Dinamika Politik Desa Dalam Pemilihan Kepala Desa (Sebuah Catatan Untuk Pilkades Serentak 2022 di Kabupaten Malaka)

Dinamika Politik Desa Dalam Pemilihan Kepala Desa (Sebuah Catatan Untuk Pilkades Serentak 2022 di Kabupaten Malaka)




Setapak rai numbeiPemilihan kepala desa atau yang biasa kita sebut Pilkades merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi rakyat di tingkat lokal (desa) yang diselenggarakan untuk memilih calon kepala desa terbaik versi masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat menjadi bagian penting dalam proses pemilihan kepala desa dimana mereka berpartisipasi untuk memilih dan menentukan arah kemajuan bagi desa yang mereka tinggali. Sehingga, pilkades menjadi suatu proses yang penting dijalani dalam mewujudkan prinsip demokrasi di negara kita serta bagi keberlangsungan jalannya pemerintahan di lingkup desa.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, praktis membuka kran demokrasi baru bagi masyarakat Indonesia yang selama ini mengharapakan sebuah proses pemilihan langsung di wilayah mereka dengan harapan perbaikan penyelenggaraan dan pelayanan publik di tingkat desa. Dengan adanya undang-undang ini, menandai berakhirnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang didasarkan pada undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Karena dianggap sudah tidak lagi relevan dengan dengan kemajuan dan peradaban yang semakin berkembang.

Selanjutnya dalam UU Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004, disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa 6 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan. Namun, pada UU Desa No 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa 6 tahun, dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut. Dalam perkembangannya terdapat perubahan terhadap peraturan tentang desa yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Hal ini menjadi jawaban yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah daerah untuk dapat mengisi kekosongan posisi Kepala Desa sekaligus dalam rangka implementasi Undang-Undang Desa. Dengan terbitnya Permendagri tentang UU Kepala Desa ini akan menjadi dasar hukum bagi pemerintah kabupaten untuk dapat melakukan Pemilihan Kepala Desa di daerahnya baik secara berbarengan maupun secara bergelombang.


Kontestasi Pilkades memiliki ciri khas dan karakteristiknya sendiri jika dibanding dengan Pilkada maupun Pilpres mengingat pemilihnya yang notabene secara letak geografis saling berdekatan dan beberapa diantaranya memiliki hubungan kekerabatan dengan sang calon kepala desa. Hal ini mengakibatkan “suhu dan tensi” politik menjelang Pilkades cukup “memanas” karena berkaitan dengan tarik menarik dukungan dan kepentingan masing-masing kubu. Semakin menjadi menarik ketika mengamati komunikasi politik dan strategi marketing politik yang dilancarkan masing-masing kubu demi “mendulang” suara sebanyak-banyaknya kepada calon pemilih. Segmentasi pemilih yang beragam juga turut berpengaruh dalam pola strategi yang digunakan timses masing-masing calon. Mulai dari segmentasi usia seperti kalangan generasi X yang berada di kisaran usia 41-50an, generasi Y yang berada di kisaran usia 30-40an, ataupun generasi Z atau yang dikenal kalangan milenialis atau kaum muda usia produktif yang lahir di tahun 90-an sampai 2000an yang saat ini berusia belasan tahun sampai dibawah 30 tahun. Segmentasi pekerjaan misalnya, mulai dari petani, buruh/karyawan pabrik, pekerja kantoran, pedagang, guru, maupun ibu rumah tangga. Beragamnya segmentasi ini menjadi penentu dan pertimbangan bagi timses masing-masing calon untuk memetakan strategi marketing politik yang akan mereka gunakan bagi kemenangan calon yang diusung.


Rekam jejak (track record) para kandidat calon kades menjadi hal yang sangat penting untuk diamati mengingat latar belakang yang dimiliki oleh tiap-tiap calon kades berbeda satu sama lainnya. Rekam jejak ini pula menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi masyarakat dalam menentukan kemana dan kepada siapa mereka menjatuhkan pilihan. Kesamaan latar belakang juga terkadang menjadi “magnet” kuat bagi calon kades dalam menggaet calon pemilih untuk makin mantap menjatuhkan pilihan kepada mereka. Selain itu juga terkait dengan hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh calon kades dengan pemilihnya juga turut berpengaruh terhadap preferensi pemilih. Mengingat kuatnya kekerabatan baik di antara para pemilih maupun dengan calon kades, tidak sedikit para calon kepala desa yang memanfaatkan hubungan kekerabatan mereka dengan sebagian masyarakat dan menjadikan mereka bagian dari tim sukses dan pemenangan.


Hubungan kekerabatan ini serupa dengan sistem jejaring dimana setiap dari mereka memiliki pergaulan yang luas serta pengaruh yang cukup kuat di masyarakat mengingat status sosial ekonomi dan kedudukan yang mereka miliki di masyarakat. Banyak diantara mereka merupakan tokoh masyarakat maupun tokoh agama yang berpengaruh di wilayahnya masing-masing karena masyarakat cenderung mendengar, mengikuti rekam jejak, melihat dan mendengar langsung dari Tim Sukses tentang popularitas sang calon Kepala Desa, karena bagi mereka titah atau petuah yang disampaikan sebuah bahan permenungan untuk menentukan pemimpin ideal di desanya. Hal ini berlaku di beberapa desa dengan karakteristik yang masih kental dengan ikatan suku dalam tataran adat tertentu. Hal ini semakin memudahkan proses kampanye “soft” dari calon kades. Bahkan cenderung ada anggapan bahwa jika sudah memegang tokoh masyarakat dan tokoh adat di tiap wilayah, maka peluang kemenangan yang di raih akan semakin besar.


Selain itu, program yang ditawarkan oleh para kandidat juga menjadi bagian penting dalam proses kampanye. Berbagai manuver mereka gunakan dalam menyampaikan program yang “populis” di mata masyarakat seperti program bantuan tunai langsung, infrastruktur jalan desa, serta alokasi dana desa untuk kegiatan masyarakat juga menjadi salah satu pertimbangan mereka sebelum menentukan pilihan mereka.


Popularitas yang dimiliki kandidat turut pula berpengaruh pada peluang tingginya elektabilitas yang dimilikinya. Maka tak heran jika bermunculan sosok populer yang turut meramaikan kontestasi pilkades baik dari kalangan publik figur maupun dari kalangan muda/milenialis yang memiliki jejaring luas di media sosial. Hal ini tentu membuat kontestasi pilkada semakin menarik dan dinamis untuk dicermati.


Kontestasi Pilkades pun tidak bisa dilepaskan dari sosok Petahana versus “new comer” yang masing-masing memiliki takaran kekuatan dan kelemahannya. Di beberapa desa, kuatnya pengaruh petahana yang masih tetap bertengger di kursi kekuasaan meskipun telah dua kali menjabat dan mengikuti kontestasi pilkades untuk ketiga kalinya hingga akhirnya kembali mendapat kepercayaan dari masyarakat desanya untuk kembali memimpin di desa tersebut dan praktis mengalahkan pesaingnya yang notabene adalah “new comer” dalam konstelasi politik di desa tersebut. Namun di beberapa kasus lainnya kita juga dapat melihat “tumbangnya” kekuatan dan kekuasaan Petahana yang dikalahkan oleh pesaingnya dalam kontestasi Pilkades.


Lantas apakah yang menjadi faktor pendukung seorang Petahana dapat kembali meraih sukses dan kepercayaan masyarakat untuk memimpin kembali. Dan apakah yang menjadi faktor penyebab bagi Petahana yang “gugur” dalam pertarungan Pilkades dan dikalahkan oleh rivalnya?. Ada beberapa faktor pendukung seorang Petahana dapat kembali terpilih diantaranya: :

