Ramos mengaku merasa dirugikan dengan UU tersebut usai gagal menikah dengan
kekasihnya yang beragama Islam. Menurutnya, ada pasal dalam UU Perkawinan yang
bertentangan prinsip kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29
Ayat (1) dan (2) UUD 1945
"Pemohon adalah Warga Negara Perseorangan yang memeluk agama
Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang
memeluk agama Islam," bunyi permohonan Ramos dalam permohonan gugatannya
dalam situs MK, Senin (7/2).
"Akan tetapi setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan
perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak
memiliki agama dan keyakinan yang berbeda," imbuhnya.
Ramos mempersoalkan pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f dalam UU
Perkawinan. Menurut Ramos, makna dua ayat dalam pasal tersebut mengandung
ketidakpastian hukum.
Dalam pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian
Ayat (2) berbunyi Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional
yang dimiliki pemohon, sehingga ia tidak dapat melangsungkan perkawinannya
karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara," kata
Ramos.
Pasal lain dalam UU Perkawinan yang dipersoalkan Ramos yakni Pasal 8, yang
berbunyi perkawinan dilarang antara dua orang yang: f. yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Ramos menganggap menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya. Padahal, kata
dia, perkawinan di Indonesia, melekat pada berbagai macam kultur, agama,
budaya, suku, dan sebagainya dan hukum perkawinan yang berlaku juga bersifat
pluralistis antara hukum adat, hukum negara,dan hukum agama.
"Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 8 huruf f menimbulkan kekaburan
atau ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda agama sebagai suatu
peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang dalam hukum agama dan
kepercayaan masing-masing," ucapnya.
Ramos juga mempertanyakan tolok ukur pelarangan warga yang berbeda agama.
Pasalnya, ia menilai
larangan beda agama disebabkan oleh perbedaan tafsir ahli hukum.
"Dan tolok ukur apa yang digunakan untuk mengukur larangan atau kebolehan
perkawinan beda agama mengingat tidak adanya kesamaan pendapat di antara para
ahli hukum agama dan hukum negara," ucap dia.
"Larangan perkawinan beda agama yang disebabkan karena perbedaan tafsir
diantara ahli hukum pada hakikatnya telah mengurangi kebebasan dan kemerdekaan
untuk menganut agama dan kepercayaan tentu dalam melangsungkan perkawinan beda
agama yang dijamin berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,"
imbuhnya.
Ramos sebelumnya juga pernah mengajukan gugatan UU Perkawinan pada 2014. Namun,
gugatan itu ditolak dengan putusan Nomor 68/PUU-XII/2014.
Pemohon merasa gugatan yang baru diajukan ini tidak dapat diklasifikasikan ne
bis in idem (dilarang digugat kembali).
"Karena tentunya terdapat perbedaan dalam hal konstitusionalitas yang
menjadi alasan diajukannya permohonan," ucapnya.
***
Sumber: https://www.cnnindonesia.com