Rusia menarik mundur pasukannya
dari bagian utara Ukraina pada awal April, namun gempuran artileri dan serangan
granat masih berlanjut di Senkivka. Sebelum invasi Rusia berlangsung, desa itu
dihuni lebih dari 200 orang. Kini hanya ada segelintir orang yang masih
bertahan.
Rumah Nina Malenok
berada di pinggir jalan yang dilalui pasukan Rusia ketikas melancarkan invasi
menuju Kota Chernihiv dan Ibu Kota Kyiv.
Saksi bisu kejadian itu
berada di halaman rumah Nina: ekor sebuah roket yang ditembakkan pada 24
Februari dini hari—tatkala perang resmi dimulai.
"Saya mendengarnya
(roket) mendarat di halaman saya. Ada nyala api dan asap di mana-mana. Lampu
saya mati total. Saya melompat dari ranjang dan keluar dari rumah," kisah
Nina.
Beberapa hari
sesudahnya, Nina mendengar banyak bunyi-bunyian saat dia bersembunyi di ruang
bawah tanah. Ada suara sejumlah pesawat, berbagai kendaraan berat, dan peluit
yang kerap ditiup.
Pada 8 Maret, beberapa
wartawan televisi Rusia datang ke rumah Nina dengan didampingi sejumlah tentara
Rusia.
"Mereka merekam
segala sesuatu di sini, semua selongsong artileri dan lainnya. Mereka
mengatakan kepada saya Ukraina menyerang negaranya sendiri. Mereka kemudian
mengirim nomor [yang tertera] pada roket kepada seseorang di Rusia, dan mereka
langsung menerima respons bahwa [roket] itu adalah milik mereka [Rusia]."
© BBC |
Banyak roket-roket
serupa tersebar di berbagai penjuru Desa Senkivka. Saat melihat foto-foto
berbagai roket tersebut, para pakar mengatakan kepada BBC bahwa senjata itu
bisa mengangkut bom tandan yang dilarang di sejumlah negara lantaran dampak
kerusakannya.
Baik Rusia maupun
Ukraina saling menuduh satu sama lain tentang siapa yang melesatkannya.
Bahkan ketika Rusia
menarik mundur pasukan, Nina tidak merasa aman.
"Menakutkan hidup
seperti ini, namun saya terbiasa dengan rumah saya. Ke mana saya akan pergi? Saya
bisa mendengar suara gempuran. Saya bisa memperlihatkan pos pemeriksaan Rusia
dari halaman saya," ungkapnya.
Rumah Nina dan rumah
warga lainnya di Desa Senkivka juga terlihat dari wilayah Rusia. Pasukan Rusia
bisa melihat apa yang mereka tembak.
Bagi Lidiya Bilousova,
ini adalah kali kedua dalam hidupnya dia menyaksikan tank di depan rumahnya.
© BBC |
Perempuan kelahiran
1930 itu dapat dengan jelas mengingat Perang Dunia II dan para tentara Jerman
yang masuk ke desanya.
"Kami sudah
diperingatkan oleh serdadu kami yang mundur bahwa mereka akan datang. Kami
lantas bersembunyi di parit-parit berbekal roti kering di tas kain. Pada fajar,
mereka sudah berada di jalan desa dengan kuda-kuda dan mesin-mesin, melintasi
pekarangan kami dengan senjata mesin. Tapi tiada gempuran artileri
besar-besaran seperti sekarang.
"Dulu saya bisa
kabur. Sekarang saya sudah tua, saya tidak lagi bisa berlari," kata
Lidiya.
Dia menambahkan,
"Ini yang bisa saya beritahu, tiada hal bagus muncul dari perang. Setelah
perang terakhir [Perang Dunia II] apa yang ditinggalkan buat kami?"
Gempuran artileri
membuat takut Lidiya, namun tidak mau meninggalkan rumah yang dia huni hampir
seumur hidupnya.
© BBC |
Sebelum Rusia
menginvasi Krimea pada 2014, perbatasan tiga negara dibuka secara berkala dan
festival persatuan akan digelar di titik tempat Ukraina, Belarus, dan Rusia
bertemu.
Di sana terdapat sebuah
monumen yang didedikasikan untuk persahabatan mereka. Nama monumennya,
"Tiga Saudari Perempuan".
"Festival tersebut
sungguh indah. Kami, orang Rusia, dan orang Belarus akan merayakan bersama.
Orang-orang dari berbagai daerah, tamu-tamu penting berdatangan," papar
Lidiya.
Mendiang suami Lidiya
adalah orang Belarus.
"Ketiga negara
telah bersahabat selama bertahun-tahun. Kami saling mengunjungi, kawin-mawin.
Kini selesai sudah."
Sanak saudara dan
sahabat yang tinggal di ketiga negara kini telah terpecah belah, baik dalam
pikiran maupun secara jarak.
Setelah 2014, warga di
ketiga negara sulit untuk saling melintasi perbatasan. Kini, hal itu mustahil.
© BBC |
Mykhaylo Dudko punya
tiga saudara kandung dan sejumlah keponakan yang menetap di Rusia. Dia tidak
bisa menemui mereka selama bertahun-tahun. Sekarang dia tidak bisa memahami
mereka.
"Saudara kandung
saya berkata bahwa kami yang memulai perang. Namun kami tidak punya niat
semacam itu. Justru Rusia yang menginvasi kami. Saya ingin keluarga saya
menggunakan otak mereka, melihat situasi secara independen," kata Dudko.
Nina Malenok mengaku
berhenti bicara dengan abangnya yang tinggal di Belarus.
"Dia berkata, Amerika yang menyerangmu dan kamu menyalahkan Rusia. Dia hanya berjarak lima mil dari perbatasan dan dia tidak percaya atas apa yang benar-benar terjadi. Saya ingin mengenyahkan dia dari kehidupan saya karena itu." *** BBC News Indonesia
'