Jhon Prior, SVD/Dok. ist |
Tak lama sebelum itu,
masuk kembali ke rumah. Dan ketika memandang tamu-tamu di rumahnya, ia
tersenyum-senyum. Tamu-tamunya juga tersenyum. Dengan suara pasti, ia menyalami
mereka. Lantas percakapan singkat yang sudah terjadi di Pusat Penelitian Agak
dan Kebudayaan, Candraditya. Udara kota Maumere yang panas itu menambah ‘panas’
percakapan. Tak ada diskusi yang berat. Percakapan yang santai dalam situasi
menantikan pentahbisan Uskup Maumere.
Pater Dr. John Prior,
SVD (seperti biasa kalau bertemu) turut memantik percakapan. Dan yang selalu
pasti adalah tentang karya misi. Tempat tugas. Dan nanti kalau sudah dijawab,
dilanjutkan dengan misalnya, bagaimana orang di … dst. Bergudang pertanyaannya
dan setiap jawaban akan selalu didengarnya dengan teliti dalam hening. Ia tidak
akan pernah menyelahkan selama ada keterangan dan penjelasan yang perlu. Tapi,
ia tidak akan diam kalau ada hal yang tidak jelas. Serius tapi relaks.
P.John adalah salah
satu pembicara dalam pertemuan SVD global via zoom online yang diprakarsai oleh
Kantor Pusat SVD di Roma, menjawab tantangan pandemi Covid-19. Tema yang
ditujukannya adalah Menjangkau Orang-orang Miskin dan Hak-hak Mereka. Bahan
presentasi yang didiskusikan sudah dikirim sebelumnya kepada semua peserta
untuk dibaca dan sudah tentu jadi bahan dalam diskusi online itu. Penulis
mengambil secuil dari naskah itu dalam tulisan ini.
Tibalah John
mempresentasikan papernya. Hanya sekitar 15-20 menit diberikan atau malah
kurang. Kemudian dibuka sesi tanya jawab dari kertas kerja yang sudah
disampaikan, termasuk dari John. Tidak ada yang bertanya seputar papernya. Para
bekas murid-muridnya yang sedang bekerja dan berkelana di mana-mana sebagai
misionaris dari Serikat Sabda Allah di lima benua, juga tidak. Mungkin mereka
sudah mengenal “Moat Gete” ini dengan baik, yang selalu menyajikan materi
menarik sekaligus menantang dan penting dibawa dalam refleksi. Ini tidak
berarti bahwa John tidak ingin berdiskusi. Mustahil tidak ada percakapan dengan
John jika bertemu! Mantan Pastor dari kampung Wolofeo ini selalu menantang dan
bikin panas, bahkan bisa sampai panas sekali tapi itu artinya, semua yang
dibuat panas memiliki sesuatu dalam dirinya.
Dengan kata lain, ia
menguatkan orang lain, teman bicara melalui dan dalam dialog. Jadi, kalau orang
bicara, saya akan petik buahnya dan kembalikan buah yang dihasilkan sendiri
kepada pemiliknya.
Metode dialognya
beragam sekali. Tak ada yang tunggal. Atau dialog untuk dialog saja. Dialog
lebih luas dari pertukaran verbal. Bagi John, dialog untuk mencapai praksis dan
tindakan nyata. Bukan asal omong. Maka, John amat peduli dan terlibat dengan
orang kecil dan tersingkirkan.
Dari perhatian inilah
ia mengupas dan menganalisis secara kritis dan tajam dalam mengajarkan refleksi
teologis yang, kontekstual, tepat sasar, dan manusiawi. Dalam papernya Prof.
dari Ledalero itu menyajikan salah satu tugas pelayanannya sebagai kapelan di
penjara, selain kapelan bagi para penyintas HIV dan pengidap virus yang
mematikan itu.
John menjelaskan dan
berbicara singkat, jelas dan padat. Dalam papernya itu, ia menulis: “Dalam Ekaristi
Mingguan dan Sharing Bible hari Selasa kami, para narapidana mendapatkan
keberanian untuk membuka topeng mereka, belajar untuk tidak mencari alasan,
menemukan bagaimana menghadapi diri mereka sendiri dengan jujur, dan menerima
diri mereka apa adanya.”
Nah, jika orang-orang
tersebut dapat menemukan proses dan transformasi, maka orang-orang di luar
menemukan juga atau malah menemukan penemuan transformasi itu. masyarakat di
luar penjara lebih bebas, tanpa takut berdalih. Dapat dikatakan dengan cara
lain. Jika penjara masuk penjara atas alasan hukum, mengapa justru masyarakat
di luar penjara bisa membiarkan perdagangan manusia jalan lancar, larangan
masuk kantong koruptor dan kantong rakyat yang dibantu, para korban
stigmatisasi PKI yang terus menerus dibully secara arogan, arogansi atas
minoritas , dan sebaran hoax, black campaign, dst.
Jadi, John tidak
berteologi sosial saja. Ia berteologi untuk bertransformasi. tujuan pengajaran
teologi adalah untuk transformasi. Yang satu tetap menjadi subjek akal. Ia tetap
menjadi subjek dari keahliannya dan membawakan orang lain menjadi subjek bagi
dirinya.
Mari kita lihat satu
lagi sebagai berikut. John amat sangat melihat dan akan terus melihat dengan
jelas, guncangan-guncangan maut yang mencakar. Membaca John, saya berkesan dan
setuju bahwa teologi harus transformatif. Sebab, tanpa daya itu: “…Teologi
seperti itu terdiri dari rumusan-rumusan baku yang diturunkan dari atas untuk
menata serta menertibkan Gereja. Pengertian ini mewartakan sebuah allah yang
membosankan, dan allah yang membosankan mengantar orang untuk sikap apatis-tak
peduli yang sering dalam hati seseorang yang kerdil lagi takut.” (Ledalero
2009)
Teolog Hans Urs von
Balthasar mengatakan, jika seseorang berdoa baik, ia akan peduli dengan orang
miskin. intinya, tanpa kesadaran (kritis) menuju transformasi, kita akan jalan
di tempat dan lengket dengan status quo, apatis-tak peduli dalam bahasa John.
Ironisnya, transformasi bisa terjadi di penjara. Orang di penjara bisa berubah
jadi baik. Orang ‘bersih’ di luar penjara harus luar biasa!
Transformasi dengan
begitu membuktikan adalah hidup. Tidak hanya sebuah proses dan budaya.
Mengikuti John, akan
sangat menarik diperhatikan ketika transformasi terjadi dalam misa dan berbagi
Kitab Suci. Kita tidak tahu bagaimana perubahan itu terjadi dalam diri seorang
napi, seperti ketika roti berubah jadi Tubuh Kristus dan anggur jadi Darah
Kristus. Jadi, Kristus sendiri yang mengubah seorang tahanan! Atau dalam
berbagi Kitab Suci. Siapa yang membisikkan para napi tentang Sabda yang telah
menjadi daging. Maka, semua manusia sama di hadapan Allah.
“Jadi, dengan kejujuran
yang meningkat, mereka bersiap untuk menghadapi dunia sekali lagi ketika mereka
akhirnya dibebaskan.” Sambungannya di artikel itu. (penulis: Dengan kejujuran yang
bertambah, mereka siap untuk hidup lagi di dunia di luar penjara sekali lagi
ketika mereka dibebaskan).
Kita belajar dari John
bahwa tranformasi menguatkan dan membawa arah hidup. Ia melewati jalan-jalan
terjal, bahkan perlawanan sekalipun, tapi tidak lenyap. Ia rapuh tapi bebas.
Tepat bahwa John
mengajak kita untuk tidak jalan jauh-jauh. Kita mencari Allah di dalam dan dari
dalam. Transformasi berawal dari bathin yang bebas menerima ilham Ilahi, menuju
pertobatan sebagaimana disuarakan Yohanes Pembaptis. Santu Agung Paus Yohanes
Paulus II mengatakan, yang paling menggembirakan dalam karya misioner adalah
konversi atau pertobatan.
Pertobatan bukan jalan
balik haluan, apalagi nostalgia. Menurut John, “Transformasi menyangkut bentuk
dari apa yang hakiki: budi dan jiwa.” Ia adalah jalan untuk menemukan. Seperti
jalan dari Wolofeo menuju segala arah. Selamat Jalan! *** hidupkatolik.com