Romo Vinsensius Darmin Mbula OFM, Ketua MNPK mengatakan, pedoman itu merespon komitmen Paus Fransiskus yang terus-menerus memberikan perhatian terhadap masalah ini dan mengingatkan Gereja di seluruh dunia terkait komitmen yang lebih serius melawan masalah ini.
Pedoman itu diluncurkan secara online pada 10 Desember dalam acara
yang diikuti para imam, suster, bruder yang merupakan ketua yayasan, kepala
sekolah dan guru di sekolah-sekolah katolik Indonesia, serta perwakilan dari
lembaga-lembaga pemerintah.
Pedoman yang terdiri dari 146 halaman itu-yang
disusun dalam kerja sama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan)-berisi upaya pencegahan dan penanganan kekeraan
seksual, dilengkapi dengan langkah-langkah konkret yang mesti dilakukan sekolah
jika terjadi kasus, termasuk terkait upaya melapor kasus kepada apparat penegak
hukum dan upaya memberi sanksi kepada pelaku sesuai jenis kekerasan yang
dilakukan.
Romo Vinsensius Darmin Mbula OFM, Ketua MNPK
mengatakan, pedoman itu merespon komitmen Paus Fransiskus yang terus-menerus
memberikan perhatian terhadap masalah ini dan mengingatkan Gereja di seluruh
dunia terkait komitmen yang lebih serius melawan masalah ini.
Ia menyinggung secara khusus langkah Bapa Suci dalam
mendirikan Komisi Kepausan bagi Perlindungan Anak pada 2013.
“Paus secara khusus menyebut bahwa pendirian Komisi
itu dilatari pengalaman tersentuh oleh kesaksian para korban kekerasan
seksual,” katanya.
“Itu berarti ia menghendaki kita semua sebagai
bagian dari Gereja mesti mengambil langkah mengakhiri praktik seperti ini,”
katanya.
Ia juga menyatakan, selama ini kekerasan seksual
telah terjadi di sekolah-sekolah Katolik, namun sering kali tidak tertangani
dengan baik dan ada upaya untuk menutup-nutupinya.
“Salah satu pemicu hal itu adalah tidak adanya
pedoman yang menjadi rujukan bagi sekolah dalam memberi pananganan yang baik.
Padahal, dampak kekerasan seksual adalah yang paling serius dan proses
pembuktiannya paling susah dibandingkan kekerasan lainnya,” katanya.
“Dengan pedoman ini kami berharap tidak ada lagi
yang diabaikan, tidak ada lagi pelaku yang dibiarkan bebas,” katanya.
Dalam pedoman itu yang disusun dalam kerja sama
dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, sekolah-sekolah
Katolik yang jumlahnya lebih dari 5000 juga diminta untuk menciptakan sekolah
yang aman dan memberi pendampingan kepada korban dan pelaku.
Pastor Darmin mengatakan, sekolah-sekolah Katolik
masih diberi kewenangan untuk menyesuaikan lagi pedoman itu sesuai konteks
sosial dan kultural masing-masing.
Catharina Muliana, Inspektur Jenderal di Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengapresiasi dokumen itu sebagai
terobosan penting dan sejalan dengan komitmen kementerian saat ini yang telah
mengategorikan kekerasan seksual sebagai salah satu dari tiga dosa besar
pendidikan di Indonesia, selain intoleransi dan perundungan.
“Kami sangat mengapresiasi langkah luar biasa ini.
Tidak mungkin lahir anak-anak yang hebat kalau tumbuh dalam lingkungan yang
penuh dengan kekerasan,” katanya.
Ia mengatakan sekolah-sekolah Katolik perlu mengimplemnatasikan
hukum cinta kasih, yang tidak hanya dimaknai dengan berpihak pada para korban,
tetapi juga mengambil tindakan tegas kepada pelaku agar tidak mengulangi lagi
perbuatan mereka.
Sementara itu Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas
Perempuan, menyebut MNPK merupakan lembaga keagamaan pertama yang mengeluarkan
pedoman terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan
sekolah.
Ia juga berharap, pedoman itu tidak hanya berguna di
lingkungan Lembaga Pendidikan Katolik, tetapi juga lembaga lain.
Sementara Retno Listyarti, Komisioner Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, pedoman itu memperlihatkan
betapa komitmen Lembaga Pendidikan Katolik terhadap pencegahan dan penanganan
kasus kekerasan seksual terhadap anak sangat intens.
Dokumen itu, kata dia, “sangat detail,” dan
“poin-poin di di dalamnya sesuai Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan
Pendidikan.”
Merujuk pada catatan tahunan Komnas Perempuan, pada
2020 terdapat 3.602 kasus kekeran terhadap perempuan di ranah komunitas, di
mana 58 % di antaranya adalah kekerasan seksual. Dari jumlah itu, 4,2 persen
terjadi di lembaga pendidikan.
Sementara dari pengalaman penanganan kasus oleh KPAI
sejak 2018, pelaku kejahatan seksual di sekolah dasar sampai menengah umumnya
guru (88 %) dan kepala sekolah (22%).
Modusnya adalah korban diajak menonton film porno,
diancam mendapatkan nilai jelek jika menolak, diberi uang, ditawarkan membeli
pakaian atau handphone dan dijanjikan untuk dinikahi.
Ian Saf