Muslihat elit politik
dominan untuk membajak demokrasi (bahkan dengan menggunakan instrumen hukum)
ini mungkin belum tercium pada saat menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden (Pilpres) lalu. Peta politik Pilpres 2024 menunjukkan persaingan
segitiga koalisi antara yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin
Iskandar (Koalisi Perubahan), pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka
(Koalisi Indonesia Maju) dan koalisi Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Dalam pemilu
legislatif, partai-partai politik pendukung juga telah mendapatkan efek
(elektoral) dari corak persaingan para capres-cawapres tersebut.
Namun ketika Pilpres
usai dan bahkan ketika hasilnya ditetapkan, bahkan sejak lembaga-lembaga survei
mengumumkan hasil "hitung cepat"-nya, di mana pasangan Prabowo-Gibran
tampil atau dinyatakan sebagai pemenang, peta politik secara perlahan bergeser.
Pasca Pilpres, proses "interplay" (saling mendekati dan mempengaruhi)
antar kekuatan politik untuk merancang kerjasama politik berlangsung intensif.
Secara formal dan
normal, publik dalam batas tertentu dapat memahami terjadinya komunikasi untuk
menjajaki dan merancang kerjasama politik pasca pilpres, khususnya antara
koalisi pendukung presiden terpilih dengan kekuatan politik di luar koalisinya.
Bagi pemerintahan Prabowo-Gibran proyeksi utamanya tentulah untuk mendapatkan
dukungan maksimal di parlemen untuk masa lima tahun mendatang.
Tetapi, yang membuat
suasana politik menjadi riuh, karena agenda perluasan kerjasama politik yang
dirintis di masa transisi ini berkait erat sekali dengan pilkada 2024 sebagai
agenda politik jangka pendek namun berdampak sampai jauh ke depan, suatu
kondisi yang proyeksinya tidak banyak dibayangkan berbagai pihak sebelumnya,
bahkan oleh pembuat UU sekalipun. Pilkada, khususnya di propinsi-propinsi
strategis, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera
Utara, bahkan menjadi semacam “battle ground” yang sangat menentukan arah
politik nasional ke depan.
Dalam konteks ini, kubu
pemenang Pilpres merasa berkepentingan memborong sebanyak-banyaknya partai
politik untuk masuk dalam koalisi pendukung pemerintah. Usaha memperluas
dukungan dan keanggotaan Koalisi Indonesia Maju, sebagai koalisi partai-partai
pro pemerintahan Prabowo-Gibran, di sejumlah propinsi di atas menjadi indikasi
awal yang penting tentang corak, arah dan peta politik mendatang.
Masalahnya menjadi
sangat heboh, karena proses-proses politik itu dinilai kebablasan dan bahkan
menabrak akal sehat publik. Publik melihat upaya mewujudkan KIM plus dalam
tautannya dengan pilkada dan pelbagai dinamika politik pada sejumlah partai
tidak sekedar untuk kepentingan pemerintahan dalam kurun lima tahun mendatang
saja, tetapi juga untuk kelanjutan atau pertaruhan kekuasaan sesudahnya lagi.
Dalam prosesnya,
seperti terbaca dari kecenderungan peta baru dukungan pilkada di sejumlah
daerah, partai-partai di luar KIM kemudian menyatakan mendukung dan bahkan
memang berharap bergabung ke dalam pemerintahan mendatang. Insentif politik
yang ditawarkan dan hal-hal lain, termasuk kecurigaan sangat kuat atas
terjadinya politik sandera dengan memperalat hukum, dinilai sebagai pembajakan
demokrasi.
Dalam konteks itu,
terutama Presiden Jokowi, yang sejauh ini (dan entah sampai kapan) dianggap
sebagai “Ketua” KIM Plus telah menjadi sasaran kritik dan protes luas publik,
sebagaimana juga pada saat sebelum Pilpres. Kepala negara lagi-lagi dituding cawe-cawe
dalam semua proses politik mutakhir tidak hanya dalam rangka menjamin
stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran, tetapi juga dalam konteks mengamankan
dan bahkan mempertegas kepentingan dinasti politik yang sudah terbangun
belakangan ini.
Titik temu kepentingan
para aktor politik di masa transisi kekuasaan inilah yang membuat lawan-lawan politik
mereka dan terutama masyarakat sipil menjadi kecewa berat dan protes keras.
Mahasiswa, akademisi, artis, dan berbagai unsur masyarakat sipil lainnya turun
ke jalan di berbagai kota memprotes revisi UU Pilkada dan mendukung putusan MK
yang (jika tidak "dikerjain" lagi) dapat mengurangi potensi
kartelisasi politik, setidaknya dalam pilkada tahun ini.