Ilustrasi Hutan Mangrove di Kabupaten Malaka dijadikan tambak garam |
Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan
pesisir menjadi wilayah yang sangat dominan untuk dijadikan sebagai tempat
tinggal, aktivitas sosial dan ekonomi karena ketersediaan faktor sumber daya
alamnya. Dengan semakin banyaknya aktivitas manusia maka permasalahan terkait
pesisir menjadi semakin kompleks dan memiliki potensi konflik yang tentunya
berimbas kepada masalah kesehatan, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Hutan Mangrove
sebagai Pertahanan Alami
Kata mangrove berasal dari kata mangue (bahasa
Portugis) yang berarti tumbuhan, dengan grove berasal dari bahasa Inggris yang
berarti belukar. Dalam literatur lainnya disebutkan istilah mangrove berasal
dari kata mangi-mangi (bahasa Melayu Kuno). Hutan mangrove itu sendiri
merupakan kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai
tropis dan subtropis yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai
dengan tipe tanah anaerob (tanah yang dicirikan dengan tidak adanya molekul
oksigen). Pepohonannya tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada
garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Ekosistem mangrove ini
bisa hidup dalam lingkungan berkadar garam tinggi.
Kawasan hutan mangrove di wilayah pesisir berfungsi
sebagai pertahanan alami (natural defend) atau sebagai imunitas alami terhadap
potensi kerusakan yang mungkin terjadi di daerah pesisir seperti abrasi pantai.
Selain itu, hutan mangrove memiliki fungsi untuk menyerap semua kotoran yang
berasal dari sampah manusia maupun kapal yang berlayar di laut, menyerap semua
jenis logam berbahaya dan membuat kualitas air menjadi lebih bersih. Mangrove
juga merupakan tempat hidup beberapa fauna seperti jenis kepiting dan ikan baik
itu tinggal secara permanen atau sementara (transit) sebelum berpindah menuju
laut dan beberapa jenis burung, yang tentunya dapat dijadikan objek pariwisata
karena menawarkan keindahan alamnya.
Sebagai konsekuensi dari berkurangnya kawasan hutan
mangrove di wilayah pesisir akan menyebabkan hilangnya imunitas alami dari
wilayah tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan kerusakan wilayah pesisir yang
lebih besar lagi di masa yang akan datang.
Berkurangnya hutan mangrove dapat disebabkan oleh
beberapa aktivitas manusia seperti perluasan wilayah darat menuju pantai dan
pendirian bangunan di atasnya. Pendirian bangunan yang melanggar izin dan
peraturan di wilayah pesisir tentunya akan semakin menambah panjang
permasalahan yang ada.
Permasalahan lain yang terjadi di pesisir adalah
ditemukannya kondisi pangkalan pendaratan ikan (PPI) di mana kapal-kapal
nelayan berada pada posisi yang stagnan ketika air laut sedang surut, sehingga
harus menunggu air laut pasang kembali agar kapal nelayan dapat kembali
berlayar. Permasalahan seperti ini akan sulit terselesaikan manakala tidak
adanya komunikasi yang dibangun antara pemerintah daerah dengan masyarakat
setempat. Untuk itu, perbaikan sistem komunikasi dan koordinasi dalam
pengelolaan wilayah antara pemerintah daerah maupun pusat dengan masyarakat dan
swasta menjadi hal yang penting untuk segera dilaksanakan.
Kasus abrasi yang terjadi di Pantai Utara Jawa
menambah panjang permasalahan yang ada khususnya bagi masyarakat pesisir Utara
Jawa. Di beberapa wilayah pantai, hal ini ditandai dengan semakin terlihatnya
akar serabut beberapa pohon kelapa dan bahkan banyaknya pohon kelapa yang
tumbang di pinggir pantai. Selain itu, banyaknya areal tambak yang rusak serta
tergenangnya pemukiman masyarakat pesisir.
Penggundulan hutan mangrove di kabupaten Malaka yang
di jadikan tambak garam, kian meresahkan masyarakat Kabupaten Malaka, Provinsi
Nusa Tenggara Timur(NTT). Penyebab utama penggundulan hutan mangrove pada
beberapa kecamatan di Malaka tersebut adalah di alih fungsikan menjadi
pertambakan garam, sejak empat tahun terakhir.
Berkurangnya area hutan mangrove berdampak pada
tergerusnya kawasan pantai akibat terjangan ombak. Selain itu, kerusakan hutan
mangrove yang menjadi habitat bagi plankton dan ikan berbagai jenis bisa
mengganggu keseimbangan ekosistem. Hutan mangrove yang utuh mendukung
terciptanya kondisi perairan pantai yang baik.
