KISAH MISIONARIS YANG MENGALAMI KEPAHITAN TERHADAP TUHAN

KISAH MISIONARIS YANG MENGALAMI KEPAHITAN TERHADAP TUHAN



(Kisah ini merupakan kutipan dan terjemahan dari buku Aggie Hurst : The Inspiring Story of a Girl Without a Country).


Dalam kehidupan, setiap manusia tentu pernah mengalami rasa kecewa, entah kepada orang lain atau kepada situasi. Namun, pernahkah Anda kecewa dengan Tuhan? Jika seseorang melihat hidupnya begitu banyak masalah, segala hal yang diupayakan tidak pernah berhasil, dan seakan-akan Tuhan membiarkan atau bahkan menimpakan semua hal itu atas hidupnya, segala situasi buruk yang terlihat ini bisa menimbulkan rasa kecewa kepada Tuhan, lalu orang itu bisa saja akhirnya meninggalkan Tuhan.

Pada tahun 1921, dua pasang suami istri dari Stockholm - Swedia, menjawab panggilan Tuhan utk melayani misi penginjilan di Afrika.

Mereka adalah David Flood & Svea, serta Joel Erickson & Bertha, menyerahkan hidupnya untuk pekabaran Injil dalam suatu kebaktian. Mereka terbeban utk melayani negeri Kongo Belgia, yg sekarang bernama Zaire.

Setiba di Kongo, mereka melapor ke kantor misi setempat, lalu dengan menggunakan parang mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman yang penuh nyamuk malaria. David dan Svea membawa anaknya David Jr berumur 2 tahun, yg dalam perjalanan terkena malaria.

Namun mereka pantang menyerah dan rela mati untuk Pekabaran Injil.

Di tengah hutan mereka menemukan sebuah desa. Penduduk desa melarang mereka memasuki desanya. "Tak boleh ada org kulit putih memasuki desa, dewa-dewa kami akan marah".

Kepala suku desa N'dole tersebut kuatir kehadiran mereka akan membuat dewa-dewa nya akan murka. Lalu didirikanlah sebuah pondok dari lumpur, berjarak 750 meterr dari desa.



Karena tidak menemukan desa lain, mereka terpaksa tinggal di hutan dekat desa itu. Selang beberapa bulan, mereka mengalami kesepian dan kurang gizi dan jarang berkesempatan untuk berhubungan dengan penduduk desa.

Enam bulan berlalu, keluarga Erickson memutuskan unttk kembali ke kantor misi, namun keluarga Flood memilih tetap tinggal, apalagi Svea sedang hamil dan mederita malaria.

Di samping itu David menginginkan agar anaknya lahir di bumi Afrika. Ia sudah bertekad memberikan hidupnya utk pelayanan di tempat misi ini.

Berbulan-bulan Svea berusaha bertahan melawan demam yang semakin memburuk, sambil tetap memberikan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil penduduk desa. Anak inilah satu-satunya kontak dengan penduduk lokal dan diijinkan menjual telur serta daging ayam seminggu dua kali. Kehadiran anak ini selalu disambut dengan senang hati, dibimbing kepada Kritus.

Dapat dikatakan, anak kecil ini satu-satunya hasil penginjilan keluarga Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak ini hanya tersenyum kepadanya. Karena penyakitnya semakin memburuk, Svea hanya bisa berbaring. Tapi bersyukur bayi perempuannya lahir dgn selamat dan sehat. Namun seminggu kemudian kesehatan Svea sangat memburuk. Menjelang kepergiannya ia berbisik kpd David, "berikan nama Aina kepada anak kita", lalu ia meninggal.

David sangat terpukul dengan kematian istrinya. Ia membuat peti mati untuk Svea, lalu menguburkannya. Saat berdiri di samping makam, ia memandang kepada David Jr sambil mendengar tangis bayi perempuannya dari dalam gubuk. Timbul kekecewaan yg sangat mendalam di hatinya.

Dengan emosi yg tidakk terkontrol David berseru :

"Tuhan, mengapa Kau ijinkan ini terjadi? Bukankah kami datang untuk memberikan hidup kami dan melayani Engkau? Isteriku yang cantik dan pandai sekarang telah tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 tahun dan nyaris tidak terurus, apalagi si kecil yg baru lahir. Setahun lebih kami di hutan ini dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku!"

Kemudian David kembali ke kantor misi dan bertemu kembali dengan keluarga Erickson. David berteriak dgn penuh kejengkelan : "Saya akan kembali ke Swedia! Saya tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu."

Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek kapal, penuh dgn rasa kesal kepada Tuhan. Kepada setiap orang ia ceritakan pengalaman pahitnya, bahwa ia telah mengorbankan segalanya tapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin sudah berlaku setia tapi Tuhan membalasnya dengan cara tidak mempedulikannya.

Setiba di Stockholm, David memutuskan untuk memulai usaha bidang import. Ia memperingatkan semua orang untuk tidak menyebut nama Tuhan di depannya. Jika ada yang melakukannya, ia segera naik pitam dan marah. Akhirnya ia menjadi peminum minuman keras.

Tidak lama setelah David meninggalkan Afrika, pasangan Erickson yg merawat Aina meninggal diracun oleh kepala suku daerah yg mereka layani.

Si kecil Aina kemudian diasuh oleh keluarga Arthur & Anna Berg. Mereka membawa Aina ke sebuah desa bernama Masisi di utara Kongo. Disana Aina dipanggil "Aggie". Si kecil segera belajar bahasa Swahili dan bermain dengan anak-anak Kongo.

Di saat sendirian Aggie sering berkhayal dan membayangkan bhw ia mempunyai 4 saudara laki-laki dan 1 perempuan. Kadang-kadang ia menyediakan meja dan bercakap-cakap dengan saudara khayalannya.

Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis.

Saat beranjak dewasa Aggie mendapat kiriman majalah berbahasa Swedia. Di salah satu halaman ia tersentak kaget oleh foto-foto di dalamnya. Ada sebuah kubur sederhana dgn Salib putih dan tertulis nama Svea Flood. Ia segera menemui seorang penerjemah, yang membacakan dengan ringkas bahwa dulu ada pasangan misionaris yang datang ke Afrika untuk memperkenalkan Yesus kepada seorang bocah laki-laki. Pasangan ini dikaruniai seorang anak perempuan tapi ibunya meninggal beberapa hari kemudian. Namun melalui bocah kecil yang dibimbing Svea Flood, Tuhan telah menyelamatkan 600 orang Zaire. Ketika beranjak dewasa, si bocah mendirikan sekolah di desanya dan oleh semangat belas kasihan Kritus yang diperoleh dari Svea kini ia menjadi pemimpin dari Gereja Pentakosta di Zaire dan memimpin 110.000 (!) orang Kristen di Zaire.

Sejak itu Aggie berusaha mencari tahu keberadaan ayahnya tapi sia-sia.

Aggie menikah dengan Dewey Hurst yg kemudian menjadi pimpinan sekolah Alkitab Northwest Bible College. Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya menikah lagi dgn adik Svea yang tdk mengasihi Allah dan punya anak 4 putra dan 1 putri tepat seperti khayalan Aggie.

Suatu ketika Sekolah Alkitab memberi ticket untuk Aggie dan suami untuk ke Swedia. Kesempatan bagi Aggie mencari ayahnya. Dalam persinggahan di London, mereka berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall dan melihat suatu pertemuan penginjilan. Mereka masuk dan melihat seorang penghotbah kulit hitam sedang bersaksi bahwa Tuhan sudah melakukan perkara besar di Zaire. Aggie berdebar keras saat itu.

Setelah selesai acara, ia mendekatinya dan bertanya, "pernahkah anda mengetahui pasangan penginjil bernama David & Svea Flood?"

Orang itu spontan menjawab, "ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak. Mereka memiliki bayi perempuan tapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang".

Aggie segera berseru, "Sayalah bayi perempuan itu ! Saya adalah Aina.

Mendengar seruan itu Ruhigita Ndagora si penghotbah kulit hitam segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis sukacita. Aggie sulit percaya bahwa orang inilah yang dilayani ibunya. Ia tumbuh menjadi penginjil yang melayani bangsanya dan pekerjaan Tuhan berkembang pesat dgn 110.000 orang Kristen, 32 post penginjilan, beberapa Sekolah Alkitab dan sebuah RS dgn 120 tempat tidur.

Besoknya perjalanan dilanjutkan ke Stockholm dan beritanya sudah tersebar. Setibanya di hotel ketiga saudaranya sudah menunggu dan akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki lima orang saudara.

Ia bertanya kepada mereka : "Dimana David kakakku?"

Mereka menunjuk seorang pria yang duduk sendirian di lobby. David Jr adalah pria yg nampak kering, lesu dan berambut putih.

Ketika Aggie bertanya tentang ayahnya, dia menjadi marah. Ternyata semua anaknya membenci David.

Saudara perempuan Aggie akhirnya mau membantu Aggie. Mereka tiba di satu bangunan tidak terawat.

Seorang wanita mempersilakan masuk, di dalam ruangan penuh dengan botol minuman, di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yg dulunya seorang penginjil.

Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes, stroke dan katarak parah.

Aggie jatuh disisinya dan menangis, "ayah, aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika".

Sesaat is menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi matanya lalu ia menjawab "Aku tidak pernah bermaksud membuangmu, aku hanya tidak mampu utk mengasuhmu"

Aggie menjawab, "tidak apa-apa ayah. Tuhan telah memelihara aku".

Tiba-tiba wajahnya menjadi gelap, "Tuhan tidak memeliharamu!"

Ia mengamuk "Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada satupun hasil disana. Semuanya sia-sia belaka!"

Aggie kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang penghotbah kulit hitam dan bagaimana perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah anak kecil yg dahulu pernah dilayani oleh ayah & ibunya. "Sekarang semua orang mengenal anak kecil si penghotbah itu. Kisahnya dimuat di semua surat kabar."

Saat itu Roh kudus turun ke atas David Flood. Ia sadar dan tidak kuasa menahan air mata lalu bertobat. Tak lama setelah pertemuan itu David Flood meninggal, tapi Tuhan telah memulihkan semua kepahitan hatinya dan kekecewaannya.

Mungkin bagi David Flood, ia dan istrinya telah gagal sebagai misionaris. Namun jerih payah di mata Tuhan tidak pernah sia-sia.

Terbukti, belas kasihan dan kepedulian yang disertai pemberitaan Injil terhadap satu orang, melahirkan 600 orang bertobat dan dimuridkan.

Beberapa tahun kemudian Aggie dan suami mengunjungi desa N'dolera dan disambut dengan riuh rendah penuh sukacita. Mereka berziarah juga ke kubur Svea Flood.

@setapakrainumbei Paling gampang itu nilai orang lain dari pada diri sendiri...#nasehat #bijak #bijakberkata ♬ suara asli - setapakrainumbei

Aggie berlutut mengucap syukur disana, dan pendeta setempat membacakan dua ayat Alkitab yakni: Yohanes 12:24 dan Mazmur 126:5.


****

 Demikianlah kisah hidup dari seorang misionaris –David Flood, yang mana alur kehidupannya dalam mengemban panggilan Tuhan tidak mampu dipahaminya sehingga ia memberontak kepada Tuhan.  Kita tidak dapat menyangkali bahwasannya Tuhan tidak pernah salah dalam menetapkan dan melaksanakan rancanganNya, hanya saja kita sebagai manusia yang masih banyak kelemahan inilah yang sering kurang bisa memahami maksud & rancanganNya yang terjadi dalam kehidupan kita. Seperti ada tertulis:

Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. (Yesaya 55 : 8-9)

Saya banyak menemukan pernyataan dari orang-orang yang memposting kisah David Flood yang mengatakan bahwa kisah tersebut mereka tulis untuk ditunjukan kepada “Orang-orang yang merasa berhak marah kepada Tuhan.”. Saya pribadi kurang setuju bila kisah David Flood digunakan untuk hal seperti itu, walaupun disisi lain saya setuju mengenai pernyataan tersebut bahwa sebenarnya “manusia tidak berhak marah kepada Tuhan”.

Bila kita melihat perjuangan David Flood, kita pasti akan setuju, bahwa perjuangannya dalam mengemban misi tidaklah mudah. Mulai dari memberikan hidupnya untuk misi penginjilan, hidup dihutan karena ditolak oleh penduduk setempat yang ingin dia layani, dan selama pelayanannnya disitu seakan-akan tidak ada yang ia hasilkan selain “mengoceh”  kepada “anak kecil” yang ia anggap belum bisa memahami tentang injil, lalu tidak sampai disitu saja  -ia harus ditinggal mati oleh rekan pelayanannya yang tak lain adalah istrinya yang ia cintai, dan masih ditambah lagi anak yang masih kecil & masih bayi yang ia tidak tahu bagaimana harus merawat mereka.

Dari segi kacamata manusia bukanlah yang ganjil bila David Flood akhirnya menjadi pemberontak terhadap Tuhan, karena pada saat itu ia tidak mampu memahami apa yang telah terjadi dalam hidupnya, dan ia tidak mampu mengerti mengapa jalan seperti itu yang harus ia lewati. Namun bila dilihat dari segi kacamata rohani, beberapa dari kita akan sependapat bahwa David Flood tampak gagal dalam memahami rancangan & pikiran Tuhan yang dibentangkan atas hidupnya (tanpa bermaksud bersikap sinis & menyalahkan).


Namun lihatlah kenyataannya, walaupun David Flood berusaha untuk menjauh dari Tuhan dan bahkan sangat membenciNya, Tuhan dengan kasihNya yang “tak mampu diselami” oleh manusia berkenan menunjukan kepada David Flood bahwa apa yang ia kerjakan yang tampaknya sia-sia -tidaklah sia-sia, bahkan telah menjadi berkat besar bagi banyak orang yang itu diluar jangkauan pikirannya. Disini saya mendapatkan sebuah pengertian, bahwa Tuhan memberkati hasil jerih payah (berupa anak kecil) David & Svea, walaupun seakan-akan David sendiri merasa tidak ada hasil yang ia peroleh dari pelayanannya yang penuh tantangan itu. Bahkan berkat Tuhan tidak pudar sekalipun David kecewa bahkan memberontak kepadaNya, hal itu terbukti bahwa anak kecil tersebut telah menjadi berkat besar bagi bangsanya. Dan syukur yang teramat besar kepada Tuhan, bahwasannya Ia dengan kasihNya yang besar menanti David Flood menjelang ajalnya untuk datang kembali padaNya, bahkan Tuhan juga memberikan kesempatan kepada David Flood untuk mendengar kabar bahwa benih yang sangat kecil yang ia tabur yang seakan-akan bagi dia itu mustahil untuk tumbuh dan berbuah telah menjadi bergitu banyak berbuah bagi Kerajaan Tuhan. Saya pribadi percaya itu adalah sebagai salah satu bentuk cara Tuhan menghargai jerih payah hamba-hambaNya. Disini saya juga mendapat pengertian bahwa Tuhan sangat memahami dan mengerti keadaan David Flood melebihi siapapun termasuk orang-orang yang sinis yang mengatakan bahwa ia gagal dan tidak berkompeten dalam pelayanan.

Memang ada orang-orang yang dalam mengemban panggilan Tuhan sampai kehilangan banyak hal dan mengalami banyak tragedi namun ia tetap setia sampai garis akhir, dan ada pula yang karena kurang bisa memahami maksud & rancangan Tuhan lalu menjadi kehilangan arah, putus asa, kekecewaan dan bahkan pemberontakan. Namun biarlah yang menjadi penilai mereka hanyalah Tuhan yang sebagai Tuan mereka, sebab Tuhanlah yang dapat menilai dengan benar, bijaksana dan secara utuh bahkan sampai ke kedalaman hati manusia. Dan untuk kita yang hidup pada zaman ini, biarlah kisah-kisah mereka (orang-orang beriman) para pendahulu kita baik yang berhasil & jatuh tidak dijadikan sebagai wahana sanjungan maupun kritikan, namun hendaklah itu dijadikan sebagai sebuah pelajaran & wawasan yang berharga dalam kita mengemban memikul salib di zaman yang menjelang kedatanganNya ini. Biarlah ayat Firman Tuhan berikut ini memberikan motivasi bagi kita:

Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya. (Mazmur 126 : 5-6)

 


 

 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama