Skandal perdagangan anak berkedok adopsi: ‘Saya diculik dan dijual'

Skandal perdagangan anak berkedok adopsi: ‘Saya diculik dan dijual'



BBC News Indonesia melakukan penelusuran di berbagai kota di Indonesia dan di Belanda, menyibak praktik adopsi ilegal yang terjadi pada 1970-an hingga 1980-an. Oleh pemerintah Belanda, praktik proses adopsi anak dari Indonesia ke Belanda ini disebut "pelanggaran serius".


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk Numbei)Indonesia, empat dekade lalu. Berbagai kasus adopsi anak yang melibatkan sejumlah oknum terkuak. Oknum-oknum ini beroperasi di panti asuhan dan klinik bersalin di beragam daerah, termasuk Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung.

Dalam sebuah kasus, seorang bidan ditangkap pihak berwenang pada awal 1980-an, setelah aparat menemukan 18 bayi di lotengnya. Anak-anak itu sedianya akan diadopsi ke sejumlah negara.

Temuan yang dijuluki "peternakan bayi" itu, disebut sebagai bukti perdagangan anak dengan berkedok adopsi.

Dalam kasus lain, sejumlah anak diculik dari keluarganya di berbagai daerah, lalu dijual melalui perantara. Setelah itu, mereka ditampung panti asuhan di Jakarta.

Anak-anak itu kemudian diadopsi oleh pasangan Belanda, sebagian besar dengan dokumen palsu.

Penculikan dan pemalsuan dokumen adopsi itu, dialami oleh Yanien Veenendaal.

Yanien Veenendaal mengaku diculik pada 1980.


Kala usianya masih 10 tahun, Yanien Veenendaal diambil paksa dari keluarganya di Semarang, Jawa Tengah.

Setelah berpindah-pindah tempat, Yanien berakhir di Yayasan Kasih Bunda yang berlokasi di Jakarta, berjarak sekitar 440km dari kampung halamannya di Semarang.

Ia kemudian diadopsi ke Belanda, dengan dokumen palsu.

Yanien menunjukkan surat penyerahan dirinya untuk diadopsi. Nama, tanggal lahir dan nama ibu yang tertera dalam surat penyerahan ini adalah palsu.


Sejak saat itu, identitasnya diganti. Mulai dari nama, usia dan tanggal lahir, hingga nama kedua orang tuanya.

"Saya Tridjotho Apriljani, tetapi untuk adopsi, nama [saya] Murni Yani. Identitas saya semua harus hilang, nama saya harus hilang, nama orang tua harus hilang, umur saya harus hilang."

"Sampai sekarang, untuk saya, Tridjotho Apriljani masih di Indonesia, Murni Yani itu anak lain, tapi saya juga dijual untuk adopsi… Maaf," tutur Yanien, dengan suara tercekat.

Dia tak kuasa menahan tangis ketika menceritakan pengalaman tak mengenakkan yang ia alami.

Yanien menunjukkan foto masa kecilnya yang diambil sebelum diadopsi ke Belanda.


Awalnya, Yanien tak menyadari apa yang dia alami adalah penculikan. Baru ketika usianya beranjak dewasa, ia menyadari dirinya menjadi korban dari perdagangan anak.

"Ini tentang penculikan. Ini tentang anak yang diculik. Anak yang tak punya pilihan. Ini adalah pilihan dari orang dewasa yang menjual anak itu demi uang. Ini tentang uang," tegas Yanien.

Penculikan dan pemalsuan dokumen seperti yang dialami Yanien, serta keberadaan apa yang disebut "peternakan bayi", menjadi temuan penyelidikan komite investigasi antar negara di Belanda yang dirilis tahun lalu.

Hasil penyelidikan itu mengungkap telah terjadi "pelanggaran serius" dalam praktik adopsi anak ke Belanda dari berbagai negara, termasuk Indonesia, Sri Lanka, Bangladesh, Kolombia, dan Brasil.

Yanien adalah salah satu dari lebih 3.000 anak Indonesia yang diadopsi ke Belanda sebelum 1984, ketika pemerintah Indonesia menutup rapat adopsi ke luar negeri karena skandal yang kerap terjadi dalam pengadopsian anak-anak tersebut.

 


Sebagian besar anak-anak itu diadopsi secara ilegal. Semua dokumen mereka dipalsukan, mulai dari akta kelahiran, dokumen adopsi, identitas orang tua kandung, hingga alamat mereka.

Pemalsuan dokumen ini membuat banyak dari mereka yang diadopsi ke Belanda, harus menempuh perjalanan berliku untuk menemukan orang tua kandungnya di Indonesia, seperti yang dialami Widya Astuti Boerma.

