Nasib Seorang Menantu Perempuan di Lingkungan Patriarki (Catatan Bunga Rampai)

Nasib Seorang Menantu Perempuan di Lingkungan Patriarki (Catatan Bunga Rampai)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Beberapa waktu lalu seorang kerabat, teman, bahkan tetangga perempuan berbagi pengalamannya kepada saya tentang kisah rumah tangga mereka. Yaitu, kisah romantisme hubungan sepasang kekasih dalam ikatan suci yang sering membuat saya berandai hubungan pernikahan tanpa masalah dan juga beban, ternyata tidak seindah bayangan. Pernikahan adalah fase baru di mana seseorang menjadi terikat dalam ikatan hubungan sah yang diakui oleh agama dan negara. Perempuan yang akhirnya memiliki suami, anak, dan juga mertua.

Bagi seorang perempuan yang menyandang profesi baru yang awalnya single atau jomblo, beralih status menjadi seorang istri sekaligus menantu dan calon ibu mungkin perlu melakukan adaptasi dan sadar akan tanggung jawab diri. Dalam kacamata lingkungan sosial kita memandang peran seorang istri berkewajiban penuh menjaga kehormatan keluarga, harus taat pada suami, harus melayani suami, dan banyak berdiam di dalam rumah dan melakukan pekerjaan domestik, bukan malah lebih sering beraktivitas di luar rumah dan menimbulkan fitnah.

Namun, bagaimana dengan perempuan rumah tangga yang terpaksa harus bekerja atau berkarir di luar rumah karena gaji suami tidak mencukupi kebutuhan anak sehari-hari? Mau tidak mau alternatifnya adalah ikut bekerja demi meringankan beban ekonomi keluarga agar kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Berkarir di luar rumah dengan konsekuensi pulang sore hingga malam karena harus mengikuti jam kantor perusahaan atau tempat kerja.

Seorang perempuan sekaligus istri dan Ibu Rumah Tangga (IRT) yang memilih jalan berkarir di luar rumah karena kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, masihkan lingkungan sosial memberikan stigma negatif terhadap perempuan dengan kondisi macam ini?

Bukan tidak ingin menghabiskan banyak waktu berdiam di rumah, tetapi bila keadaan berkata lain mau tidak mau harus mencari alternatif untuk menambah pemasukan ekonomi meski pilihannya bekerja di ranah publik. Namun, bila memiliki anak, kondisi ini perlu didiskusikan terutama pembagian waktu merawat anak secara adil. Atau ada pula yang memilih alternatif menitipkan anak kepada orang tua (mertua).

Diskusi bersama pasangan merupakan alternatif agar peliknya masalah dapat menemukan titik terang. Menjaga komunikasi agar selalu baik dan membuat mental tetap sehat agar aktivitas atau pekerjaan tidak terganggu. Namun, dalam kondisi perempuan bekerja di lingkungan publik masih saja memunculkan stigma negatif dari lingkungan sosial.

Budaya patriarki bangsa ini rupanya masih mengakar kuat, tidak jarang yang memandang perempuan terutama Ibu Rumah Tangga (IRT) atau seorang istri yang seharusnya patuh dan nerima akan kondisi apapun dalam rumah tangganya, termasuk pendapatan suami yang terhitung belum mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Masalah ekonomi dalam rumah tangga mengharuskan perempuan memiliki peran ganda, yakni bekerja dan menjadi pasangan atau Ibu Rumah Tangga (IRT). Realita kehidupan para perempuan dalam lingkungan sosial mengundang kontroversi akan perannya berkarir di ranah publik.

Peliknya kehidupan perempuan dalam rumah tangga serta beban ekonominya merupakan sepaket kondisi di mana hal itu butuh perencanaan matang bukan dengan berdiam diri karena takut pada stigma negatif yang notabene tidak solutif terhadap kondisi ekonomi rumah tangga.

Daripada terbelit hutang yang akhirnya menjadi beban mental keluarga, maka bekerja merupakan salah satu alternatif memecahkan masalah meski pada akhirnya lingkungan sosial tidak sepenuhnya mendukung 100 persen, lebih-lebih bila memiliki seorang anak yang notabene harus melibatkan peran intens keluarga terutama Ibu.

Tidak banyak kondisi keluarga di Indonesia yang mengalami hal demikian, termasuk pengalaman para perempuan dalam rumah tangga yang kisahnya dibagikan kepada saya. Mereka kerap menjadi bulan-bulanan mertua karena meninggalkan anak untuk bekerja. Menjadi buah bibir tetangga karena bekerja dan tidak bisa memasak di dapur untuk suami dan anak-anak.

Salah satu kajian penelitian dari Rittnour dan Kellas (2015) menyimpulkan bahwa menantu sering merasa tersakiti oleh perlakuan mertua seperti merendahkan kemampuan atau terlalu ikut campur dalam kisah hubungan rumah tangga anaknya. Konflik yang sering muncul antara menantu dan mertua sering terjadi di lingkungan sosial kita, dan lagi-lagi bagaimana solusinya?

Berbagai komentar miring menyudutkan peran seorang istri ketika memilih bekerja di ranah publik. Lingkungan sosial kerap memberikan stigma berbeda hingga memunculkan stereotip bahwa perempuan karir yang sering beraktivitas di ranah publik atau di luar rumah diberi label sebagai perempuan yang kurang baik perangainya.

Menghadapi lingkungan yang seperti itu, tidak sedikit yang memilih untuk menyerah pada keadaan daripada menanggung malu karena takut komentar masyarakat. Beberapa waktu lalu, publik pernah dihebohkan dengan berita di media massa, yakni angka bunuh diri Ibu Rumah Tangga (IRT) di negara India.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Biro Catatan Kejahatan Nasional (NRBC) tahun 2021 lalu, kematian ibu rumah tangga di India mencapai 22.372 disebabkan bunuh diri. Kondisi yang cukup miris dan cukup meresahkan setiap telinga yang mendengar. Bagaimana jika hal semacam ini terjadi di lingkungan kita? Lalu siapa yang akan disalahkan?

Masalah pernikahan diduga menjadi salah satu faktorya. Seperti kekerasan rumah tangga yang dipicu oleh kemiskinan dan faktor ekonomi. Namun, ada salah satu penyebab krusialnya yakni lingkungan sosial yang memiliki andil terhadap komentar miring yang secara tidak langsung memberi batasan ruang gerak terhadap perempuan.

Menjadi perempuan, apapun profesinya juga layak dimanusiakan. Tuntutan ekonomi dan peliknya permasalahan sering dilatar belakangi oleh kekhawatiran karena takut pada anggapan orang. Ini yang sebenarnya menjadi penghalang perempuan melangkah mandiri dan berkreasi untuk menunjukkan kemampuan diri.

Apa yang salah bila ternyata pilihan terbaik bagi perempuan atau seorang istri bekerja di ranah publik? Perempuan dalam profesi apapun memiliki hak untuk berkreasi menunjukkan identitas dan kemampuan diri.

Bila perempuan harus bekerja, maka keluarga sudah seharusnya memberikan pemakluman atas kondisi tersebut. Buya Yahya pernah menyampaikan dalam ceramah agamanya di kajian Youtube al-Bahjah TV 18 Februari 2022 lalu, bahwa boleh saja seorang istri bekerja dengan beberapa syarat, yaitu harus mendapat izin suami, pekerjaan yang halal, dan jika sukses tidak bersikap sombong. Solusi yang simple dan membutuhkan introspeksi diri.

Bagi seorang istri dan Ibu Rumah Tangga (IRT), bekerja merupakan keterpaksaan yang mengharuskan mereka memiliki penghasilan sendiri. Dan bagi mertua kadang ini bukan solusi terbaik karena harus meninggalkan perannya menjaga anak-anak dan rumah. Dua hal berbeda dalam sudut pandang sosial, sehingga tidak jarang bila menemukan stigma negatif lidah mertua begitu tajam dan menyudutkan peran menantu perempuannya.

Ratapan para menantu perempuan yang di-boyong suami tinggal bersama orang tuanya kadang harus menerima perlakuan yang kurang nyaman, semisal tidak dianggap sebagai keluarga inti atau sebagai anak sendiri. Perlakuan ini sudah menjadi hal lumrah yang kadang membuat miris hati.

Berbagai kisah pengalaman seorang perempuan, istri, dan ibu single parent di lingkungan patriarki sering dipandang negatif tanpa sebuah pemakluman. Kenyataan ini cukup menggambarkan bahwa lingkungan masyarakat kita masih minim literasi sosial. Bukankah saat ini kesempatan bekerja dan berkreasi di ranah publik tidak lagi memandang gender?

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama