Baru-baru ini ada prasangka yang berkeliarandi desa kami. Jika dilihat dari bentuk fisiknya, prasangka ini mirip punuk unta. Menonjol-nonjol di bagian atas. Sangat tidak menyenangkan kalau dilihat sepintas, apalagi jika ditatap. Tapi jika dilihat secara menyeluruh, ia mirip sebatang lidi yang merana.
Prasangka ini menganggap dirinya adalah pendaki gunung yang sangat memahami alam dan siap menaklukkan semua puncak, padahal tempurung lututnya nyaris lepas. Dia mengunjungi semua penghuni desa untuk bergibah ria. Dia mengoceh tentang harapan di dalam dekapan dan semua aspek kehidupan lainnya seperti anak kecil yang gemar nyerocos. Sedangkan semua penghuni desa telah maklum bahwa isi kepalanya hanya ampas gedebok pisang.
"Kita ikat saja
prasangka ini kemudian dibakar," usul salah seorang penduduk dalam rapat
desa, "biar hidup kita tenang."
"Jangan,"
teriak satu suara, "kita tenggelamkan saja dia di laut. Biar joss"
"Kita kuliti saja
dia." Usul satu lagi suara.
"Kita rajam
dia." teriak seseorang.
Akhirnya kepala desa
harus menengahi dan memberi keputusan. "Sabarlah wahai penduduk
desa." Katanya, "sebagai prasangka kita biarkan saja dia terus
berprasangka. Setelah dia merasa benar-benar pintar barulah kita berikan dia
pelajaran."
"Pelajaran yang
bagaimana, pak Kades?" tanya seorang penduduk.
"Kita bawa dia ke
puncak gunung lalu kita dorong dia ke dalam prasangka. Biar makin sempurna
prasangkanya. Setelah itu kita biarkan dia membusuk disana, dimakan oleh
prasangkanya sendiri."
Penduduk desa bersorak dengan keputusan tersebut. Sedangkan di sudut terjauh terjauh desa itu, terlihat prasangka tersenyum penuh percaya diri.
Biarlah mereka berprasangka kita salah, agar mereka berprasangka bahwa mereka benar.