'Idul Adha memiliki sejarah yang panjang dalam
membentuk substansi keimanan dan kepasrahan menerima syariat (hukum agama)
melalui keteladanan sosok inspiratif berikut kisahnya yang diceritakan di dalam
Alquran.
Walaupun sosok inspiratif dan teladan tersebut
disinggung secara implisit dalam tradisi agama-agama samawi (baca: Agama yang
diturunkan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dari langit dan diberikan panduan berupa
kitab suci), tetapi nilainya terasa khas dan sangat eksplisit di dalam ajaran
Islam.
Sebelum kita menggali makna yang terkandung di dalam
'Idul Adha, maka kita harus memahami pengertiannya terlebih dahulu. Secara
linguistik 'Idul Adha tersusun dari dua kata, yaitu 'Idul artinya kembali dan
Adha artinya binatang yang disembelih pada seremonial ibadah pada tanggal 10
Zulhijjah, sedangkan secara sosiologis, pengertian 'Idul Adha mengarah kepada
tradisi atau hari raya yang dilaksanakan umat Islam, mulai dari ibadah sampai
mengorbankan binatang ternak.
Di samping itu, 'Idul Adha juga dikenal dengan
istilah 'Idul Nahr atau 'Idul Qurban. Sedangkan bagi umat Islam yang sedang
melaksanakan ibadah haji, tepat pada 'Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10
Zulhijjah mereka melakukan serangkaian ibadah yang berbeda dengan umat Islam
lainnya, mulai dari bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah, mengorbankan
binatang ternak dan melaksanakan tawaf.
Islam sebagai tatanan dan pedoman hidup
secara holistik dan universal, memberikan peluang kepada kita untuk mengintegrasikan
kecerdasan yang dimiliki dalam mengeluarkan hukum kontemporer yang luwes
sehingga mampu menghadapi tantangan dan pergeseran jaman.
Dalam konteks ini, kita akan melihat hubungan 'Idul
Adha atau 'Idul Qurban sebagai solusi yang dapat menstimulasi daya juang
(immunitas) kita di tengah pandemi yang sedang terjadi. Tentunya, pandemi
berpeluang menjadikan kita sebagai korban bukan Qurban, karena Qurban justru
mampu menjadi solusi di tengah stagnannya (kebuntuan) penanganan pandemi.
Di dalam Qurban, kita selalu melibatkan nilai-nilai
ilahiah (ketuhanan) dalam berbagai tindakan praktis yang sarat dengan
nilai-nilai kebaikan yang bisa diterima oleh semua kalangan.
Secara linguistik, Qurban berasal dari kata
"qaraba" artinya dekat, kemudian ditambahkan "an"
dibelakangnya membawa makna kedekatan yang sangat dekat dengan Alloh Subhanahu
Wa Ta'ala, sehingga dapat diartikan 'Idul Qurban itu bukan hanya sekedar
mengorbankan binatang ternak, tetapi secara implisit di dalamnya terkandung
makna ketaatan, kepatuhan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Alloh
Subhanahu Wa Ta'ala, sehingga eksistensi manusia difungsikan untuk memiliki
rasa kepedulian sosial kepada orang lain, khususnya yang tidak mampu.
Qurban memiliki sejarah panjang yang telah
diceritakan Alquran kepada kita, mulai dari kisah Habil dan Qabil sampai kisah
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan kepada
kedua anak Nabi Adam, yaitu Habil dan Qabil, untuk mempersembahkan hasil panen
kebunnya, tetapi hanya persembahan Habil yang diterima Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, karena dia melakukannya dengan ketaatan,
kepatuhan dan keikhlasan sehingga pengejawantahannya terlihat dari caranya
dalam memilih hasil panen yang terbaik.
Cerita pengorbanan yang berikutnya adalah terjadi di
antara Nabi Ibrahim dengan anaknya Nabi Ismail, di mana Alloh Subhanahu Wa Ta'ala benar-benar menguji keimanan Nabi Ibrahim
dengan ujian yang sangat berat, yaitu harus mengorbankan anaknya sendiri.
Beratnya pengorbanan Nabi Ibrahim tersebut, menjadi
raison d'etre (alasan) Beliau dikenal sebagai kekasih Alloh Subhanahu Wa Ta'ala
atau Khalilulloh. Mungkin, manusia biasa akan menolak walaupun perintah
tersebut datangnya dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, untuk mengorbankan atau
menyembelih anak kandungnya sendiri dengan alasan ketaatan.
Apalagi kehadiran dari seorang anak tersebut
ditunggu-tunggu dalam waktu yang sangat lama. Berbagai asumsi tersebut tidak
berlaku bagi Nabi Ibrahim karena dia menyadari substansi dari perintah
menyembelih anaknya sendiri merupakan ujian keimanan baginya.