Pertama, petahana dianggap mampu mewujudkan program pemerintahan desa yang dianggap berhasil dan diterima oleh masyarakat. Kedua, masyarakat menganggap Petahana telah menjalankan programnya dengan baik dan mampu melayani berbagai kebutuhan masyarakat desa melalui program-program yang dibuat baik program desa itu sendiri maupun program arahan dari pemerintah pusat. Ketiga, kuatnya figur Petahana yang dianggap mumpuni namun merakyat dengan tidak memiliki rekam jejak yang negatif maupun yang mencederai kepercayaan publik. Keempat, dengan menggandeng tim sukses/tim pemenangan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama yang dianggap kharismatik, berwibawa, menjaga moral etik dan memiliki status sosial ekonomi yang baik di masyarakat dan menjadi sosok yang disegani dan terpandang di masyarakat. Kelima, ‘jualan” program yang mereka usung dianggap masih bisa diterima dengan baik oleh masyarakat dan relevan dengan program sebelumnya yang dianggap berhasil di mata masyarakat.


Sebaliknya hal-hal yang dapat menyebabkan seorang Petahana “tumbang” dikalahkan rivalnya jika diamati dari berbagai kasus dalam kontestasi Pilkades diantaranya : Pertama, Petahana dianggap telah gagal dalam menjalankan pemerintahan dan program yang diusungnya tidak dapat terrealisasi sesuai dengan janji kampanyenya terdahulu. Kedua, ada perilaku atau hal-hal yang dilakukan oleh Petahana di ruang publik yang dianggap kurang pantas,tidak beretika dan bahkan “cacat moral” di mata masyarakat sehingga hilanglah kepercayaan masyarakat kepadanya. Ketiga, adanya kekecewaan di kalangan orang terdekat Petahana, baik di internal pemerintahannya maupun dari timsesnya terdahulu yang menyebabkan mereka berubah haluan kepada calon lain yang menjadi rivalnya dan memutuskan meninggalkan dukungan terhadap petahana. Keempat, kurang mendapat dukungan dari tokoh masyarakat maupun tokoh agama setempat yang menyebabkan mereka kekurangan suara untuk mengantarkan mereka kembali ke kursi kekuasaan. Kelima, rekam jejak (track record) mereka yang sudah tercoreng dengan banyak hal yang bisa menjatuhkan wibawa dan kredibilitasnya di hadapan publik seperti, skandal korupsi, skandal perempuan, maupun prilaku amoral lainnya.


Itulah mengapa kontestasi Pilkades selalu menarik untuk di amati dengan segala dinamika dan konstelasi politik yang ada didalamnya. Hal ini menggambarkan bahwa konstelasi politik pedesaan juga tidak kalah “rasa dan tensinya” dengan Pilkada maupun Pilpres yang melibatkan banyak pihak dari berbagai segmen untuk menjadi timses demi meraup suara sebanyak-banyaknya. Belum lagi tarik menarik dukungan diantara masing-masing timses maupun calon kades sebagai upaya marketing politik yang dilakukan sebagai bentuk strategi pemenangan.


Tak heran jika manuver-manuver politik yang dilakukan baik oleh calon kades maupun oleh timsesnya pun menjadi perhatian masyarakat dengan segala responnya. Dengan demikian Pilkades sebagai bentuk perwujudan pesta demokrasi rakyat di lingkup pedesaan dapat menjadi tolak ukur bagi kemajuan dan perkembangan demokrasi di sebuah negara. Pilkades juga menjadi salah saru indikator untuk melihat tingkat kedewasaan berpikir dan berdemokrasi di tingkat masyarakat pedesaan dalam menyikapi pemilihan dan pertarungan dalam memperebutkan dukungan secara sehat dan rasional tanpa dikaitkan dengan unsur-unsur irrasional yang banyak diyakini oleh masyarakat dan menjadi sumber potensi konflik di tengah masyarakat. Pilkades juga merupakan miniatur demokrasi di tingkat lokal sekaligus juga refleksi bagi sebuah konsep pemilihan langsung yang telah dilakukan sebelumnya yaitu Pilkada dan Pilpres.


"Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan kenyataan. Tanggung jawab terakhir seorang pemimpin adalah mengucapkan terima kasih. Di antara keduanya, pemimpin adalah budak." - Max de Pree




 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama