Ilustrasi |
Dilansir dari laman kumparan.com bahwasanya
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sesuai
dengan data yang ditampungnya, hanya ada 20 persen maksimal mahasiswa yang baru
lulus, bekerja sesuai dengan jurusannya. Sedangkan mereka yang sisanya, bekerja
tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya. Selain itu, ia menyatakan bahwa
seseorang minimal memiliki dua atau tiga disiplin untuk mendapatkan pekerjaan,
karena tidak ada satu pun pekerjaan yang menggantungkan hanya ke satu disiplin
saja. Oleh sebab itu, menurutnya tingkat sarjana ialah wadah bagi lulusan baru
untuk dapat merasakan macam-macam disiplin tersebut.
Memang, pada kenyataan lapangan juga seorang lulusan
sarjana dalam menghadapi kehidupan nyata bisa dilihat dari proses mereka untuk
menempuh kehidupan yang lebih baik lewat beberapa kemampuan yang dimiliki,
bukan yang dipaksakan agar bergerak dalam satu rel saja sebagaimana jurusan
yang mengharuskan cetakan dari lulusannya bergerak di wadah itu-itu saja.
Bukannya salah jurusan, tetapi salahnya pola pikir manusia dalam berkuliah –
yang berekspetasi bahwa pekerjaan lahir dari mata kuliah yang dianut – padahal,
seiring perkembangan zaman manusia akan melakukan apa saja untuk hidup,
terlepas dari latar pendidikan dan kemampuan seadanya. Hal ini menjadikan
kementerian pendidikan pun ikut turut andil menghadapi masalah yang berurusan
dengan karier dan jurusan.
Dalam mengurusi hal tersebut, Nadiem Makarim turut
memberikan solusi terkait permasalahan tersebut. Baginya, dalam mengaplikasikan
program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) diperlukan elemen mata kuliah
alternatif atau opsional. Selain itu, ia mengambil contoh dari perguruan tinggi
terbaik di dunia, yaitu di Amerika Serikat. Alternatif yang digunakan perguruan
tinggi tersebut yaitu dengan membebaskan mahasiswa untuk memutuskan apa saja
minimal dalam waktu dua tahun. Kemudian di akhir semester genap, mahasiswa diperbolehkan
memilih jurusan pilihannya. Ia menyampaikan hal tersebut semata-mata untuk
kepentingan mahasiswa itu sendiri, bukan karena keinginan pribadi tiap
fakultas, sehingga sudah seharusnya bagi kepala jurusan untuk melakukan
kemajuan pada kurikulum saat ini.
Salah satu faktornya ialah mengenai minat seseorang
yang dapat berubah-ubah kapanpun. Sebenarnya, hal tersebut sangatlah wajar.
Umumnya, hampir sebagian anak pernah merasa bimbang akan minat dan bakatnya.
Mereka masih membutuhkan banyak pengalaman dan wawasan agar kecil mendapatkan
kesenangan ketika sedang mencari jati diri atau kepribadiannya yang sesuai;
semisal seorang anak menyukai kesenian. Dengan melukis, ia dapat lebih kreatif
dan menemukan banyak ide baru. Di sini peran orang tua sangatlah penting untuk
menemukan ataupun menumbuhkan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak. Orang
tua wajib membimbing dan memfasilitasi bakat anak untuk dapat dikembangkan lagi
agar anak merasa yakin akan pilihannya kelak ketika sudah dewasa.
Bimbingan orang tua ini memberi poin lebih untuk
tumbuh kembang si anak di mana didikan sewaktu kecil akan berguna di masa yang
akan datang. Bukannya orang tua yang memaksa anak untuk mengikuti apa yang
dipinta dengan harapan bisa menyambung pekerjaan dari leluhurnya, tetapi
buatlah anak tersebut agar nyaman terhadap minat yang disukai demi memperoleh
bakat yang dicapainya. Hal ini akan berpengaruh dalam pencarian karier,
terlebih di masa kecil sudah diasah untuk menemukan jati dirinya usai melewati
beberapa tahap pendewasaan diri lantaran bimbingan orang tua selalu menyertai
di tiap langkah-langkahnya.
Adapun faktor eksternal dari perkuliahan juga masuk
kriteria mengapa mahasiswa cenderung memilih karier yang tidak sesuai
jurusannya. Padahal, impian fakultas adalah mengarahkan mahasiswa untuk selaras
dengan roda pendidikan. Hal ini mengimplikasikan bahwa fakultas masih kurang
dalam memadai ilmu pekerjaan, atau kurang mapannya pekerjaan yang berhubungan
dengan jurusannya di minat mahasiswa tersebut. Inilah alasan kenapa larinya
mahasiswa menuju lajur yang berlainan, bahkan beberapa jurusan tidak memberikan
mahasiswanya penataran ketika menghadapi dunia pekerjaan nanti. Pendidikan
akademik saat ini lebih mengutamakan wawasan teoritis dan wawasan yang mendasar
dalam lingkup suatu bidang saja, sehingga sistem pendidikan formal saat ini
terkesan kaku. Sebagaimana tanggapan yang diberikan oleh mantan Rektor
Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Dr. Soedarso Djojonegoro yang tertulis
dalam laman Kominfo Jatim bahwa pendidikan di negara kita hanya terfokus pada
aspek-aspek kognitifnya saja. Pada akhirnya kecerdasan mahasiswa ataupun
pelajar hanya tercipta oleh paksaan dalam menghafal teks-teks pelajaran.
Idealnya, mahasiswa sudah seharusnya disiapkan untuk memiliki skill praktis
yang dapat menjadi pegangan ketika menghadapi dunia pekerjaan.
Daftar Pustaka
Inak, Afifah. 2021.
“Alasan Jurusan Kuliah Belum Tentu Jadi Pekerjaan di Masa Depan”,
https://kumparan.com/millennial/alasan-jurusan-kuliah-belum-tentu-jadi-pekerjaan-di-masa-depan-1wtfjIeXMXo/full
, diakses pada 18 November 2021 pukul 20:40.
kumparanNEWS. “Nadiem Sebut 80% Mahasiswa yang Lulus Bekerja Tak Sesuai Prodinya.” Kumparan.com. https://kumparan.com/kumparannews/nadiem-sebut-80-mahasiswa-yang-lulus-bekerja-tak-sesuai-prodinya-1wnPny8ZY64 (Diakses November 18, 2021).
KOMINFO
JATIM. “Pendidikan Indonesia Masih Fokus Pada Aspek Kognitif.”
kominfo.jatimprov.go.id. http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/21472
(Diakses November 19, 2021).