Bahkan, apabila perintah Alloh Subhanahu Wa Ta'ala
memang harus memaksa Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya sendiri tanpa harus
mengetahui hikmah di balik peristiwa yang akan terjadi, maka Nabi Ibrahim
dengan segenap jiwa dan raganya pasti akan melakukannya.
Di antara ikhtiar atau kerja keras, menyerah di
tengah jalan, berkecamuknya perasaan, kesulitan yang menghimpit hati
seolah-olah tidak ada jalan keluar lagi dan hanya tersedia ruang tawakkal, maka
disitulah turun solusi dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala untuk memudahkan
semuanya.
Akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi dikorbankan karena
Beliau digantikan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dengan seekor kibas (kambing yang
memiliki bulu yang panjang dan tebal), yang manandai bermulanya syariat
pelaksanaan Qurban.
Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini
merupakan takdir yang telah ditetapkan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, kita tidak
bisa menghindar dan melarikan diri dari kenyataan takdir tersebut.
Absolutisme tidak mungkin dikalahkan relativisme,
namun Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak membelenggu manusia dalam konservatisme
yang rigid, karena manusia diberikan ruang determinisme untuk memacu akselerasi
kecerdasannya karena manusia menanggung beban sebagai pemimpin (khalifah) di
muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30).
Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memilih iman atau kekafiran (Q.S. Al-Kahfi: 29), karena
hanya manusia yang dijadikan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dengan instrumen
kecerdasan dan perasaan yang paling lengkap dibandingkan yang lainnya.
Walaupun, manusia bebas dalam memilih tetapi tetap yang menjadi kebenaran
adalah pilihan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala (Q.S. Al-Baqarah: 216).
Menerima segala ketentuan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala
adalah cara terbaik dalam memaknai kehidupan. Menerima bukan hanya sekedar
berdiam diri tetapi harus dibarengi dengan kerja keras atau ikhtiar, karena
Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak akan menggeser kemuliaan hidup apabila kita
hanya berpangku tangan (Q.S. Ar-Ra'ad: 11).
Ketika kerja keras sudah dilakukan dengan maksimal
maka setelahnya bertawakkal dan membiarkan takdir Alloh Subhanahu Wa Ta'ala
bekerja buat kita (Q.S. Ali Imran: 159), karena apapun hasilnya Alloh Subhanahu
Wa Ta'ala tidak akan membebani kita dengan sesuatu kecuali kita sanggup untuk
menanggulanginya (Q.S. Al-Baqarah: 286).
Nabi Ibrahim sadar bahwa dia tidak mungkin menolak
takdir yang telah ditetapkan Alloh swt kepadanya, maka yang dia lakukan adalah
menerimanya, tidak menyalahkan keadaan dan bersiap menghadapi realitas. Karena
menyalahkan keadaan yang telah terjadi hanya membuang energi yang terkadang
membuat kita tenggelam dalam kenangan masa lalu dan tidak siap melakukan
evaluasi untuk masa depan.
Habil dan Nabi Ibrahim sadar bahwa pengorbanan yang
mereka lakukan bukanlah hal yang menguntungkan dan menyenangkan buat mereka,
tetapi karena ditopang oleh keimanan, berpikir positip dan selalu berprasangka
baik, maka mereka tetap optimis dalam menjalankan tanggung jawab kehidupannya.
Situasi pandemi memang semakin memburuk di
Indonesia, kasus harian positip Covid-19 menembus angka 50.000 dan angka
kematian hampir 1000 dalam hitungan statistik data on table, bisa jadi realitas
di lapangan menunjukkan angka yang lebih tinggi lagi.
Sampai tulisan ini dirilis, belum ada tanda-tanda
data dalam grafik semakin melandai, oleh karena itu dibutuhkan langkah
strategis yang harus didukung oleh semua komponen negara. Miris rasanya, ketika
negara-negara lain mengumumkan bahwa mereka telah menang melawan Covid-19 dan
mendeklarasikan untuk melepaskan masker, sebaliknya negara kita masih dihantui
dengan masalah angka kematian yang masih tinggi diperparah lagi dengan
pertikaian politik, keterpurukan ekonomi dan keretakan sosial.
Tidak lantas, kita menuding dengan sinis bahwa semua
ini terjadi karena takdir, tentunya kita harus melakukan instrospeksi diri
(muhasabah) berskala nasional, karena yang telah terjadi merupakan serangkaian
perbuatan atau ulah tangan kita sendiri yang seolah-olah menantang hukum alam
(sunatulloh), karena Alloh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan bahwa tidak ada
satupun kerusakan di alam semesta ini kecuali manusia telah mengeksploitasi dan
mengekspansinya (Q.S. Ar-Rum: 41).
