1. Kartini tidak
hanya menulis surat tapi juga menuliskan esai dan artikel lainnya
Salah satu yang cukup diakui adalah tulisan esai
dengan tajuk Handschrift Japara (Tulisan Tangan Jepara). Tulisan
tersebut dibuat Kartini sebagai pengantar dalam sebuah Pameran Nasional di Den
Haag, Belanda (1898), tulisan itu menulis tentang proses pembuatan batik.
Tulisan ini mendapat perhatian dari masyarakat Belanda dan kemudian dimuat
sebagai pedoman tentang batik dalam buku De Batikunst in Nederlandsch en
hare Geschiedenis (1899). Ada beberapa karya tulis lainnya yang juga
diperbincangkan, namun sayang sekali sampai hari ini belum pernah bisa
dibuktikan keotentikannya.
2. Kartini
menuliskan gagasan, ide, serta berbagai pemikirannya melalui surat menyurat
pada lebih dari 10 orang belanda sepanjang tahun 1899-1902
Teman korespondensi Kartini jumlahnya tidak sedikit
dan menunjukkan betapa produktifnya Kartini. Para sahabat pena Kartini itu dari
kelompok sosialis, feminis, maupun para tokoh politik. Beberapa nama yang
tercatat dan sering disebut adalah Mevrouw Ovink-Soer – seorang sosialis dan
feminis dan istri dari Asisten Residen NEI yang menulis untuk majalah wanita
Belanda, De Hollandsche Lelie, lalu ada seorang feminis radikal Belanda,
Estelle H. Zeehandelaar (Stella), kemudian J. H. Abendanon, Direktur
Pendidikan, Industri, dan Agama di Jawa, serta Rosita Abendanon-Mandri (istri
Abendanon).
3. Kartini
menuliskan berbagai gagasan melalui suratnya dalam usia 20an, dengan cara yang
luar biasa “radikal” pada masa itu.
Hal ini terutama jika dilihat bahwa Kartini adalah kategori perempuan Jawa yang dibesarkan dalam tradisi feodal yang sangat ketat. Gagasannya tentang persamaan hak perempuan, tentang pendidikan, tentang budaya Jawa, dan juga agama, menjadi inti dari berbagai tulisan Kartini. Sehingga tidak aneh ketika kemudian 106 surat yang dikumpulkan oleh J.H. Abendanon untuk dijadikan buku bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911), mendapatkan sambutan dari berbagai pihak di Belanda hingga berbagai kota Eropa lainnya.
4. Frasa yang digunakan dalam bahasa Belanda yang digunakan oleh Kartini dalam
menulis surat menunjukkan kemampuan bahasanya yang luar biasa
Kartini mampu secara tepat menggambarkan bagaimana
situasi yang terjadi di tanah Jawa, baik dari sisi sosial dan politik.
Pembicaraan atas surat Kartini yang dibukukan dalam bahasa Belanda ini kemudian
membuat penerbit London, Duckworth & Co, menerbitkannya dalam bahasa
Inggris. Judul bukunya adalah Letters of Javanese Princess (by Raden
Adjeng Kartini). Buku ini pun banyak mendapatkan berbagai ulasan, termasuk ada
dua penulis artikel jurnal yang mengulasnya dengan sangat cerdas setelah 40
tahun lebih diterbitkan. Kedua penulis itu yakni; Robert Van Niel dalam jurnal
The Journal of Asian Studies, Vol. 24, No. 3 (May, 1965), pp. 530-531. Serta
Wittermans, E. P. (1966) dalam jurnalAmerican Anthropologist, 68(1), 281–283.
5. Memahami
tulisan Kartini memberikan gambaran tentang bagaimana ide dan gagasan Kartini
tentang kebangsaan, keberagaman, dan persamaan sebagai cita-cita yang harus
diperjuangkan
Meski kita juga tahu buku yang diterbitkan Abendanon
tidak seluruhnya menampilkan surat-surat Kartini, namun tidak begitu saja
memuat tulisan Kartini apa adanya. Sudah ada proses seleksi dan editing demi
berbagai kepentingan Abendanon. Termasuk ketidak berhasilan Abendanon meminta
ke 25 surat Kartini yang ada pada Stella. Stella hanya menyerahkan 11 surat
Kartini pada Abendanon. Demikian juga dalam karya buku yang berjudul “Habis
Gelap Terbitlah Terang” versi Armjn Pane yang diterbitkan tahun 1938, hanya
menyertakan 87 surat Kartini. Pada proses seleksi, editing dan alih bahasa
inilah, tentu kita memahami tidak semua gagasan itu bisa tersampaikan dengan
utuh.
Pada akhirnya membaca berbagai tulisan Kartini makin
membuka keyakinan kita bahwa Kartini adalah penulis yang hasil tulisannya
mengalir jauh hingga kini. Ini mungkin kata yang tepat untuk Kartini: seorang
manusia yang dengan sangat kuat dan indahnya menuliskan segara rasa, ide,
gagasan, dan perjuangannya.
Kartini, perempuan penulis yang mencatatkan
sejarahnya ketika ia menuliskan segala pikiran dan gagasannya. Ini juga yang
harus dilakukan terus oleh perempuan, menuliskan segala ide dan gagasan sebagai
bagian dan perjuangan dan sumbangan untuk perubahan.
(Tulisan pernah
dimuat di Konde 21 April 2021)