Mungkin dari kalian ada yang sudah pernah menonton
'Armageddon'. Di film ini karakter yang dimainkan oleh Bruce Willis harus
menghancurkan asteroid seukuran Texas dengan mengebornya dan kemudian
mengebomnya dari dalam. Walau film ini dikritik tidak akurat dari segi sains,
tapi dinilai cukup untuk menggambarkan seberapa besar ancaman asteroid ini.
Tunguska:
ledakan meteor terbesar di sejarah manusia modern
66 juta tahun lalu asteroid berukuran 10 kilometer
menghantam benua Amerika dan memusnahkan hampir semua spesies dinosaurus yang
hidup saat itu. Kejadian itu dikenal sebagai Kemusnahan Massal K-T.
Kejadian asteroid berukuran 10 kilometer ini sangat
langka dan mungkin hanya terjadi sekali sepanjang sejarah bumi. Namun yang
berukuran lebih kecil-misal 100 meter-lebih umum dan tetap menampakan potensi
ancaman yang tidak bisa disepelekan.
Salah satu peristiwa hantaman asteroid berukuran
sekitar 100 meter yang tercatat adalah kejadian Tunguska. Peristiwa ini terjadi
di hutan terpencil di pelosok Siberia, Rusia, pada tahun 1908.
Sebuah meteor masuk atmosfer Rusia dan meledak di
ketinggian 10 - 15 kilometer diatas tanah. Cahaya yang diciptakan meteor ini
sangat terang. Kemudian cahaya ini meredup dan disusul ledakan dahsyat. Energi
yang dilepaskan ledakan ini kira-kira 1.000 kali lipat dari bom Hiroshima.
Ledakannya sangat destruktif sehingga membuat area hutan seluas pulau Bali rata
dengan tanah.
Ada beberapa saksi mata yang menyaksikan ledakan
tersebut dari jarak puluhan kilometer. Saksi ini melihat ada ledakan dan
kemudian api yang muncul dari arah hutan. Namun tidak ada yang tahu fenoma apa
yang terjadi. Penduduk setempat tidak tahu bahwa itu meteor. Semuanya
terselubung misteri, dan tabir sedikit terangkat ketika Akademi Sains Soviet
melakukan ekspedisi.
Ekspedisi pertama dipimpin oleh Leonid Kulik pada
tahun 1927, atau hampir 2 dekade sesudah kejadian. Kulik ditemani dengan
masyarakat lokal untuk menuju lokasi ledakan. Sesampainya di lokasi, Kulik
menyaksikan sendiri efek destruktif ledakan 1908 masih awet sampai saat itu.
Meski 19 tahun pasca-kejadian, hutan yang roboh
belum pulih sepenuhnya. Jutaan pohon rata dengan tanah, sedikit mulai diganti
gereasi pohon yang baru tumbuh. Meskipun terjadi di hutan pelosok, dikabarkan
ada dua korban meninggal.
Satu abad berlalu, berbagai kajian sains
menyimpulkan bahwa fenomena Tunguska adalah dampak hantaman asteroid yang
meledak di udara (airburst). Asteroid ini terbuat hampir 100% dari besi. Ada
diskusi ilmiah bahwa asteroid ini bukan meledak di bumi, melainkan hanya
numpang lewat, dan terus melanjutkan perjalanannya ke luar angkasa.
Terlepas dari misteri bagaimana Tunguska ini
terjadi, manusia haris siap karena Tunguska kedua mungkin akan datang lagi
cepat atau lambat.
Sejarah kuno pernah menyaksikan meteor menhancurkan
satu kota
Sampai sekarang, ledakan meteor Tunguska masih
menjadi peristiwa dampak meteor terbesar yang tercatat di sejarah manusia
modern, dilihat dari kekuatan ledakan. Beruntung kejadian ini hampir tidak
memakan korban jiwa karena lokasinya yang terpencil. Namun apa yang terjadi
jika meteor yang sama meledak di atas kota New York?
Pada tahun 2019, ilmuwan NASA di Planetary Defense Conference
mempresentasikan hasil simulasi New York yang dihantam asteroid. Di simulasi
ini, ilmuwan NASA menggunakan asteroid fiktif berukuran 60 meter, dan
menghantam pusat kota metropolitan tersebut. Jutaan korban jiwa tetap berjatuhan
meskipun pemerintah sudah mengevakuasi 10 juta penduduk keluar dari New York.
Kejadian di atas memang sekadar simulasi. Namun pada
sejarahnya, pernah ada hantaman meteor yang berhasil meratakan sebuah kota
kuno. Peneliti menemukan bahwa sebuah kota kuno di Yordania, bernama Tall
el-Hammam, hancur lebur oleh hantaman meteor 3.600 tahun yang lalu. Tall
el-Hamman berlokasi tidak jauh dari Laut Mati, dan merupakan sisa dari
peradaban jaman perunggu. Ketika kejadian ini, populasinya berkisar 8,000 jiwa.
Arkeolog menemukan bahwa ada lapisan ‘kehancuran’ di
mana konsentrasi shocked quartz tinggi. Shocked quartz adalah kerikil hasil
dari terlempar kecepatan tinggi dan tekanan tinggi sehingga memiliki sisi
kerusakan. Selain itu peneliti menemukan bahwa di lapisan 'kehancuran' tersebut
terdapat banyak lelehan objek mulai dari tembikar, tanah liat, perak, sampai
emas. Eksperimen mengungkapkan bahwa temperatur saat kejadian tersebut mencapai
2.000°C.
Arkeolog menyimpulkan meteor yang sama atau lebih
besar dari meteor Tunguska bertanggung jawab berhentinya peradaban di kota kuno
ini. Ledakan udaranya menghancurkan bangunan-bangunan termasuk kuil lantai
empat yang merupakan bangunan tertinggi di kota kuno tersebut. Efek jangka
panjang dari dampak meteor ini adalah kontaminasi tanah di sekitar kota
sehingga tidak mendukung untuk agrikultur bahkan untuk ratusan tahun.
Chelyabinsk:
radar asteroid miss?
Pada tahun 2013, hantaman meteor terjadi lagi di
langit Rusia, tepatnya di atas kota kecil Chelyabink. Namun meteor yang ini
jauh lebih kecil dari Tunguska, dan diberi nama 'Meteor Chelyabinsk'.
Meteor ini juga meledak di udara dan melepas
gelombang kejut. Energi yang dilepaskan selama ledakan ini setara dengan
400–500 kiloton TNT, atau sekitar 26–33 kali lipat energi dari bom atom
Hiroshima.
Meteornya meledak di ketingian 29.7 km, tapi
eksplosinya terasa sampai ke tanah. Gelombang kejutnya menyebabkan kaca
bangunan pecah sehingga memakan korban luka setidaknya 1,500 orang, tapi tetap tidak
ada korban jiwa.
Semua bongkahan batu asteroid yang mengancam bumi,
baik dari Tunguska atau Chelyabinsk berasal dari kelompok asteroid yang diberi
nama NEO (Near Earth Object). NEO ini terdiri atas asteroid dan komet
berperiode pendek, di mana orbitnya cukup dekat dengan bumi. Cukup dekat di
sini yaitu kisaran 45 juta kilometer, jarak yang dekat jika kita membayangkan
betapa luasnya tata surya ini. Nah, beberapa batuan dari NEO ini memiliki
potensi kecil menabrak bumi di masa depan.
Kembali ke meteor Chelyabinsk. Di hari kejadian,
astronom dengan radar asteroidnya mendeteksi bahwa akan ada asteroid akan
melintas 'cukup dekat dengan bumi'. Masalahnya adalah, asteroid yang mereka
katakan akan melintas dekat bumi ini, bukanlah meteor yang meledak di atas kota
Chelyabinsk. Jadi, jika meteor Chelyabinsk ternyata meledak di atas New York,
tidak akan ada peringatan dini dan tidak ada waktu untuk mengungsi.
Meteor Chelyabinsk ini lolos karena lokasi datangnya
bongkahan batu tersebut dekat dengan arah matahari. Umumnya objek-objek yang
berpotensi menghantam bumi ini (NEO) sangat gelap di luar angkasa, dan peneliti
hanya bisa mengobservasi berdasarkan pantulan cahaya matahari di permukaan
mereka. Jadi, pada dasarnya deteksi NEO memang sulit.
Sementara untuk kasus Chelyabinsk, arah matahari
adalah wilayah titik buta dari teleksop detektor NEO. Hal ini menunjukan bahwa
sistem deteksi yang dimiliki bumi masih memiliki kelemahan, dan kejadian
seperti Chelyabinsk mungkin terulang lagi.
Skenario jika
satu asteroid sudah membidik bumi dari jauh
Survei dan observasi tidak cukup. Ilmuwan tahu itu,
dan juga NASA tau itu. Bagaimana jika peneliti berhasil memprediksi dengan
tepat kapan sebuah asteroid menghantam bumi, dan skenario seperti apa yang
harus dipersiapkan jika waktunya cukup?
Di dalam film ‘Deep Impact' yang rilis tahun 1998,
pemerintah dunia punya waktu satu tahun sebelum komet berdiameter 11 kilometer
menghantam bumi dan memusnahkan segala bentuk kehidupan yang ada di permukannya.
Solusi yang diajukan adalah mengirim bom nuklir untuk meledakan batu raksasa
tersebut langsung dari intinya. Peringatan spolier! yang terjadi malah komet
tersebut terbelah menjadi dua.
