Bagi seorang perempuan
yang menyandang profesi baru yang awalnya single atau jomblo, beralih status
menjadi seorang istri sekaligus menantu dan calon ibu mungkin perlu melakukan
adaptasi dan sadar akan tanggung jawab diri. Dalam kacamata lingkungan sosial
kita memandang peran seorang istri berkewajiban penuh menjaga kehormatan
keluarga, harus taat pada suami, harus melayani suami, dan banyak berdiam di
dalam rumah dan melakukan pekerjaan domestik, bukan malah lebih sering
beraktivitas di luar rumah dan menimbulkan fitnah.
Namun, bagaimana dengan
perempuan rumah tangga yang terpaksa harus bekerja atau berkarir di luar rumah
karena gaji suami tidak mencukupi kebutuhan anak sehari-hari? Mau tidak mau
alternatifnya adalah ikut bekerja demi meringankan beban ekonomi keluarga agar
kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Berkarir di luar rumah dengan konsekuensi
pulang sore hingga malam karena harus mengikuti jam kantor perusahaan atau
tempat kerja.
Seorang perempuan
sekaligus istri dan Ibu Rumah Tangga (IRT) yang memilih jalan berkarir di luar
rumah karena kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, masihkan lingkungan sosial
memberikan stigma negatif terhadap perempuan dengan kondisi macam ini?
Bukan tidak ingin
menghabiskan banyak waktu berdiam di rumah, tetapi bila keadaan berkata lain
mau tidak mau harus mencari alternatif untuk menambah pemasukan ekonomi meski
pilihannya bekerja di ranah publik. Namun, bila memiliki anak, kondisi ini
perlu didiskusikan terutama pembagian waktu merawat anak secara adil. Atau ada
pula yang memilih alternatif menitipkan anak kepada orang tua (mertua).
Diskusi bersama
pasangan merupakan alternatif agar peliknya masalah dapat menemukan titik
terang. Menjaga komunikasi agar selalu baik dan membuat mental tetap sehat agar
aktivitas atau pekerjaan tidak terganggu. Namun, dalam kondisi perempuan
bekerja di lingkungan publik masih saja memunculkan stigma negatif dari
lingkungan sosial.
Budaya patriarki bangsa
ini rupanya masih mengakar kuat, tidak jarang yang memandang perempuan terutama
Ibu Rumah Tangga (IRT) atau seorang istri yang seharusnya patuh dan nerima akan
kondisi apapun dalam rumah tangganya, termasuk pendapatan suami yang terhitung
belum mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Masalah ekonomi dalam
rumah tangga mengharuskan perempuan memiliki peran ganda, yakni bekerja dan
menjadi pasangan atau Ibu Rumah Tangga (IRT). Realita kehidupan para perempuan
dalam lingkungan sosial mengundang kontroversi akan perannya berkarir di ranah
publik.
Peliknya kehidupan perempuan
dalam rumah tangga serta beban ekonominya merupakan sepaket kondisi di mana hal
itu butuh perencanaan matang bukan dengan berdiam diri karena takut pada stigma
negatif yang notabene tidak solutif terhadap kondisi ekonomi rumah tangga.
Daripada terbelit
hutang yang akhirnya menjadi beban mental keluarga, maka bekerja merupakan
salah satu alternatif memecahkan masalah meski pada akhirnya lingkungan sosial
tidak sepenuhnya mendukung 100 persen, lebih-lebih bila memiliki seorang anak
yang notabene harus melibatkan peran intens keluarga terutama Ibu.
Tidak banyak kondisi
keluarga di Indonesia yang mengalami hal demikian, termasuk pengalaman para
perempuan dalam rumah tangga yang kisahnya dibagikan kepada saya. Mereka kerap
menjadi bulan-bulanan mertua karena meninggalkan anak untuk bekerja. Menjadi
buah bibir tetangga karena bekerja dan tidak bisa memasak di dapur untuk suami
dan anak-anak.