Memang Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menjadikan ujian
dan musibah untuk menguji kesabaran dan mengangkat kemuliaan kita dihadapan-Nya
(Q.S. Al-Baqarah: 155). Bukan tanpa dasar, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memilih
Habil dan Nabi Ibrahim sebagai teladan dalam berqurban. Alloh Subhanahu Wa
Ta'ala memilih mereka karena mereka sanggup menjadi pemimpin yang adil minimal
bagi diri mereka sendiri dan keluarganya.
Mereka memiliki keimanan, kapasitas kecerdasan yang
mumpuni, riset yang jelas dan open minded untuk menerima kebenaran sehingga
mereka lulus dari ujian. Dari sini, kita bisa melihat bahwa keadilan,
kecerdasan dan kebijaksanaan seorang pemimpin negara akan berpengaruh
signifikan terhadap kemampuan suatu negara untuk keluar dari masalah. Ketika
kebijakan negara bisa diterima oleh semua komponen masyarakat maka herd
immunity nasional akan terbentuk dengan sendirinya.
Sekarang kita harus bersiap menghadapi realitas,
badai sudah berubah menjadi terjangan tsunami, kalau tidak segera tercipta
sinergi yang baik di antara pemangku, pembuat dan pelaksana kebijakan negara
maka kita semua akan disapu bersih oleh pandemi Covid-19.
Berhenti saling menyalahkan, karena memang
sudah tidak ada lagi manfaatnya. Yang kita butuhkan sekarang adalah taubat
nasional untuk "membujuk" Alloh Subhanahu Wa Ta'ala agar mengangkat
musibah yang terjadi, sebagaimana Habil dan Nabi Ibrahim selalu berdoa dan
mempersembahkan yang terbaik kepada Alloh swt, apapun situasinya.
Keyakinan bertransformasi menjadi ketakwaan yang
mengakibatkan turunnya rejeki atau jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga
(Q.S. At-Talaq: 3). Memperbanyak zikir di rumah atau di mana saja dengan
harapan gemuruh suara yang penuh harapan mampu mengetuk dan menggetarkan
pintu-pintu langit.
Rumah ibadah tetap dibuka menyambut datangnya para
jamaah untuk beribadah di tempat yang termasuk zona hijau sambil tetap
menerapkan prokes dengan ketat. Apabila harus dilakukan lockdown (karantina
wilayah) maka Pemerintah harus siap dan cekatan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dan pendidikan warga negaranya.
Memang langkah terbaik menekan penyebaran pandemi
yang terjadi akibat interaksi adalah mengurangi mobilitas. Hal ini juga pernah
diisyaratkan Nabi Muhammad saw di dalam hadisnya yang menyatakan bahwa apabila
terjadi wabah penyakit di suatu daerah maka orang yang berada di dalamnya tidak
boleh keluar sedangkan orang yang berada di luar tidak boleh masuk ke dalamnya.
Selain berdoa maka harus dibarengi dengan ikhtiar
dalam bidang kesehatan, dengan cara memberikan edukasi yang benar tentang
bahaya Covid-19 kepada masyarakat, dan mencegah diri agar tidak menyebarkan
berbagai berita yang tidak benar (hoax) tentang Covid-19 di berbagai media
sosial.
Menambah fasilitas kesehatan dan memberikan insentif yang logis kepada para tenaga kesehatan karena mereka garda terdepan dalam mengantisipasi Covid-19. Sebagaimana tujuan utama dalam Qurban adalah memberikan daging ternak kepada orang yang tidak mampu.
Nilai sosial yang bisa ditransformasikan dari tujuan
Qurban di masa pandemi, maka sudah selayaknya orang yang mampu secara finansial
harus membantu saudara atau tetangganya yang kurang mampu.
Tentunya, hal ini akan menjadi ladang pahala bagi
orang-orang kaya yang ringan tangannya untuk bersedekah di tengah pandemi,
sehingga dia mampu menambah deposito pahalanya, karena setiap satu sedekah yang
dilakukannya maka Alloh Subhanahu Wa Ta'ala akan menggantikannya dengan 700
kebaikan (Q.S. Al-Baqarah: 261).
Ketika semuanya sudah siap berqurban di tengah
musibah yang terjadi, maka semua instrumen kebaikan akan melebur menjadi satu
kekuatan untuk bangkit dan keluar dari musibah serta tumbuh menjadi entitas
yang lebih baik dari sebelumnya.
Keimanan, keikhlasan, ketulusan, keadilan dan kerja
keras mampu berkontraksi dan bersinergi, maka Alloh Subhanahu Wa Ta'ala akan
menyelamatkan kita dari pandemi ini, karena Alloh Subhanahu Wa Ta'ala telah
menjanjikan di balik satu kesulitan maka Dia akan menyediakan dua jalan
kemudahan bagi kita (Q.S. Al-Insyiroh: 5 -- 6).
InsyaAlloh, Indonesia akan bangkit kembali.
Source: