KESETIAAN SUAMI ISTRI DALAM DUNIA MODERN
(Menilik Kasus Perselingkuhan di dalam Hidup Berkeluarga)
(Oleh: Frederick Mzq)
I.
Pendahuluan
Fenomena
keretakan hidup rumah tangga rupanya menjadi realitas miris yang menuai banyak
kebingungan dan menuntut perhatian lebih
saat ini. Situasi ini sering berhulu pada disonansi relasi antara suami dan
istri sebagai kulminasi aneka penyimpangan yang dilakonkan salah satu dari
keduanya. Dalam dunia modern ini, perselingkuhan menguap dalam wajah canggih
yang sulit dideteksi, walapun tidak berarti tidak dapat diketahui. Barang busuk
apapun walaupun disembunyikan dengan rapi, pasti dengan sendirinya akan terkuak.
Demikian tepat pepatah yang mengatakan bahwa "sepandai-pandainya tupai
melompat pasti suatu saat akan jatuh juga”.
Pada zaman
modern ini nilai kesetiaan hidup berkeluarga mendapat tantangan, tersaing oleh
keutamaan-keutamaan modern yang trendy seperti hedonism, efisiensi, budaya
instan, hidup gengsi dan lain sebagainya. Nilai kesetiaan tidak lagi menjadi
tema penting yang dibicarakan oleh pasangan suami-istri. Kalau begitu
bagaiamana kunci untuk menciptakan keluarga yang ideal itu. Bagaimana Gereja harus
bertindak berhadapan hilangnya nilai kesetiaan pada pasangan suami istri
Katolik di era modern ini?
II.
Kesetiaan antara Suami dan Istri
2.1.
Apa itu kesetiaan
Pengertian kesetiaan sering dirumuskan secara
negatif: suami-istri tidak boleh cerai, atau bahkan tidak bisa cerai. Ikatan
perkawinan berlangsung seumur hidup sehingga keputusan yang mereka ambil untuk
menyatakan consensus perkawinan berlaku seumur hidup. Dengan demikian dari
suami istri dituntut kesetiaan kepada ikatan (atau lebih tepat kepada partner)
seumur hidup.[1] Ini berarti bahwa
perceraian atau perselingkuhan sudah merupakan ketidaksetiaan. Akan tetapi kesetiaan
yang dimaksudkan adalah kesetiaan pada partner tunggal bukan ganda. Sikap setia
seumur hidup.
Berdasarkan definisi yang ada di atas, kadangkala
orang melihat kesetiaan dari perspektif negatif. Kesetiaan dilihat sebagai
tindakan tidak berhubungan seksual dengan orang lain. Pengertian ini
mengarahkan orang keburukan yang harus disingkirkan, sedangkan isinya belum
diuraikan. Orang selalu berpikir pada tindakan lahiriah semata, tanpa membuat
refleksi lebih lanjut terhadap tindakan kesetiaan itu. Akan tetapi apabila
ditinjau dari perspektif positif tentang arti kesetiaan itu, maka kesetiaan
tidak semata-mata hanya sebatas pada perbuatan seksual semata-mata, melainkan
harus ditafsirkan lebih personal yang melibatkan dan menyangkut seluruh pribadi
manusia, sebab kesetiaan merupakan dimensi dari cinta kasih personal kepada
seorang yang dicintai.
Sebagai suatu
nilai keutamaan, kesetiaan mempunyai arti yang lebih luas dan tidak bisa
dibatasi hanya pada masalah seks dan cinta saja. Kesetiaan memiliki arti: dapat
dipercaya, dapat diandalkan, kokoh dalam janji, keteguhan hati, ketaatan, dan
kepatuhan. Kesetiaan adalah kebajikan yang membuat seorang pribadi memegang
teguh kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam
harapan-harapannya yang sah.[1]Kesetiaan juga mengandung arti sebagai
kemampuan seseorang yang unggul dan tetap untuk bersikap baik. Kemampuan yang
unggul dan tetap itu hanya dapat berkembang bila ada usaha pribadi, bantuan
lingkungan dan rahmat Tuhan.[2]
2.2.
Tantangan Hidup Setia Dalam Dunia Moderen
Perubahan-perubahan
sosial dan kemajuan teknologi yang pesat ternyata dapat membuahkan akibat
sampingan (dampak) pada menurunnya nilai kesetiaan sebuah perkawinan. Lalu di
manakah letak kesalahannya? Orang (Indonesia) sering meletakkan kesalahan pada
pengaruh masuknya budaya Barat. Tetapi sesungguhnya hal ini tidaklah benar.
Manusia dari dunia Barat memang hanya memperhatikan diri sendiri dan mengejar
uang serta kenikmatan. Akan tetapi, itu semua didasari juga oleh penghargaan
tinggi terhadap ‘pribadi manusia’, hak asasi manusia, perhitungan akal budi
yang cermat serta hukum masyarakat mereka yang jelas. Secara sadar masyarakat
Barat memang memilih hidup bebas, namun pilihan mereka bukanlah suatu paksaan
nafsu. Terbukti bahwa banyak keluarga Barat yang bertekad setia, ternyata bisa
hidup setia dan bahkan lebih mesra dan harmonis. Biar bagaimanapun, kita harus
menyadari bahwa letak kesalahannya ialah terletak pada pola pikir yang masih
tradisional, yang masih mementingkan hubungan perorangan, hubungan rasa dan
kurang memahami hukum masyarakat secara nalar.
Sikap hedonism dan perzinahan adalah
dua sikap yang menjadi faktor penyebab yang mengakibatkan orang tidak
berkomitmen untuk hidup setia. Sikap hedonism mengarahkan orang untuk sukar
berkorban dan sukar untuk menahan diri dan mendapatkan kenikmatan. Ia
menjerumuskan diri pada pola hidup yang tidak teratur. Ia melihat lawan hanya
sebagai obyek seksual semata-mata. Tindakan hedonism ini mengarahkan dirinya
untuk berperilaku tidak bermoral.
Lebih kerap
alasan dari ketidaksetiaan ini selalu diawali dengan sikap tidak pedulinya
seorang pasutri yang menganggap pasangannya sebagai obyek seksual dan
emosional. Perilaku perzinahan biasanya membawa kerugian bagi cinta, harmoni
dan stabilitas dalam keluarga dari pasangan yang menikah. Cinta dari pasangan
yang melakukan perzinahan lazimnya akan terbagi. Perzinahan juga telah
melanggar sumpah setia perkawinan dan ikrar pada saat menerima sakramen
perkawinan. Resiko terbesar dari perzinahan adalah bahwa anak-anak yang
dihadiahkan bagi kehidupan tidak terawat dengan baik.
2.3.
Cinta suami istri
Pembahasan mengenai kesetiaan pasangan suami istri
dalam dunia modern, maka ingatan kita terarah pada suami dan istri yang terikat
pada janji setia perkawinan yang telah mereka ikrarkan.
Perjanjian
(feoudus) perkawinan, dengannya
seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut
cirri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara
orang-orang yang dibabtis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.[3]
Kanon
doktrinal ini memberi penjelasan tentang hakikat perkawinan yaitu sebuah
perjanjian. Perjanjian itu terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Perjanjian bukanlah sistem kontrak tetapi sifatnya kekal, tidak terceraikan.
Komitmen
perjanjian nikah dalam bingkai tidak adanya perceraian menegaskan bahwa suami
dan istri harus berjalan sesuai dengan komitmen kesetiaan yang berlandaskan
pada cinta. Cinta suami istri itu bukan semata-mata urusan perasaan. Perasaan
bisa berubah-ubah. Tetapi cinta tidak pernah berubah. Cinta suami istri
merupakan sesuatu yang rasional. Rasional di sini menjelaskan makna cinta yang
pada dirinya mengandung kemauan dan komitmen setiap pribadi berkembang makin
utuh.