BBC News Indonesia mengikuti perjalanan Widya menelusuri asal-usulnya dari kota ke kota di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, hingga ke Lampung di Sumatra, setahun setelah utas Twitter tentang pencarian ibu kandungnya viral di dunia maya Indonesia.

Di Indonesia, Widya bertemu dengan dua perempuan yang kehilangan anak perempuan mereka pada 1970-an. Masing-masing dari mereka, menduga putri yang hilang itu adalah Widya.

Mata Siti Juleha berbinar bahagia ketika bertemu pertama kali dengan Widya, yang ia duga adalah putrinya yang hilang empat dekade lalu.

"Dibandingkan dengan pertemuan dengan keluarga sebelumnya, bedanya seperti bumi dan langit. Saya langsung merasa hampir menjadi bagian dari keluarga. Tidak masalah DNA kami cocok atau tidak," ujar Widya.

Apakah pertemuan itu menjadi akhir pencarian Widya?

Widya menempuh jalur darat menggunakan mobil dari kota ke kota di Jawa, menelusuri asal-usulnya.


Di Indonesia pula, Widya bertemu dengan mantan perawat di sebuah panti asuhan di Pasuruan, Jawa Timur, yang menguak kisah masa lalu yang selama ini tak dinyana oleh Widya.

Apa yang dibeberkan perempuan itu?

Mantan perawat di sebuah panti asuhan di Pasuruan, Jawa Timur, mengungkap informasi yang selama ini tidak diketahui oleh Widya.


Sementara di Belanda, BBC News Indonesia bertemu dengan Jan dan Edith Boerma, ayah dan ibu angkat Widya, yang merasa diperdaya dengan banyaknya pelanggaran dalam proses adopsi putrinya, yang tak mereka sadari sebelumnya.

Ayah dan ibu angkat Widya, Jan (kiri) dan Edith Boerma (kanan) merasa diperdaya dengan praktik adopsi ilegal di masa lalu.


Joop dan Karin Michel, orang tua angkat Herlina Buitenbos membeberkan hal serupa.

Pemalsuan dokumen adopsi, membuat Herlina merasa menjadi korban dari praktik perdagangan anak.

"Jika nama dan alamat yang tertera adalah benar, akan sangat mudah menemukan keluarga saya. Tapi ternyata tidak," tutur Herlina.

Herlina Buitenbos (kiri) bersama ibu dan ayah angkanya, Joop dan Karin Michel.


Pemalsuan dokumen adopsi tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga negara-negara lain seperti Sri Lanka.

Widya Astuti Boerma menempuh perjalanan sejauh 11.000 km dari Belanda demi menemukan ibu kandungnya di Indonesia


BBC News Indonesia bertemu dengan Dilani Butink, yang diadopsi dari Sri Lanka ke Belanda pada 1992.

Dilani Butink diadopsi dari Sri Lanka ketika berusia dua minggu, pada 1992.


Pada 2018, ia mengajukan gugatan terhadap pemerintah Belanda untuk bertanggung jawab atas adopsi ilegal yang terjadi padanya.

Sidang banding kasus hukumnya, kini tengah berlangsung di Den Haag, Belanda.

Langkah hukum yang dilakukan Dilani, kini sedang dijajaki Dewi Deijle, pengacara Belanda yang sama seperti Yanien dan Widya, diadopsi dari yayasan yang sama di Indonesia.

Dewi Deijle, yang diadopsi dari Indonesia pada 1980 berniat mengikuti langkah Dilani Butink menggugat pemerintah Belanda


BBC News Indonesia menelisik lebih jauh jaringan adopsi ilegal di Belanda, dengan menelusuri organisasi-organisasi yang terlibat dalam adopsi anak di masa lalu.

Salah satunya, Stichting Kind en Toekomst, yang memproses adopsi Herlina Buitenbos dari Indonesia dan Dilani Butink dari Sri Lanka.

Juga, bertemu dengan Zef Hendricks yang mengepalai asosiasi organisasi adopsi antar negara di Belanda di awal 1980-an, untuk mengonfrontir sejumlah tudingan.

Zef Hendricks menjadi kepala asosiasi organisasi adopsi antar negara di Belanda pada awal 1980-an.

 

Zef Hendricks menjadi kepala asosiasi organisasi adopsi antar negara di Belanda pada awal 1980-an.

Penelusuran tentang adopsi ilegal di masa lalu, yang melibatkan pemalsuan dokumen dan penculikan anak ini, dikemas dalam seri siniar terbaru produksi BBC Indonesia.


***

  • Ayomi Amindoni
  • Wartawan BBC News Indonesia


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama