Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah, praktis membuka kran demokrasi baru bagi
masyarakat Indonesia yang selama ini mengharapakan sebuah proses pemilihan
langsung di wilayah mereka dengan harapan perbaikan penyelenggaraan dan
pelayanan publik di tingkat desa. Dengan adanya undang-undang ini, menandai
berakhirnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang didasarkan pada undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Karena dianggap sudah tidak lagi
relevan dengan dengan kemajuan dan peradaban yang semakin berkembang.
Selanjutnya dalam UU Otonomi Daerah No.32 Tahun
2004, disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih
kembali untuk 1 kali masa jabatan. Namun, pada UU Desa No 6 Tahun 2014
disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa 6 tahun, dapat menjabat paling banyak
3 kali masa jabatan secara berturut-turut. Dalam perkembangannya terdapat perubahan
terhadap peraturan tentang desa yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Hal ini menjadi jawaban yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah daerah untuk dapat
mengisi kekosongan posisi Kepala Desa sekaligus dalam rangka implementasi
Undang-Undang Desa. Dengan terbitnya Permendagri tentang UU Kepala Desa ini
akan menjadi dasar hukum bagi pemerintah kabupaten untuk dapat melakukan
Pemilihan Kepala Desa di daerahnya baik secara berbarengan maupun secara
bergelombang.
Kontestasi Pilkades memiliki ciri khas dan
karakteristiknya sendiri jika dibanding dengan Pilkada maupun Pilpres mengingat
pemilihnya yang notabene secara letak geografis saling berdekatan dan beberapa
diantaranya memiliki hubungan kekerabatan dengan sang calon kepala desa. Hal
ini mengakibatkan “suhu dan tensi” politik menjelang Pilkades cukup “memanas”
karena berkaitan dengan tarik menarik dukungan dan kepentingan masing-masing
kubu. Semakin menjadi menarik ketika mengamati komunikasi politik dan strategi
marketing politik yang dilancarkan masing-masing kubu demi “mendulang” suara
sebanyak-banyaknya kepada calon pemilih. Segmentasi pemilih yang beragam juga
turut berpengaruh dalam pola strategi yang digunakan timses masing-masing
calon. Mulai dari segmentasi usia seperti kalangan generasi X yang berada di
kisaran usia 41-50an, generasi Y yang berada di kisaran usia 30-40an, ataupun
generasi Z atau yang dikenal kalangan milenialis atau kaum muda usia produktif
yang lahir di tahun 90-an sampai 2000an yang saat ini berusia belasan tahun
sampai dibawah 30 tahun. Segmentasi pekerjaan misalnya, mulai dari petani,
buruh/karyawan pabrik, pekerja kantoran, pedagang, guru, maupun ibu rumah
tangga. Beragamnya segmentasi ini menjadi penentu dan pertimbangan bagi timses
masing-masing calon untuk memetakan strategi marketing politik yang akan mereka
gunakan bagi kemenangan calon yang diusung.
Rekam jejak (track
record) para kandidat calon kades menjadi hal yang sangat penting untuk
diamati mengingat latar belakang yang dimiliki oleh tiap-tiap calon kades
berbeda satu sama lainnya. Rekam jejak ini pula menjadi pertimbangan yang
sangat penting bagi masyarakat dalam menentukan kemana dan kepada siapa mereka
menjatuhkan pilihan. Kesamaan latar belakang juga terkadang menjadi “magnet”
kuat bagi calon kades dalam menggaet calon pemilih untuk makin mantap
menjatuhkan pilihan kepada mereka. Selain itu juga terkait dengan hubungan
kekerabatan yang dimiliki oleh calon kades dengan pemilihnya juga turut
berpengaruh terhadap preferensi pemilih. Mengingat kuatnya kekerabatan baik di
antara para pemilih maupun dengan calon kades, tidak sedikit para calon kepala
desa yang memanfaatkan hubungan kekerabatan mereka dengan sebagian masyarakat
dan menjadikan mereka bagian dari tim sukses dan pemenangan.
