Ipda Rudy Soik di-mutasi demosi selama tiga tahun keluar dari NTT, yakni ke Papua berdasarkan putusan Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/32/VIII/2024/KKEP tanggal 28 Agustus
Ipda Rudy Soik (Liputan6.com/Ola Keda) |
Dia diperiksa Propam
setelah memasang garis polisi di tempat penampungan bahan bakar minyak (BBM)
diduga ilegal, milik warga Kota Kupang bernama Ahmad
Munandar dan Algazali.
Dalam hasil putusan
sidang kode etik yang diterima Liputan6.com, Ipda Rudy Soik dinyatakan
melanggar Pasal 13 ayat (1) dan/ atau Pasal 14 ayat (1) huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri junto pasal 5
ayat (1) huruf b dan huruf c dan/ atau pasal 8 huruf f Perpol 7 Tahun 2022
tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
Dengan wujud perbuatan,
memasuki tempat hiburan karaoke di saat jam dinas Polri berlangsung, bersama
wanita yang merupakan istri orang. Sedangkan hal yang meringankan Ipda Rudy
Soik adalah, sudah mengabdi di kepolisian selama 19 tahun.
Hal yang memberatkan,
tidak kooperatif dari pemeriksaan sampai persidangan. Selain itu, dianggap
berbelit-belit dalam pemeriksaan dan persidangan, sementara menjalani kasus
disiplin dan kode etik (disiplin tiga kasus dan kode etik dua kasus), serta
sudah pernah menerima putusan disiplin dan kode etik sebanyak lima kasus.
Atas pertimbangan itu,
Ipda Rudy Soik di-mutasi demosi
selama tiga tahun keluar dari NTT, yakni ke Papua berdasarkan putusan Komisi
Kode Etik Polri Nomor: PUT/32/VIII/2024/KKEP tanggal 28 Agustus.
Kabid Humas Polda NTT
Kombes Pol Ariasandy mengatakan, Ipda Rudy Soik akan menjalani demosi ke luar wilayah NTT,
namun tempatnya tugasnya akan ditentukan oleh SDM Mabes Polri.
Terkait keputusan Ipda
Rudy Soik untuk banding putusan sidang kode etik tersebut, Ariasandy menyatakan
tidak ada masalah karena merupakan hak anggota.
"Ya itu hak
anggota, ga ada masalah," ujarnya.
Klarifikasi Ipda Rudy Soik
Ipda Rudy Soik
mengklarifikasi terkait pemberitaan di media bahwa dia berselingkuh dengan
istri orang. Menurutnya, fakta yang sebenarnya adalah, saat itu dia bersama
anggota sedang menyelidiki lokasi penimbunan bahan bakar minyak (BBM) ilegal.
Lokasi penimbunan BBM
ilegal itu di Kecamatan Alak yang dimiliki oleh warga bernama Ahmad. Sambil
memperlihatkan rekaman CCTV, Ipda Rudy Soik kemudian menarik anggotanya untuk
kembali dari lokasi.
Ipda Rudy menunggu
anggotanya yang berjumlah 13 orang untuk makan siang bersama sekaligus analisa
dan evaluasi (Anev), di Restoran Master Piece Kota Kupang.
"Jarak restoran
dengan markas Polda NTT sekitar 100 meter. Bahkan tempat itu saya biasa
diperintahkan untuk sediakan bagi ibu-ibu pejabat bhayangkari, untuk acara
makan dan kegiatan lainnya," ungkap Rudy Soik.
Menurutnya, narasi
sesat itu sengaja dibangun seolah-olah terjadi perselingkuhan antara para
anggota tim Reserse dan Kriminal Polresta Kupang (13 orang) yang hari itu
menyelidiki kasus BBM ilegal bersamanya.
"Padahal kegiatan
makan siang di Master Piece itu dipimpin Kapolresta Kupang Kota Kombes Pol
Aldian Manurung, beliau pun mengetahui pergerakan kami semua di tempat
itu," ujar Ipda Rudy Soik.
Ia menjelaskan,
pemasangan garis polisi di tempat penampungan BBM ilegal di rumah Ahmad
Munandar dan Algazali, dilakukan karena sedang menjalankan rangkaian
penyelidikan kasus BBM ilegal.
Menurutnya, dalam kasus
BBM ilegal tersebut terdapat sejumlah fakta yakni adanya keterlibatan anggota
Polresta Kupang Kota yang menerima suap dari Ahmad. Bahkan fakta lain, Ahmad
membeli minyak subsidi jenis solar menggunakan barcode Law Afwan (Pengusaha
dari Cilacap).
Dari hasil penyelidikan
Ipda Rudy Soik bersama tim, ditemukan Ahmad punya kedekatan dengan Anggota
Paminal Propam Polda NTT yang pernah menggelar operasi tangkap tangan oknum
Shabara Polda NTT, yang menerima suap dari Ahmad senilai Rp30 Juta.