NASA sudah pernah menguji coba solusi ini dalam
skala kecil. Batu meteorit ditembak dengan senjata api dengan harapan akan ada
dorongan dari meteorit, atau asteroid akan terdefleksi. Hasil dari eksperimen
ini dipresentasikan di pertemuan rutin Meteoritical Society Oktober lalu.
Kesimpulannya, jika kita mencoba menghantam asteroid dengan senjata eksplosif,
bisa saja berhasil membelokkan lintasan asteroid, atau malah membelahnya
menjadi batuan-batuan yang lebih kecil dan lebih sulit dikontrol.
DART: uji coba kinetic
impactor terhadap asteroid
Film 'Deep Impact' dan 'Armageddon' membuat kita hmmmm
untuk mengebom asteroid. Bisa dibilang ide ini terlalu ekstrem. Oleh karena
itu, solusi yang paling masuk yang bisa ditawarkan peneliti saat ini adalah
membelokkan lintasan NEO, ketimbang menghancurkannya. Tahun
ini NASA meluncurkan misi DART, yang akan menguji coba apakah 'dorongan
kintetik' dapat digunakan untuk membelokan suatu asteroid, jika asteroid
tersebut sedang di lintasannya menuju bumi.
Ilustrasi DART yang akan menabrak moonlet Didymos (kredit: NASA) |
DART akan menabrakan diri ke buan kecil (moonlet)
yang mengorbit asteroid Didymos. Bulan kecil ini berdiameter 160 meter, dan
mengorbit sebuah asteroid (objek utama dari Didiymos) berdiamer 780 meter.
Didynos bukan termasuk asteroid yang menampakkan ancaman di masa depan. Jadi,
misi ini murni uji coba.
DART akan menabrakan dirinya dengan kecepatan 6.6
km/detik ke badan moonlet Didymos, dan akan menimbulkan sedikit perubahan
kecepatan orbit moonlet sehingga periode orbitalnya akan bergeser beberapa
menit. Perubahan kecil ini akan diobservasi dari bumi dan akan diukur untuk
menguji efektivitas metode impaktor kinetik untuk membelokan asteroid.
Jika di masa depan ada sebuah asteroid yang memiliki
peluang cukup besar untuk menabrak bumi, dan peneliti serta pemerintah memiliki
waktu bertahun-tahun untuk mempersiapkannya, manusia bisa membangun DART versi
produk final. DART produk final ini akan dikirim ke asteroid tersebut, dan
dengan dorongan roketnya menggeser lintasan asteroid sedikit demi sedikit
selama bertahun-tahun, sehingga tidak lagi di lintasan menuju bumi. Bumi pun
bebas ancaman asteroid penghancur.
Harapan umat
manusia
Hantaman asteroid berhasil menyapu hampir seluruh
spesies dinosaurus 66 juta tahun lalu. Arthur C. Clark (penulis sci-fi
terkenal) pernah berkata “dinosaurus punah karena mereka tidak punya program
luar angkasa”.
Sekarang kita sudah berhasil mendeteksi lebih dari
90% NEO yang berdiameter lebih dari 1 km. Sekarang fokus untuk perburuan NEO
berdiameter lebih kecil dari 1 km tapi lebih besar dari 140 meter. Angka 140
meter tersebut menjadi patokan NASA karena dianggap cukup menampakkan potensi
fatal skala kota. Memang belum semua, tapi lebih baik daripada tidak ada.
Asteroid Bennu, salah satu NEO yang berpotensi menghantam bumi di masa depan (kredit: NASA)
Beberapa asteroid yang berhasil dideteksi tersebut
ada yang menampakan potensi ancaman yang kecil. Salah satunya adalah Bennu,
yang beberapa bulan lalu dibor oleh wahana OSIRIS-REx untuk diambil sampelnya.
Bennu memiliki kemungkinan 157 kejadian menghantam bumi, dengan probabilitas
kumulatifnya sebesar 0.057%. Kemungkinannya memang kecil, tapi mengingat
diameternya yang mencapai 400 meter, dampaknya akan skala negara bahkan lebih
jika sampai menyentuh bumi.
Tapi coba bayangkan kejadian hantaman asteroid atau
meteor ini bukan sebagai kejadian kosmik langka dan berskala kiamat. Melainkan
fenomena alam destruktif layaknya gempa dan tsunami. Kejadiannya sendiri berada
di luar kontrol kita, namun masih ada hal yang bisa kontrol untuk menekan
korban. Membangun bangunan kokoh tahan gempa, atau mendesain sistem peringatan
dini tsunami yang efektif. Begitu pula untuk tabrakan asteroid. Kita tidak bisa
memilih NEO mana yang akan berakhir menjadi meteor, dan mana yang tidak. Tapi
dengan teknologi deteksi yang canggih dan monitoring yang intensif, dampak yang
ditimbulkan bisa ditekan seminimal mungkin. Hati-hati harus panik jangan.