Hubungan kekerabatan ini serupa dengan sistem
jejaring dimana setiap dari mereka memiliki pergaulan yang luas serta pengaruh
yang cukup kuat di masyarakat mengingat status sosial ekonomi dan kedudukan
yang mereka miliki di masyarakat. Banyak diantara mereka merupakan tokoh
masyarakat maupun tokoh agama yang berpengaruh di wilayahnya masing-masing
karena masyarakat cenderung mendengar, mengikuti rekam jejak, melihat dan mendengar
langsung dari Tim Sukses tentang popularitas sang calon Kepala Desa, karena
bagi mereka titah atau petuah yang disampaikan sebuah bahan permenungan untuk
menentukan pemimpin ideal di desanya. Hal ini berlaku di beberapa desa dengan
karakteristik yang masih kental dengan ikatan suku dalam tataran adat tertentu.
Hal ini semakin memudahkan proses kampanye “soft”
dari calon kades. Bahkan cenderung ada anggapan bahwa jika sudah memegang tokoh
masyarakat dan tokoh adat di tiap wilayah, maka peluang kemenangan yang di raih
akan semakin besar.
Selain itu, program yang ditawarkan oleh para
kandidat juga menjadi bagian penting dalam proses kampanye. Berbagai manuver mereka gunakan dalam
menyampaikan program yang “populis”
di mata masyarakat seperti program bantuan tunai langsung, infrastruktur jalan
desa, serta alokasi dana desa untuk kegiatan masyarakat juga menjadi salah satu
pertimbangan mereka sebelum menentukan pilihan mereka.
Popularitas yang dimiliki kandidat turut pula
berpengaruh pada peluang tingginya elektabilitas yang dimilikinya. Maka tak
heran jika bermunculan sosok populer yang turut meramaikan kontestasi pilkades
baik dari kalangan publik figur maupun dari kalangan muda/milenialis yang
memiliki jejaring luas di media sosial. Hal ini tentu membuat kontestasi
pilkada semakin menarik dan dinamis untuk dicermati.
Kontestasi Pilkades pun tidak bisa dilepaskan dari
sosok Petahana versus “new comer”
yang masing-masing memiliki takaran kekuatan dan kelemahannya. Di beberapa
desa, kuatnya pengaruh petahana yang masih tetap bertengger di kursi kekuasaan
meskipun telah dua kali menjabat dan mengikuti kontestasi pilkades untuk ketiga
kalinya hingga akhirnya kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat desanya
untuk kembali memimpin di desa tersebut dan praktis mengalahkan pesaingnya yang
notabene adalah “new comer” dalam
konstelasi politik di desa tersebut. Namun di beberapa kasus lainnya kita juga
dapat melihat “tumbangnya” kekuatan dan kekuasaan Petahana yang dikalahkan oleh
pesaingnya dalam kontestasi Pilkades.
Lantas apakah yang menjadi faktor pendukung seorang
Petahana dapat kembali meraih sukses dan kepercayaan masyarakat untuk memimpin
kembali. Dan apakah yang menjadi faktor penyebab bagi Petahana yang “gugur”
dalam pertarungan Pilkades dan dikalahkan oleh rivalnya?. Ada beberapa faktor
pendukung seorang Petahana dapat kembali terpilih diantaranya: :
Pertama, petahana dianggap mampu mewujudkan program
pemerintahan desa yang dianggap berhasil dan diterima oleh masyarakat. Kedua, masyarakat menganggap Petahana
telah menjalankan programnya dengan baik dan mampu melayani berbagai kebutuhan
masyarakat desa melalui program-program yang dibuat baik program desa itu
sendiri maupun program arahan dari pemerintah pusat. Ketiga, kuatnya figur Petahana yang dianggap mumpuni namun merakyat
dengan tidak memiliki rekam jejak yang negatif maupun yang mencederai
kepercayaan publik. Keempat, dengan
menggandeng tim sukses/tim pemenangan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama
yang dianggap kharismatik, berwibawa, menjaga moral etik dan memiliki status
sosial ekonomi yang baik di masyarakat dan menjadi sosok yang disegani dan
terpandang di masyarakat. Kelima, ‘jualan” program yang mereka usung dianggap
masih bisa diterima dengan baik oleh masyarakat dan relevan dengan program
sebelumnya yang dianggap berhasil di mata masyarakat.
Sebaliknya hal-hal yang dapat menyebabkan seorang
Petahana “tumbang” dikalahkan rivalnya jika diamati dari berbagai kasus dalam
kontestasi Pilkades diantaranya : Pertama, Petahana dianggap telah gagal dalam
menjalankan pemerintahan dan program yang diusungnya tidak dapat terrealisasi
sesuai dengan janji kampanyenya terdahulu. Kedua, ada perilaku atau hal-hal
yang dilakukan oleh Petahana di ruang publik yang dianggap kurang pantas,tidak
beretika dan bahkan “cacat moral” di mata masyarakat sehingga hilanglah
kepercayaan masyarakat kepadanya. Ketiga, adanya kekecewaan di kalangan orang
terdekat Petahana, baik di internal pemerintahannya maupun dari timsesnya
terdahulu yang menyebabkan mereka berubah haluan kepada calon lain yang menjadi
rivalnya dan memutuskan meninggalkan dukungan terhadap petahana. Keempat,
kurang mendapat dukungan dari tokoh masyarakat maupun tokoh agama setempat yang
menyebabkan mereka kekurangan suara untuk mengantarkan mereka kembali ke kursi
kekuasaan. Kelima, rekam jejak (track record)
mereka yang sudah tercoreng dengan banyak hal yang bisa menjatuhkan wibawa dan
kredibilitasnya di hadapan publik seperti, skandal korupsi, skandal perempuan,
maupun prilaku amoral lainnya.
Itulah mengapa kontestasi Pilkades selalu menarik
untuk di amati dengan segala dinamika dan konstelasi politik yang ada
didalamnya. Hal ini menggambarkan bahwa konstelasi politik pedesaan juga tidak
kalah “rasa dan tensinya” dengan Pilkada maupun Pilpres yang melibatkan banyak
pihak dari berbagai segmen untuk menjadi timses demi meraup suara
sebanyak-banyaknya. Belum lagi tarik menarik dukungan diantara masing-masing
timses maupun calon kades sebagai upaya marketing politik yang dilakukan
sebagai bentuk strategi pemenangan.
Tak heran jika manuver-manuver politik yang
dilakukan baik oleh calon kades maupun oleh timsesnya pun menjadi perhatian
masyarakat dengan segala responnya. Dengan demikian Pilkades sebagai bentuk
perwujudan pesta demokrasi rakyat di lingkup pedesaan dapat menjadi tolak ukur
bagi kemajuan dan perkembangan demokrasi di sebuah negara. Pilkades juga
menjadi salah saru indikator untuk melihat tingkat kedewasaan berpikir dan
berdemokrasi di tingkat masyarakat pedesaan dalam menyikapi pemilihan dan
pertarungan dalam memperebutkan dukungan secara sehat dan rasional tanpa
dikaitkan dengan unsur-unsur irrasional yang banyak diyakini oleh masyarakat
dan menjadi sumber potensi konflik di tengah masyarakat. Pilkades juga
merupakan miniatur demokrasi di tingkat lokal sekaligus juga refleksi bagi
sebuah konsep pemilihan langsung yang telah dilakukan sebelumnya yaitu Pilkada
dan Pilpres.
"Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan kenyataan. Tanggung jawab terakhir seorang pemimpin adalah mengucapkan terima kasih. Di antara keduanya, pemimpin adalah budak." - Max de Pree