Masih Adakah Jiwa Gotong Royong Tertanam pada Masyarakat Perkotaan di Indonesia?

Masih Adakah Jiwa Gotong Royong Tertanam pada Masyarakat Perkotaan di Indonesia?



Suara Numbei News - Dalam hiruk pikuk kehidupan perkotaan Indonesia, pertanyaan mendasar muncul: apakah jiwa gotong royong masih tetap hidup di tengah-tengah gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan yang padat? Dari gang-gang sempit hingga pusat-pusat perbelanjaan megah,  perdebatan tentang keberadaan gotong royong terus berkembang. Namun, di balik sorotan terang kota, tersembunyi dinamika sosial yang kompleks, menciptakan tantangan bagi tradisi gotong royong yang telah lama menjadi ciri khas Indonesia.

Urbanisasi yang pesat telah mengubah lanskap sosial di Indonesia, menghadirkan tantangan baru bagi praktik gotong royong. Masyarakat yang pindah ke kota sering kali terisolasi dalam kehidupan yang individualistik, memperdebatkan relevansi nilai-nilai kolektivisme dalam konteks modern. Sementara itu, faktor-faktor seperti perubahan gaya hidup, polarisasi sosial, dan ketidaksetaraan ekonomi semakin menekan jiwa gotong royong yang pernah kuat di masyarakat tradisional (Effendi, 2013). Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, jiwa gotong royong masih bertahan di masyarakat perkotaan Indonesia. Nilai-nilai kolektivisme masih memiliki relevansi yang kuat, meskipun kadang tersembunyi di balik individualisme yang semakin dominan.

Pertama-tama, penting untuk memahami konsep teori individualisme dan kolektivisme dalam konteks gotong royong. Teori individualisme menekankan pada kepentingan individu dan pencapaian pribadi, sementara kolektivisme menyoroti pentingnya solidaritas dan kerja sama dalam kelompok (Singelis et al., 1995). Dalam masyarakat perkotaan, tekanan individualisme dapat dilihat dari prioritas individu terhadap kepentingan pribadi mereka, seperti mengejar kesuksesan karier atau gaya hidup konsumtif. Namun, nilai-nilai kolektivisme masih hidup, terutama dalam bentuk kegiatan sosial komunitas, kebersamaan dalam mengatasi masalah lingkungan, dan dukungan antar tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Rose Markus & Kitayama (1991) mengatakan bahwa budaya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengalaman individu, termasuk cara berpikir, merasa, dan termotivasi.

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa jiwa gotong royong telah merosot dalam masyarakat perkotaan. Mereka menunjukkan penurunan partisipasi dalam kegiatan gotong royong dan kurangnya kesadaran akan kebutuhan bersama. Namun, penurunan ini tidak dapat dijadikan indikator kehilangan jiwa gotong royong secara keseluruhan. Sebaliknya, masyarakat perkotaan telah beradaptasi dengan cara baru untuk mengekspresikan nilai-nilai kolektivisme, seperti melalui gerakan sosial, aksi sukarela, dan inisiatif komunitas.

Selain itu, fenomena-fenomena terkini juga memengaruhi dinamika gotong royong dalam masyarakat perkotaan. Urbanisasi yang pesat telah mengubah pola interaksi sosial, namun juga membawa potensi baru untuk kolaborasi dan keterlibatan komunitas dalam proyek-proyek kota (Effendi, 2013). Perubahan gaya hidup dan nilai-nilai konsumen dapat dilihat sebagai peluang untuk memperkuat gotong royong, dengan menyadarkan individu akan pentingnya berbagi sumber daya dan menjaga lingkungan. Sedangkan polarisasi sosial dan ekonomi menyoroti perlunya inklusi sosial dan solidaritas lintas golongan untuk mengatasi ketidaksetaraan yang semakin meningkat.

Selanjutnya penting untuk melihat upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memperkuat jiwa gotong royong dalam masyarakat perkotaan. Program-program pemerintah dan inisiatif masyarakat sipil telah dirancang untuk mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan membangun ikatan komunitas yang kuat. Pendidikan juga memainkan peran penting dalam menanamkan nilai-nilai kolektivisme kepada generasi muda, mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin masa depan yang peduli dan bertanggung jawab.

Untuk memperkuat jiwa gotong royong dalam masyarakat perkotaan, diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Langkah-langkah praktis seperti memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan keterampilan sosial, mempromosikan kegiatan komunitas dan pengembangan infrastruktur sosial, serta mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan lingkungan dapat membantu membangun ikatan sosial yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan bersama.

Dalam kesimpulan, jiwa gotong royong masih tertanam dalam masyarakat perkotaan Indonesia meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan. Teori individualisme dan kolektivisme memberikan kerangka konseptual yang berguna untuk memahami dinamika gotong royong dalam konteks modern. Dengan upaya bersama dari individu, masyarakat, dan pemerintah, masih ada harapan untuk memperkuat nilai-nilai kolektivisme dan menjaga keberlangsungan jiwa gotong royong dalam masyarakat perkotaan di Indonesia.

Referensi:

Effendi, T. N. (2013). Budaya Gotong-Royong Masyarakat dalam Perubahan Sosial Saat Ini. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2(1).

Rose Markus, H., & Kitayama, S. (1991). Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation. In Psychological Review (Vol. 98, Issue 2).

Singelis, T. M., Triandis, H. C., Bhawuk, D. P. S., & Gelfand, M. J. (1995). Horizontal and Vertical Dimensions of Individualism and Collectivism: A Theoretical and Measurement Refinement. Cross-Cultural Research, 29(3), 240–275. https://doi.org/10.1177/106939719502900302



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama