MENIKAH ATAU MELAJANG, UP TO YOU!
Menikah atau melajang, itu sebuah pilihan. Bukankah hidup itu
memilih?
“Suatu
waktu dalam hidupnya, manusia harus memilih. Jika tidak, ia tidak akan menjadi
apa-apa,” ujar Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.
Hukum
menikah pada dasarnya bukan sesuatu yang wajib, tetapi dianjurkan karena sesuai
dengan fitrah manusia dan bermanfaat bagi kehidupan.
Sesungguhnya,
alasan yang sangat mendasar mengapa manusia itu perlu menikah adalah karena
kebutuhan psikologis. Sebagai makhluk sosial, manusia itu perlu berteman.
Sahabat saja tidak cukup karena sifatnya yang bisa berubah-ubah atau tidak
permanen atau ajeg secara sosial, psikologis atau status
hukum. Secara psikologis, kita memerlukan teman yang cocok dalam hal
berbagi kehidupan. Suami atau isteri adalah pasangan hidup sekaligus teman
hidup. Artinya, mereka sebagai sepasang manusia sudah berikrar baik dalam susah
maupun senang untuk selalu bersama-sama, saling membantu, dan dapat saling
menerima apa adanya. Seorang sahabat saya mengatakan,”Menikah itu banyak
memberi bukan banyak menerima.”
Lantas
bagaimana jika kita belum juga dapat jodoh atau menemui pasangan yang pas?
Salahkah kita?
Sangat
berbeda antara prinsip untuk tidak menikah atau lajang forever (jomblo abadi) dengan
melajang karena belum dapat jodoh. Dalam ajaran Islam sendiri, sekadar contoh
dalam konteks ajaran agama, tidak mengenal prinsip selibat (al batul) atau
tidak menikah selamanya.
Umar
bin Khattab berkata, “Tidak menikah selamanya (selibat) tidak ada dalam ajaran
Islam. Menunda pernikahan adalah menunda banyak manfaat yang sesungguhnya dapat
segera dinikmati oleh manusia.”
Seorang
ulama sufi Hasan Al Bashri berpesan, “Jauhilah sifat menunda-nunda. Nilai
dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok. Kalau esok kamu beruntung berarti
keuntunganmu akan bertambah jika hari ini kamu telah beramal. Dan kalau besok
kamu rugi kamu takkan menyesal karena toh kamu telah beramal pada hari ini.”
Crooks
& Baur dalam Our Sexuality (1990) menyebutkan sejumlah alasan
mengapa seseorang memilih mengakhiri masa lajang dan menikah:
Ø Untuk
mendapatkan suatu bentuk perasaan yang sifatnya tetap tentang bagaimana
memiliki seseorang dan menjadi milik seseorang serta perasaan dibutuhkan orang
lain.
Ø Adanya
keyakinan bahwa kedekatan dan kepercayaan dalam pernikahan dapat menjadikan
suatu bentuk hubungan yang lebih kaya dan mendalam.
Ø Untuk
dapat melakukan hubungan seks yang sah dan wajar secara norma sosial.
Pernikahan akan lebih menyehatkan dan membahagiakan karena dapat menyalurkan
hasrat biologis dalam kerangka hubungan yang resmi.
Ø Adanya
harapan bahwa ia akan semakin memahami kebutuhan pasangannya, dan hubungan yang
tercipta semakin harmonis seiring semakin dalam pengetahuannya akan pasangan.
Ini jelas tidak cukup didapatkan dalam hubungan percintaan atau pacaran saja.
Ø Mendapatkan
sejumlah keuntungan secara finansial dan hukum yang dapat diraih dalam
pernikahan
Jika
bimbang memilih, ingatlah yang berikut. Daniel S. Goleman dalam Emotional
Intelligence—yang populer karena mengenalkan konsep Emotional Quotient (EQ)—mengungkapkan
bahwa manusia memiliki dua otak dalam satu tempurung kepalanya. Satu otak
berpikir yang lazim dikenal sebagai otak kiri, dan yang satu otak merasa atau
otak kanan. Otak kiri cenderung bersikap objektif, rasional, presisi, numerikal,analitis,
linier,konvergen dan logis. Sementara otak kanan cenderung sarat hal-hal
eksperimental, divergen, non-analitis, subjektif, non-verbal, intuitif,
holistik dan reseptif.
Dua
otak ini harus bekerja selaras. Otak kanan yang memuat emosi memberi masukan
dan informasi kepada proses berpikir rasional pada otak kiri. Sementara otak
kiri memperbaiki dan terkadang menyetop masukan emosi tersebut. Jika otak kanan
terlalu dominan, kita akan sering bertindak gegabah dan mengambil keputusan
yang sembrono.
Namun
jika otak kiri terlalu dominan, kita cenderung hanya jadi pengamat dan terus
menganalisis alias omong doang (omdo)--atau justru bertindak atau
berucap tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Yang ideal adalah saat
perasaan atau emosi mendukung keputusan yang rasional. Otak kanan akan
menunjukkan arah yang tepat. Dengan demikian pengelolaan emosi adalah hal
penting.
Ada
lima wilayah EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosi yakni mengenali
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain, dan membina hubungan. Kelimanya, jika ditilik, dapat ditemui dan dilatih
dalam wadah yang bernama pernikahan.
Pernikahan
adalah cara mematangkan kecerdasan emosional dan sarana fitrah yang digariskan
untuk mengisi kekosongan eksistensial manusia. Salah satunya karena pernikahan
lebih dapat mengekang hawa nafsu dan dapat menjaga pandangan.
Banyak
pasangan yang menganggap--sekaligus juga dibenarkan para pakar--bahwa menikah
bukanlah ujung suatu kehidupan, tetapi justru langkah awal mengarungi
kehidupan. Ia bukanlah puncak, ia justru titik start, titik awal untuk
memulai. Jadi belum berani menikah berarti belum bernyali menghadapi kehidupan.
Ketika menikah, orang dapat saling memberi dan menerima cinta secara eksklusif.
Setiap pasangan berpeluang bersama-sama mengembangkan diri menjadi pribadi yang
sehat dan matang.
Jadi,
mengapa menunda-nunda?
“Menikahlah! Sekiranya
engkau akan mendapati seorang istri yang baik, engkau akan menjadi sangat
beruntung. Dan jika engkau mendapat seorang istri yang tidak baik sekalipun,
engkau akan menjadi filsuf karenanya, dan itu baik bagi laki-laki.” (Socrates,
filsuf Yunani)
sumber:
https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5512bb7ea333116962ba7d28/menikah-atau-melajang-itu-pilihan