik harus berada dalam batas-batas yang ditentukan
oleh hukum dan kebijakan Gereja Katolik. Selain itu, peran tersebut juga harus
mencerminkan penerapan prinsip-prinsip moral dan etika yang dianut oleh Gereja
dalam berbagai masalah politik yang memengaruhi masyarakat.
Konstelasi Politik 2024
Akhir-akhir ini
menjelang putaran tahap akhir kampanye Pemilu situasi keadaan negara kita
menghangat. Menghangat bila tidak bisa dikatakan membara.
Kampanye politik yang
seharusnya menjadi ajang mempromosikan paslon dan pendidikan politik bagi
masyarakat, sudah berubah menjadi arena pembantaian antar paslon dengan saling
serang dan menjatuhkan dengan membuka aib dan fitnah oleh para timses antar
pasangan calon.
Yang sedang berkampanye
dan pendukungnya yang merupakan masyarakat biasa seakan lupa bahwa jika situasi
ini diteruskan dapat dipastikan bahwa situasi mengarah pada situasi sulit dan
mengarah pada terjadi pembelahan masyarakat (situasi Pemilu 2019).
Situasi semakin rumit
ketika seorang rohaniwan katolik Franz Magnis Suseno muncul ke tengah
masyarakat dengan pendapatnya yang seakan mewakili (masyarakat menafsirkan
begitu) gereja katolik. Pendapat dia yang terang-terangan tendensius
menyudutkan salah satu calon yang terus menerus dia kumandangkan dalam berbagai
podcast dan medsos, dengan menekankan bahwa dia tidak takut kehilangan nyawa
dengan omongannya, seakan menyiratkan bahwa ini yang dia yakini adalah
kebenaran dan merupakan juga suara dari gereja.
Bagaimana sebaiknya
umat katolik menyikapi situasi seperti ini, ketika seorang imam katolik
"bermain" politik praktis?
Gereja katolik memiliki
peraturan tersendiri dalam mengatur hal ini. Dalam tulisan saya kali ini saya
akan mengutip pada tulisan RD (Romo Praja) Rikardus Jehaut yang berjudul ;
"Ketentuan Hukum Kanonik Tentang Keterlibatan Imam Dalam Politik" dan
tulisan berjudul; "Imam Dapat Turut Ambil Bagian Aktif Dalam
Berpolitik" dari RD Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, yang secara pribadi
saya kenal.
Dalam pandangan gereja katolik
Sebagai manusia, imam
juga memiliki hak politik yang sama dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Sebagai warga negara yang baik, imam berkewajiban untuk terlibat
dalam politik lewat upaya sadar dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan
bonum commune yang merupakan tujuan politik (bdk. Kan. 747, § 2). Dan
nilai-nilai Injili, seperti inklusivitas, pilihan mendahului orang miskin, HAM,
solidaritas dan subsidiaritas, kebaikan umum (bdk. Kan. 747, § 1) harus
mewarnai cara berpolitik seorang imam Katolik. Berbagai nilai inilah yang
menjadi dasar visi politiknya yakni membangun suatu tatanan politik yang adil,
beradab dan mengabdi pada kepentingan umum terutama kelompok masyarakat yang
dirugikan.
Di lain pihak, penting
juga untuk disadari bahwa politik dalam arti sempit berarti upaya dan strategi
untuk mendapatkan kekuasaan secara legitim. Politik adalah seni penyelenggaraan
dan pengelolaan kehidupan bersama yang bergerak di bawah hukum-hukum dan
berbagai aturan permainan yang jelas dan menjadi konsensus atau kesepakatan
bersama.
Gereja Katolik mengatur
hak politik imam ini. Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 kan. 287, §2 menyatakan
bahwa para imam dilarang untuk turut ambil bagian aktif dalam partai-partai
politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut
penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi
hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.
Ketentuan yuridis ini
memiliki pertautan yang erat dengan paragraf yang pertama dari kanon. 287, §1,
di mana dikatakan bahwa para klerus hendaknya selalu memupuk damai dan
kerukunan dengan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di
antara sesama manusia (clerici pacem et concordiam iustitia innixam inter
homines servandam quam maxime semper foveant)
Menurut RD Dominikus
Gusti Bagus Kusumawanta dalam tulisannya bahwa pengertian dalam kanon 287 dapat
dijabarkan sebagai berikut:
“Kecuali jika menurut penilaian otoritas
gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja dan
memajukan kesejahteraan umum”. Kalimat dalam kanon 287, §2 inilah yang menjadi
kunci yang menyatakan bahwa imam dapat terlibat aktif dalam politik.
Contoh konkret baru
baru ini seorang Uskup diosesan: Fernando Lugo terpilih menjadi Presiden
Paraguay. Dia mendapat dispensasi atas jabatannya sebagai Uskup dari Takhta
Suci, dan menjadi Presiden Paraguay.