Saat itu Ahmad membeli
minyak ilegal di sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota
Kupang. Namun anehnya, oknum anggota Shabara Polda NTT itu diproses disiplin,
sedangkan Ahmad tidak diproses pidana selaku pelaku kasus BBM ilegal.
Bahkan Ahmad juga
mengakui bahwa pembelian minyak pada bulan Juni 2024 itu diberikan kepada
Algazali selaku penimbun. Dalam pemeriksaan lapangan, Algazali mengaku sebelum
Ipda Rudy Soik memimpin operasi penertiban BBM ilegal pada 25 Juni 2024,
Algazali ditelepon oleh oknum anggota Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT
untuk 'tiarap sebentar'.
"Atas dasar
itulah, maka saya bersama tim mengambil tindakan pemasangan police line (garis
polisi). Karena kelangkaan BBM dirasakan oleh semua kalangan masyarakat dari
daerah perbatasan hingga Kota Kupang," cerita Ipda Rudy Soik.
"Dalam pelaksanaan
tugas, ini bukan maunya saya tetapi atas perintah atasan. Tapi kok kenapa saya
yang disalahkan? Dan dijadikan alasan pemberatan untuk saya dimutasi ke Polda
Papua? Harusnya melihat fakta-fakta ini sebagai upaya untuk menyelamatkan NTT
dari mafioso BBM dan perdagangan orang? Kenapa ini dijadikan alasan,"
tambahnya.
Ipda Rudy Soik menilai
ada kriminalisasi terhadapnya dan tim, karena setelah kejadian itu, anggota
Reskrim Polresta Kupang yang ikut dalam operasi penertiban BBM ilegal, dimutasi
ke wilayah terpencil NTT.
"Saya dan
Kasatserse Polresta Kupang Kota dimutasi non job, diperintah masuk sel. Bahkan
saya juga dituduh otak di balik gagalnya anak Kapolda NTT masuk Akpol,"
sebutnya.
Pernah Disalahkan karena Bongkar Mafia TPPO
Ipda Rudy Soik juga
menceritakan kisahnya yang pernah membongkar kasus tindak pidana perdagangan
orang (TPPO) 11 tahun lalu. Saat itu dia bertugas sebagai anggota Direktorat
Reserse Kriminal Khusus Polda NTT.
Saat Kombes Pol Moh
Slamet menjabat Direktur Kriminal Khusus mengatakan bahwa kasus PT Malindo
Mitra Perkasa bukanlah kasus TPPO tetapi kasus administrasi. Padahal, Rudy
telah mengamankan 52 calon pekerja migran Indonesia ilegal dari penampungan PT
Malindo Perkasa.
Dalam proses
pemeriksaan itu, Kombes Pol Moh Slamet perintahkan untuk kembalikan 52 calon
pekerja migran Indonesia ilegal itu ke PT Malindo, dan Ipda Rudy Soik pun
diproses disiplin.
Tak terima dizolimi,
Ipda Rudy Soik pun melaporkan Kombes Moh Slamet ke Komisi Nasional (Komnas) Hak
Asasi Manusia (HAM), karena menghalangi proses penyelidikan terhadap PT Malindo
Perkasa.
Saat yang bersamaan,
Ipda Rudy Soik diproses disiplin. Sejumlah kasus pun dinilai sengaja dibuat
untuk menjatuhkannya dan dituding memfitnah pimpinan.
Kemudian, pada November
2015 izin PT Malindo Perkasa dicabut Kementerian Ketenagakerjaan (Nomor; 402
tahun 2014 tentang pencabutan izin penempatan tenaga kerja Indonesia PT
Malindo).
Selanjutnya pada 2018,
Tedy Moa yang merupakan pelaksana perekrutan PT Malindo Perkasa ditetapkan sebagai
tersangka dan diproses hukum dan bersifat ingkrah (dengan nomor putusan
159/Pid.Sus /2018/PN KUPANG) dengan pidana penjara 6 tahun.
Pada tahun yang sama,
NTT ditetapkan sebagai provinsi darurat perdagangan orang. Salah satu korban
perdagangan orang yang masih hidup yaitu, Mariance Kabu yang mengalami cacat
permanen.
Menurut Ipda Rudy Soik,
kasus TPPO PT Malindo Perkasa pada 11 tahun lalu adalah sebuah kebenaran, bahwa
kasus yang diselidikinya adalah pidana dan bukan kasus kesalahan administrasi.
"Lalu bagaimana
mungkin Kabid Humas Polda NTT mengatakan di media bahwa alasan pemberatan
pertama Ipda Rudy Soik dipindahkan ke Daerah Operasi Militer Polda Papua,
adalah karena Ipda Rudy Soik melawan pimpinan yang mengatakan NTT tidak ada
perdagangan orang," protesnya. *** liputan6.com