Apapun agama mbak Rara
dan panggilan terhadap dirinya sebagai pawang hujan, aksi mbak Rara sejatinya
memperlihatkan kedekatan pribadi dengan Yang Mahakuasa sekaligus persahabatan
dengan alam dan membuka mata saya dan terutama mereka yang selalu melihat aksi
mbak Rara sebagai hal yang berlawanan dengan ajaran agama bahwa untuk sebuah
kebaikan bagi banyak orang doanya didengarkan oleh Tuhan. Bahwa kemudian ada
ritual dengan beberapa perlengkapan itu adalah instrumen untuk mengungkapkan
kedekatan pribadi dengan Yang Mahakuasa termasuk instrumen mengungkapkan iman
ataupun keyakinannya.
Maka saya sendiri
melihat sosok mbak Rara lebih sebagai seorang sahabat hujan. Hal ini
mengingatkan saya pada persahabatan Santo Fransiskus dari Asisi dengan makhluk
ciptaan lainnya. Santo Fransiskus memanggil mereka sebagai sahabat bulan,
sahabat matahari, sahabat harimau dan lain sebagainya walau tanpa ada ritual
seperti yang dilakukan oleh mbak Rara.
Meskipun kemudian
dengan ritual yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama tertentu, saya
masih berpikiran positif dengan tetap melihat pada niat baik dan tujuan dari
aksi mbak Rara tersebut yaitu untuk kebaikan bersama, maka ritual yang
dilakukan adalah sebagai ungkapan iman, keyakinan dan kepercayaan pribadi mbak
Rara pada Yang Transenden seperti yang dikatakan sendiri oleh mbak Rara bahwa
ia juga berdoa dengan tetap mengandalkan kuat kuasa Yang Transenden, memohon
kemurahan hati-Nya agar pelaksanaan Moto GP di Mandalika bisa terlaksana.
Saya tetap memiliki
keyakinan bahwa hujan kemudian berhenti, itu karena doa dan permohonan seorang
mbak Rara yang diungkapkan dalam ritual itu didengar dan dikabulkan oleh Yang
Mahakuasa. Tuhan juga mendengarkan harapan para penonton yang telah hadir di
sekitar stadion pelaksanaan Moto GP Mandalika 2022. Menjadi berlawanan dengan
agama, jika dalam aksinya itu mbak Rara mengancam-ancam Tuhan; “Tuhan jika
Engkau tidak menghentikan hujan, penonton yang hadir di sini pasti tidak akan
menyembah-Mu lagi”. Masih ingat khan sepenggal doa mengancam Tuhan kala itu
yang kemudian dibela sebagai puisi jeritan hati?
Kita jangan lupa bahwa
sebelum masuknya agama-agama di Indonesia, masyarakat adat masih sangat kuat
dengan kepercayaan pada kekuatan di luar kuasa manusia yang diberi nama entah
kekuatan gaib, yang transenden. Bahkan karena kepercayaan yang kuat itu mereka
justru menjadi sangat dekat dengan kayu, batu, pohon, hutan, tanah dan air.
Kepercayaan yang kemudian membawa persahabatan dengan lingkungan hidup.
Maka sebagai orang
beragama kita juga perlu bijak dan arif dalam melihat dan mengakui kenyataan ini.
Jika menghakimi mbak Rara atas nama agama, mengapa diam dan bungkam bahkan
membela ketika manusia beragama menjadi serigala bagi sesamanya yang lain?
Mengapa diam ketika hutan dirusak, tanah dirampas dan air dirusak oleh
keserakahan kaum pemodal? Jika memang mengatakan mbak Rara menyalahi kehendak
Allah, mengapa mereka yang memfitnah agama lain justru dianggap sebagai pembela
agama? Apakah fitnah itu adalah kehendak Allah?
