ILUSTRASI. Presiden Jokowi turut menanaman jagung di Food Estate Kabupaten Belu, NTT. |
Keempat pilar ini tak
dapat satu saja diabaikan jika ingin berhasil dalam pertanian skala luas dalam
hal ini pelaksanaan food estate. Di antaranya kesesuaian atau kelayakan tanah
dan agroklimat, kesesuaian infrastruktur, kelayakan budidaya dan teknologi,
serta kelayakan sosial-ekonomi.
"Tidak ada mana
yang lebih penting tapi semua penting. Satu saja tidak dipenuhi ya pasti akan
gagal," kata Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (12/4).
Misalnya saja dari segi
kesesuaian infrastruktur pada lahan yang akan ditanami padi, jika jaringan
irigasi tidak maksimal maka dapat dipastikan produktivitas akan gagal.
Kemudian di sisi
teknologi dan budidaya perlu memperhatikan varietas-varietas dan pupuk yang
cocok dengan lahan yang akan ditanami.
"Sisi
sosial-ekonomi bagaimana lahan bagaimana hak ulayat lalu terkait kepemilikan
lahan di sana kalau itu pemerintah bisa menyelesaikan, lalu sosial juga tenaga
kerja ada ngga petani di sana," imbuhnya.
Dwi menjelaskan, memang
terjadi penurunan lahan-lahan pertanian. Maka untuk menghadapi hal tersebut
perlu menggunakan strategi dengan memaksimalkan lahan-lahan kering yang ada
melalui intensifikasi.
Jika program food
estate masih ingin didorong pemerintah, maka Dwi menyarankan untuk mencari
lahan-lahan kecil yang sesuai dengan empat pilar tadi. Dari lahan-lahan kecil
tersebut akan menjadi penggerak bagi lahan-lahan disekitarnya.
"Persyaratannya
penuhi empat pilar tadi, air bisa dikelola dengan baik ada varietas yang cocok,
ada petaninya dan produksinya juga bisa lebih dari 4 ton per hektar udah
konsentrasi aja ke situ. Nanti itu jadi titik-titik pengembangan yang
perlahan-lahan bisa mempengaruhi wilayah-wilayah sekitarnya," jelasnya.
Adapun jumlah petani
yang ada saat ini juga menjadi tantangan ke depannya. Maka untuk menggerakkan
para petani dalam memaksimalkan lahan pertanian secara luas dalam hal in food
estate, maka pemerintah perlu meningkatkan luasan penguasaan lahan bagi petani.
"Misalnya satu
rumah tangga petani diberi lahan 10 hektare. Sebagian bisa untuk sawit sebagian
untuk lahan tanaman pangan. Karena sawit ini biaya perawatan tidak seintensif
pangan. Atau bisa di mixed misal jeruk nanas jadi bukan hanya misal padi
saja," ungkapnya.
Dwi menilai program
food estate pemerintah saat ini masih termasuk gagal atau mengulang kegagalan
yang sama di 25 tahun terakhir dalam kaitannya food estate.
"Kalau saya tegas
jawab food estate itu mengulang kegagalan yang sama di 25 tahun terakhir. FE
Kalteng di lokasi Kementan bukan proyek FE lama itu lokasi transmigrasi jadi
sudah stabil kondisi sosial ekonomi dan lahan stabil. Sehingga sudah berhasil
sudah lama, sekarang itu intensifikasi di situ. Tapi FE di blok A2, A5 yang eks
lahan gambut itu gagal, kami tahu karena kami ini pelaku. Itu produksi dibawah
1 ton sehektar rata-rata," ungkapnya.
Senada dengan Dwi, Guru
Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan Posman Sibuea
mengatakan secara umun food estate belum bisa dikatakan berhasil.
"Semuanya belum
menggembirakan hasilnya. Padahal tujuannya sangat baik untuk memperkuat
kedaulatan pangan," jelasnya.
Maka ke depan Posman
menyarankan agar pemerintah harus lebih memperbanyak pelibatan para petani
lokal dalam meningkatkan produktivitas dari food estate.
"Ke depan harus
melibatkan petani lokal dan mereka diberi sapras yang baik untuk mendukung
sistem pertanian," paparnya.
Selain itu, tantangan
di sektor pertanian pangan ke depan ialah, bagaimana Pemerintah mampu
menyiapkan ketersediaan SDM pertanian yang bermutu. Maka Posman menegaskan
sudah waktunya untuk melibatkan generasi milenia mengusung teknologi yang
mumpuni di sektor pertanian.
Selain itu,
ketersediaan pupuk dan benih unggul juga harus dipastikan pemerintah dalam
menghadapi tantangan sektor pertanian ke depan. "Pemerintah harus menindak
tegas mafia pupuk yang mempermainkan masa depan petani," tegasnya.
***
Source: Kontan.co.id