Salah satu kajian
penelitian dari Rittnour dan Kellas (2015) menyimpulkan bahwa menantu sering
merasa tersakiti oleh perlakuan mertua seperti merendahkan kemampuan atau
terlalu ikut campur dalam kisah hubungan rumah tangga anaknya. Konflik yang
sering muncul antara menantu dan mertua sering terjadi di lingkungan sosial
kita, dan lagi-lagi bagaimana solusinya?
Berbagai komentar
miring menyudutkan peran seorang istri ketika memilih bekerja di ranah publik.
Lingkungan sosial kerap memberikan stigma berbeda hingga memunculkan stereotip
bahwa perempuan karir yang sering beraktivitas di ranah publik atau di luar
rumah diberi label sebagai perempuan yang kurang baik perangainya.
Menghadapi lingkungan
yang seperti itu, tidak sedikit yang memilih untuk menyerah pada keadaan
daripada menanggung malu karena takut komentar masyarakat. Beberapa waktu lalu,
publik pernah dihebohkan dengan berita di media massa, yakni angka bunuh diri
Ibu Rumah Tangga (IRT) di negara India.
Berdasarkan data yang
dirilis oleh Biro Catatan Kejahatan Nasional (NRBC) tahun 2021 lalu, kematian
ibu rumah tangga di India mencapai 22.372 disebabkan bunuh diri. Kondisi yang
cukup miris dan cukup meresahkan setiap telinga yang mendengar. Bagaimana jika
hal semacam ini terjadi di lingkungan kita? Lalu siapa yang akan disalahkan?
Masalah pernikahan
diduga menjadi salah satu faktorya. Seperti kekerasan rumah tangga yang dipicu
oleh kemiskinan dan faktor ekonomi. Namun, ada salah satu penyebab krusialnya
yakni lingkungan sosial yang memiliki andil terhadap komentar miring yang
secara tidak langsung memberi batasan ruang gerak terhadap perempuan.
Menjadi perempuan,
apapun profesinya juga layak dimanusiakan. Tuntutan ekonomi dan peliknya
permasalahan sering dilatar belakangi oleh kekhawatiran karena takut pada
anggapan orang. Ini yang sebenarnya menjadi penghalang perempuan melangkah
mandiri dan berkreasi untuk menunjukkan kemampuan diri.
Apa yang salah bila
ternyata pilihan terbaik bagi perempuan atau seorang istri bekerja di ranah
publik? Perempuan dalam profesi apapun memiliki hak untuk berkreasi menunjukkan
identitas dan kemampuan diri.
Bila perempuan harus
bekerja, maka keluarga sudah seharusnya memberikan pemakluman atas kondisi
tersebut. Buya Yahya pernah menyampaikan dalam ceramah agamanya di kajian
Youtube al-Bahjah TV 18 Februari 2022 lalu, bahwa boleh saja seorang istri bekerja
dengan beberapa syarat, yaitu harus mendapat izin suami, pekerjaan yang halal,
dan jika sukses tidak bersikap sombong. Solusi yang simple dan membutuhkan
introspeksi diri.
Bagi seorang istri dan
Ibu Rumah Tangga (IRT), bekerja merupakan keterpaksaan yang mengharuskan mereka
memiliki penghasilan sendiri. Dan bagi mertua kadang ini bukan solusi terbaik
karena harus meninggalkan perannya menjaga anak-anak dan rumah. Dua hal berbeda
dalam sudut pandang sosial, sehingga tidak jarang bila menemukan stigma negatif
lidah mertua begitu tajam dan menyudutkan peran menantu perempuannya.
Ratapan para menantu
perempuan yang di-boyong suami tinggal bersama orang tuanya kadang harus
menerima perlakuan yang kurang nyaman, semisal tidak dianggap sebagai keluarga
inti atau sebagai anak sendiri. Perlakuan ini sudah menjadi hal lumrah yang
kadang membuat miris hati.
Berbagai kisah
pengalaman seorang perempuan, istri, dan ibu single parent di lingkungan
patriarki sering dipandang negatif tanpa sebuah pemakluman. Kenyataan ini cukup
menggambarkan bahwa lingkungan masyarakat kita masih minim literasi sosial.
Bukankah saat ini kesempatan bekerja dan berkreasi di ranah publik tidak lagi
memandang gender?