Kata
adalah semacam perwujudan kita
Merangkum tiap jejak yang pernah menapak
Menyimpan rindu-rindu tak berhulu
Menjadi penanda ketika kita berpisah
Kisah
kita kini terpendam dalam pusara kata
Sesekali masih aku kunjungi
Sembari menyisakan beberapa larik puisi
Yang dulu kita berdua sering nikmati
Kadang
kala kutemui kenang masih menggenang
Di sekitar makam bertuliskan “kisah kita”
Sebab ternyata tak semudah itu meredam ingatan
Sebuah Kesimpulan
Bahkan
dalam khayal paling liar
Tak kuizinkan sekadar menaruh rindu padamu
Jika terjadi maka semestinya itu terbakar
Hanya bersisa abu dan sendu
Sebab
memilih meletak harap
Sama saja mengundang ratap
Kembali mengisi ruang-ruang senyap
Yang telah coba diikat rapat
Tapi…
Sering kali begitulah hati
Teramat sulit dieja
Terlebih lagi untuk dijaga
Maka
kusimpulkan bahwa:
“Berpasrah hati padamu adalah patah hati yang disengaja, dan kuharap segera
lebur bersama rindu yang gugur”
Sejatinya
Sejatinya
kita saling sadar
Dengan mengunjungi kenang yang terlanjur mengakar hanya akan membuat kita sama
terbakar, lalu terkapar.
Sejatinya
kita saling tahu
Bahwa temu hanya akan kembali mengundang rindu yang kita harap akan lekang oleh
waktu, tapi nyatanya rindu hanya menunggu waktu untuk kembali bertamu.
Sejatinya
kita sudah mengira
Bahwa akhir dari rasa yang coba dirajut dalam cerita hanya akan menyisakan
pisah lalu hampa, dan kita kembali memikul luka yang mendera.
Namun,
kita tetap memilih terjebak dalam siklus yang sama berujung duka.
Muara Kata
Aku mendapat kepastian malam ini
Bahwa pemicu dari segala puisi
Yang selama ini tergurat pada layar sepi
Adalah senyummu yang lama tak kutemui
Aku selalu berupaya menyimpan tiap garis wajah
Binar mata dan senyum yang sering kali rekah
Dalam tiap baris-baris aksara,
Tapi sepertinya percuma
Coba kurapal melalui suara
Lidah hanya gagu tanpa kata
Coba mengabadi dalam puisi
segala diksi rasanya tanpa isi