Kehadiran mbak Rara di
Mandalika tidak hanya mengharumkan nama bangsa Indonesia, tidak hanya memuaskan
harapan para penonton, tidak hanya membangkitkan kearifan lokal sebagai
kekayaan bangsa dan tentunya menjadi daya pikat pariwisata Indonesia namun juga
menguak wajah asli oknum kaum beragama yang sok suci namun mulutnya menghakimi,
memfitnah, menyebarkan kebencian, menjelekan agama orang lain serta
memprovokasi dan bersukacita ketika melihat bangsa ini porak poranda oleh
karena ulah laku mereka yang sejatinya jauh dari Allah.
Kita mudah menghakimi
orang lain karena selalu melihat perilaku dan tindakan orang lain seperti yang
dilakukan oleh mbak Rara selalu dan melulu dari keyakinan dan kepercayaan serta
agama kita pribadi. Kita selalu menjadikan ajaran agama kita sendiri untuk
menilai orang lain tanpa pernah mau mengetahui motivasi serta tujuan dari
tindakan itu sendiri. Jika kita mau sedikit lebih rendah hati dengan menjadikan
ajaran agama yang kita imani untuk bisa mengetahui motivasi dan tujuan dari
tindakan yang dilakukan oleh mbak Rara maka kita tidak akan pernah
menghakiminya.
Dalam wawancara dengan
Deddy Corbuzier pada Deddy Corbuzier Podcasta, 24 Maret 2022, mbak Rara
menjelaskan motivasinya melakukan aksi tersebut karena ikhlas melayani yang
didahului dengan doa pada Tuhan; “Tuhan, saya ingin membantu agar Indonesia
tidak malu dan mendengarkan harapan penonton.” Kelompok yang menghakimi Rara,
kita tahu bahwa mereka memang berharap agar pelakasanaan moto GP Mandalika
tidak terlaksana karena hujan. Dengan demikian ada celah untuk mempersalahkan
dan mempermalukan pemerintah. Maka tepat doa seorang Rara.
Tidak hanya itu dalam
doanya, mbak Rara meminta kepada Tuhan agar ia dimampukan untuk mengumpulkan
energi yang baik, termasuk mengembangkan karunian yang diberikan oleh Tuhan.
Maka aksi mbak Rara dapat dilihat sebagai ungkapan syukur atas karunia yang
diberikan oleh Tuhan yang bisa digunakan untuk kebaikan banyak orang dengan
tetap mengandalkan Tuhan. Kedekatan dengan Tuhan itu kemudian ditunjukan oleh
mbak Rara dalam kedekatannya dengan alam yang disimbolkan dengan tidak memakai
sepatu maupun sandal agar menyatu dengan alam.
Dari alasan, tujuan
serta motivasi mbak Rara ini menjadi jelas bahwa Allah selalu diandalkan dalam
setiap aktivitasnya yang didahului dengan doa dan meditasi serta tujuannya
adalah untuk kebaikan bersama. Bahwa ada beberapa hal yang digunakan itu adalah
sarana untuk mengungkapkan doa dan harapan. Di beberapa agama juga menggunakan
sarana untuk memberitahukan dan memanggil umatnya bahwa sekarang sudah mulai
jam doa dengan membunyikan lonceng ataupun bedug.
Kita hanya bisa
mengetahui salah benarnya tindakan seseorang bukan semata dari pandangan agama
yang kita yakini tetapi juga perlu mengetahui motivasi dan tujuan dari tindakan
itu. Jika hanya menggunakan kacamata agama semata maka kita pada akhirnya akan
menjadi penonton yang menyoraki kegagalan dan memfitnah keberhasilan. Dan itu
yang terjadi dengan aksi mbak Rara yang mampu membuka wajah asli oknum kaum
beragama.
“Kearifan lokal
dipahami sebagai sistem pengetahuan, norma, adat dan etika sebagai way of life
atau sebagai sistem pengetahuan lokal yang menjadi nilai-nilai solidaritas,
integrasi dan kohesi yang bersifat konstruktif dalam membangun kehidupan
masyarakat, komunitas, ekologi dan keharmonisan.” (Nababan; bdk. Dendi Sutarto,
Kearifan Budaya Lokal Dalam Pegutan Tradisi Malemang).