Pemerintah memiliki wewenang mengeluarkan larangan
yang mencegah penebangan hutan bakau atau alih fungksikan menjadi tambak garam,
Sayangnya, pemerintah masih mengabaikan hal-hal semacam itu dan seperti tidak
peduli pada kelestarian lingkungan.
Perubahan pola arus laut akibat adanya pembangunan
konstruksi baru yang menjorok ke pantai juga menjadi faktor penyebab abrasi
(erosi pantai) dan akresi (perubahan garis pantai menuju laut lepas karena
adanya proses sedimentasi dari daratan atau sungai menuju arah laut).
Di belahan dunia lainnya, salah satu permasalahan
lain di pesisir adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise) seperti
terjadi di Pantai Lagos Nigeria, Afrika yang merupakan dataran rendah dibanding
wilayah lainnya. Dengan posisi wilayah yang terbuka dan berhadapan langsung
dengan Samudera Atlantik Selatan, menyebabkan gelombang dan arus laut yang kuat
menuju pantai sehingga terjadi abrasi di wilayah pesisir tersebut.
Permasalahan pesisir lainnya adalah adanya bencana
tsunami yang terjadi di Pantai Kota Pelabuhan Kesennuma Miyagi, Jepang tahun
2011. Gempa bumi dan tsunami yang menerjang kota tersebut menyebabkan sepertiga
dari wilayah kota tenggelam dan mengalami kebakaran di mana-mana. Bencana ini
menyebabkan sekitar 18 ribu jiwa korban meninggal dunia, 500 ribu orang
kehilangan tempat tinggal dan berbagai kerugian material lainnya. Peristiwa ini
menjadikan pelajaran akan pentingnya melakukan rencana mitigasi bencana
khususnya di wilayah yang berpotensi mengalami tsunami.
Mitigasi dan
Pengelolaan Pesisir yang berkelanjutan
Seiring dengan banyaknya aktivitas manusia berikut
permasalahannya yang dihadapi oleh masyarakat pesisir, maka pengelolaan wilayah
pesisir yang berkelanjutan dan rencana mitigasi terhadap potensi bencana perlu
dilakukan untuk mengurangi dampak dari bahaya atau ancaman (hazard) pada jiwa
manusia, kerusakan lingkungan serta efeknya pada masalah sosial dan ekonomi.
Pengelolaan wilayah pesisir yang komprehensif
menjadi sebuah hal yang penting untuk dilakukan agar kelestarian lingkungan
dapat terjaga dan pemanfaatannya dapat terus dinikmati bagi generasi
selanjutnya. Pola penyadaran masyarakat akan pentingnya kawasan hutan mangrove
sebagai pertahanan alami harus terus disosialisasikan kepada masyarakat untuk
menjaga wilayah pesisir.
Penanganan kerusakan wilayah pesisir dan dampaknya
terhadap kehidupan masyarakat pesisir seperti abrasi, sea level rise dan
tsunami memerlukan penanganan yang tepat dan sesuai dengan wilayahnya
masing-masing. Beberapa penanganan yang dapat dilakukan adalah program struktur
hybrid atau Hybrid Engineering (penggabungan struktur permeable, pemecah
gelombang sekaligus penangkap sedimen pasir dan restorasi mangrove), pembuatan
bangunan pelindung pantai (sea wall, groin, breakwater, dll.), sampai dengan
dibangunnya komunitas bersama seperti Building with Nature Consortium di mana
perannya adalah mempercepat alam untuk mengembalikan fungsinya seperti sedia
kala, dengan mengambil prinsip bahwa alam dapat bekerja sendiri menjadi natural
defend. Terkait penanganan masalah tsunami, hal penting yang dapat disiapkan
adalah pengidentifikasian rencana jalur evakuasi (evacuation plan) dan
penentuan lokasi titik kumpul (muster area) yang aman dari tsunami.
Di samping itu, komunikasi, koordinasi dan kerja
sama yang baik antar pemangku kebijakan dari pemerintah daerah dan pusat serta
masyarakat pesisir dan swasta atau pengembang menjadi syarat utama keberhasilan
dalam pengelolaan wilayah pesisir. Penegakkan hukum perlu dilakukan tanpa
pandang bulu kepada semua warga negara tanpa mengenal posisi dan kedudukannya
agar kebijakan yang telah dibuat dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Selain
itu pula, kesadaran masyarakat akan peraturan dan hukum yang berlaku serta
penegakkan hukum khususnya di wilayah pesisir menjadi prioritas utama untuk
segera dilaksanakan.