Dia mengatakan bahwa
kakinya telah tertanam di tanah kehidupan orang miskin dan tidak bisa
dipindahkan lagi. Dia ingin membela hak-hak kehidupan orang miskin dan
menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik, melalui jalan politik
praktis.
Perubahan dapat
dicapai, jika ada kemauan politik dan ikut terlibat dalam dunia politik. Kata
Lugo: “Saya pikir tugas kepastoran di Gereja sangat penting namun tidak
mencukupi untuk memperjuangkan martabat rakyat Paraguay”.
Kanon 287, §2 mau
memberikan pengecualian bahwa praktik keterlibatan imam dalam politik praktis
itu ada dasarnya, bukan karena tren atau mode. Ada tiga alasan mengapa Imam
dapat terlibat dalam politik:
A. Keterlibatan imam
dalam politik praktis diperbolehkan karena pertama-tama Hak-hak Gereja
terpasung, sehingga Gereja tidak bisa hidup, tidak memiliki hak-hak dasar
sebagai persekutuan umat beriman, sebagai masyarakat beriman yang hidup.
Singkatnya, hak-hak Gereja dirampas oleh kebijakan kekuasaan Negara.
Hak – hak Gereja itu
adalah; hak merayakan peristiwa imannya dalam ibadat (ekaristi, doa lingkungan
dan lain peribadatan), hak memiliki tempat untuk beribadat, hak memperoleh
kedudukan yang sama dengan umat beragama lain di hadapan hukum serta dalam tata
kehidupan masyarakat (pemerintahan). Jika keadaan menunjukkan fenomena bahwa
Gereja perlahan-lahan dirugikan oleh karena kehilangan hak-hak Gereja, maka
Uskup dan imamnya atau religius lain (suster, bruder) dapat terlibat aktif
dalam politik.
B. Keterlibatan imam
dalam politik praktis diperbolehkan karena keadaan masyarakat menuntut. Karena
situasi masyarakat dan kehidupan manusia yang jauh dari kesejahteraan,
menggerakan hati Gereja untuk terlibat (bdk. GS, 1). Gereja tidak bisa
berpangku tangan dan membiarkan keadaan masyarakat sekitar penuh dengan
penderitaan dan tidak manusiawi. Gereja harus memajukan kesejahteraan umum
(bdk. definisi politik).
C. Politik itu tanda
dan sarana keselamatan (bdk. Eddy Kristiyanto, OFM, Sakramen Politik, Penerbit
Lamalera, Yogyakarta 2008). Dalam sejarah Gereja, politik menjadi bagian tak
terpisahkan dari tugas Gereja untuk mewartakan kabar gembira, karya keselamatan
Allah bagi dunia. Karena itu jika seorang imam berpolitik diperbolehkan secara
yuridis (aturan Gereja) karena keadaan masyarakat yang menuntutnya demi
keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.
D. Dalam prosedur imam
yang terjun ke politik praktis hendaknya diindahkan aturan Gereja, yakni imam
tersebut harus meminta izin dahulu dari ordinaris setempat. Paling tidak dia
memberikan alasan yang kuat untuk terjun ke dunia politik praktis. Keterlibatan
imam guna membela hak-hak Gereja yang terampas oleh kekuasaan harus mendapat
dukungan dari Uskup atau pemimpin umum tarekat religius yang bersangkutan.
Dengan ikut serta berpolitikl secara praktis memajukan kesejahteraan umum
melalui politik, Gereja akan semakin signifikan dan relevan kehadirannya bagi
dunia dan masyarakat.
Penutup
Sebagai awam katolik
saya bertanya-tanya, apakah "cerewet" seorang Franz Magnis dalam
politik praktis Indonesia berlandaskan hukum dan ketentuan diatas?
Adakah hak-hak gereja
yang terpasung dan dirampas oleh negara? Adakah tuntutan dari masyarakat dalam
hal ini agar gereja katolik mengambil peran dalam perpolitikan atau politik
praktis di Indonesia? Atau adakah situasi darurat gereja katolik di Indonesia
yang mengijinkan seorang Romo Katolik harus cawe-cawe begitu
"cerewet"nya dalam perpolitikan?
Sebagai awam katolik
yang tidak ingin melihat perpecahan dan timbulnya kebencian pada pada para
pastor yang berpolitik, sebaiknya gereja mulai mengambil langkah nyata atau
sekalian saja mengumumkan secara resmi daripada tanggung-tanggung, paslon nomor
berapa gereja katolik berpihak.
Seperti kata teman
katolik saya mengenai Frans Magnis: "saya pernah kagum sama dia, sampe ikut
kelasnya di Driyarkara. Sekarang semua sirna. Preeet lah!"