Cinta
rasional didasarkan pada kemauan untuk mencinta. Dan dengan kemauan ini
dilawanlah dengan kebosanan serta berubah-ubahnya salera.[4]
Kekuatan cinta berdasar pada kemauan dan komitmen, bukan perasaan. Perasaan
berubah-ubah setiap saat, tetapi komitmen mengandung usaha dan perjuangan.
Karena itu ia bersifat terbuka. Cinta juga selalu berarti membebaskan yang
dicintai dengan sebuah pemahaman dan keterbukaan. Maka tidak ada kecemburuan
dan sikap saling curiga, tetapi ada usaha untuk melawan kecemburuan. Mencintai
dalam sikap komunikatif dan keterbukaan mengarahkan pasangan suami istri saling
menaruh keprcayaan satu sama lain.
2.4.
Peranan Gereja
Pada zaman
modern ini, Gereja merasa perlu mendampingi pasangan suami istri dan seluruh
tahap perkembangannya. Mengapa? Karena zaman yang ditandai dengan banyak
perubahan di segala bidang kehidupan, ternyata dapat membawa pengaruh positif
maupun negatif pada kehidupan perkawinan. Oleh kerena itu, (kaum muda) calon
pasutri yang telah berencana memilih hidup panggilan berkeluarga dan para
pasutri yang telah menjalankan hidup berkeluarga perlu diberi pendampingan,
yaitu dengan usaha:
a.
Pendidikan Nilai
Kesetiaan Sejak Kanak-kanak
b.
Meningkatkan
Budaya Berkomunikasi
c.
Pendidikan Nilai
Kesetiaan pada Pasangan Suami Istri
d.
Pendalaman dan
Penghayatan Iman
e.
Memberi
Pemahaman yang Baru tentang Kesetiaan
III.
Penutup
Dunia modern
dan global telah merambah hampir ke seluruh sendi kehidupan manusia. Perubahan
demi perubahan terus terjadi. Dampak negatifnya bagi perkawinan dan kehidupan
keluarga kian terasa. Banyak nilai keutamaan untuk menjaga keutuhan perkawinan,
yang selama ini dipegang perlahan-lahan telah memudar. Di satu pihak, kita bisa
melihat bahwa banyak keluarga dengan sekuat tenaga telah berusaha tetap setia
kepada nilai-nilai Kristiani. Namun di lain pihak, banyak keluarga lain yang
masih bingung atau tidak percaya akan pentingnya nilai-nilai itu atau – karena
situasi tertentu – tidak mampu menghidupi atau menghayatinya.
Gereja tahu
bahwa menurut pertimbangan banyak orang zaman sekarang, sifat perkawinan
kristiani itu terlalu sulit untuk dijalani dengan sungguh-sungguh. Banyak orang
zaman modern telah dipengaruhi oleh budaya yang menolak indissolubilitas perkawinan.
Biar bagaimanapun Gereja harus tetap berusaha menyadarkan para pasutri untuk
menghayati cinta perkawinan mereka sebagai cinta permanen dan cinta yang utuh
untuk seumur hidup. Selain itu Gereja juga berkewajiban untuk mengingatkan
mereka bahwa perkawinan kristiani adalah buah dan tanda cinta kesetiaan Allah
kepada mereka, sebagaimana menjadi buah dan tanda kesetiaan Kristus kepada
Gereja.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Julius. Cinta Rasional, Yogyakarta: Kanisius,
2006.
Hadiwardoyo. Purwa, Surat untuk Suami Istri Kristen Jilid 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Konferensi
Wali Gereja Indonesia, Kitab Hukum
Kanonik (Codex Iurus Canonici), Edisi Resmi Bahasa Indonesia. Jakarta: 2006
Maas, C., Teologi
Moral Perkawinan (Ms). STFK Ledalero: 1997
[2] Bdk. Purwa Hadiwardoyo, Surat untuk Suami Istri Kristen Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm.12.