Kecanggihan teknologi mengukir banyak kenangan.
Alat-alat tradisional hanya bisa dilihat oleh mata dan didengar dengan telinga.
Fatuledu: alat pemisah serat dan biji kapas untuk pembuatan kain adat (Tais, read Tetun)
Dulu, ketika Nenek saya masih hidup, saya sering
mendengar cerita-cerita tentang budaya dan alat-alat tradisional yang sudah
hampir punah. Salah satunya adalah alat pemisah biji kapas yang digunakan
selama berabad-abad oleh orang Timor (khususnya Masyarakat Fehan, Kabupaten
Malaka) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Saya tidak tahu sebutan untuk alat pemisah biji
kapas ini bagi masyarakat lain di Kabupaten Malaka, dan daerah lainnya di Pulau
Timor tetapi sebagian besar kami masyarakat Kampung Numbei, Desa Kateri Kabupaten
Malaka khususnya mengenalnya dengan sebutan Fatuledu.
Pada zaman dahulu, Fatuledu wajib dimiliki oleh setiap perempuan di Kampung Numbei
karena menenun merupakan pekerjaan dan syarat perempuan Numbei untuk
berkeluarga (menikah).
Benang (kabas)
sebagai bahan dasar untuk menenun bersumber dari kapas yang tumbuh liar di
hutan. Kapas diambil dari hutan harus melalui proses pemisahan biji sebelum
dipintal menjadi benang.
Proses pemisahan biji kapas ini hanya dapat
dikerjakan menggunakan Fatuledu.
Memang pemisahan bisa menggunakan tangan tetapi prosesnya akan memakan waktu
yang lebih lama sehingga Fatuledu wajib dimiliki.
Fatuledu terbuat dari jenis kayu yang kuat dan keras.
Menurut cerita dari Nenek-nenek di Kampung Numbei, salah satu pohon bernama ai kakeu (sebutan dalam bahasa Tetun)
merupakan pohon cemara yang paling baik untuk membuat Fatuledu.
Ai Kakeu merupakan pohon yang memiliki karakteristik semakin
kering akan semakin kuat dan terlihat lebih licin dan mengkilat. Nah, rupanya
Makuan menjadi sumber utama pembuatan alat-alat tenunan karena karakteristiknya
mendukung percepatan proses pekerjaan.
Ai Kakeu mudah dijangkau karena banyak tumbuh di bentara
sungai Benenain. Perlu diketahu bahwa secara geografis kampung Numbei merupakan
salah satu kampung yang berada di pesisiran bentaran sungai Benenain.
Memasuki tahun 80-an, produksi benang yang lebih
canggih membuat penjualan benang buatan pabrik menguasai seluruh Indonesia.
Keberadaannya yang instan, para ibu di kampung Numbei mulai beralih dari kapas.
Kini kapas hanya tinggal cerita. Hutan tempat kapas
tumbuh pun sudah digunduli. Kapas hanya bisa dikenang dan mungkin suatu saat
tidak akan dikenang lagi.
Ketiadaan kapas sebagai bahan dasar pembuatan kain
tenunan di Timor memaksa beberapa alat tradisional meninggalkan profesinya. Ike
yang digunakan untuk memintal benang pun hilang kabar, membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk saya melihat fatuledu yang selama ini saya kenal dan lihat
semasa kecil dan melalui cerita turun temurun.
Fatuledu akan
termakan zaman. Sulit menemukan orang yang tahu membuat Fatuledu. Juga, sulit
menemukan perempuan-perempuan Kampung Numbei dapat memisahkan biji kapas
menggunakan Fatuledu. Kapas yang dipintal menjadi benang pun sudah menjadi
lelucon bagi orang-orang Numbei.
Ah, jangankan itu. Menenun yang merupakan syarat
perempuan Numbei menikah pun sudah tinggal kenangan. Saya jamin 90%
Perempuan-perempuan Timor yang berusia milenial yang tahu menenun hanya sebagai
kecil saja.
Kembali ke Fatuledu Ketika saya melihatnya, balutan
debu menghapuskan keindahannya. Hitam mengkilat yang merupakan warna dasar yang
sangat indah dipandang mata hanya bisa dilihat oleh telinga. Mata hanya
menyaksikan sajian debu putih yang sudah menyatu dengan kayu-kayunya.
Fatuledu hampir punah. Menemukan orang yang masih
menyimpannya pun sudah langka. Mungkinkah museum akan menjadi pelabuhan
terakhirnya atau akan menjadi pajangan bagi mereka yang masih mencintainya?
Ataukah secara perlahan akan menjadi makanan empuk debu dan rayap?
Ah,Fatuledu, kau tidak modern lagi..... Pilihlah
kemana engkau pergi.... Terima kasih pernah menjadi bagian dari Masyarakat
Numbei dan Peradaban kehidupan masyarakat Kabupaten Malaka pada umumnya.
Salam!!!