Desain arsitektur karya Romo Mangun di Sendangsono. (Brigitta Adelia/Mojok.co) |
***
Gua Maria Sendangsono,
letaknya di Semangung,
Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Kompleks peziarahan
yang dikelola oleh Paroki Santa Maria Lourdes Promasan ini tidak jauh dari
Jalan Raya Nanggulan-Mendut, sekitar 5,3 kilometer atau 15 menit perjalanan.
Meskipun demikian, jalan kecil yang dilewati memiliki kontur naik-turun terjal
lantaran berada di Pegunungan Menoreh. Begitu pun dengan beberapa titik jalan
terlihat rusak namun masih bisa dilewati kendaraan roda empat.
Tempat parkiran Gua
Maria Sendangsono yang disebut sebagai Lourdes-nya Indonesia. Lourdes sendiri
merupakan tempat penampakan Bunda Maria di Perancis yang kemudian jadi tempat
ziarah umat Katolik dari berbagai penjuru dunia.
Di tempat parkir,
terlihat deretan kendaraan dengan beragam plat nomor. “Jika menjelang
Paskah pengunjung bisa dua sampai tiga kali lipat, apalagi weekend seperti
ini,” ungkap penjaga parkir yang enggan disebutkan namanya.
Kira-kira, luas
kompleks peziarahan ini mencapai 1 hektar. Untuk sampai ke Gua Maria
Sendangsono, peziarah masih harus melewati jalan menanjak, sekitar 100 meter,
dengan berjalan kaki. Di kiri-kanan, tampak kios-kios penjual cendera mata dan
barang rohani, seperti rosario atau salib misalnya. Terlihat pula para pedagang
sibuk melayani peziarah yang mampir untuk membeli lilin doa.
Kios-kios di kawasan tempat ziarah Gua Maria Sendangsono. (Brigitta Adelia/Mojok.co) |
Sendang Semangung dan Dewi Lantamsari
Konon katanya, sebelum
menjadi tempat doa umat Katolik, masyarakat sekitar akrab dengan sebutan
Sendang Semangung. Dahulu, Kalibawang merupakan daerah kekurangan air.
Masyarakat sulit menggali sumur. Karena itu mereka menggunakan mata air untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sendang Semangung
dianggap keramat. Diyakini oleh masyarakat jika dihuni oleh roh-roh gaib. Salah
satunya, Dawus Tadikrama, guru ilmu gaib yang kerap datang ke sendang bersama
murid-muridnya. Ketika ada yang butuh ilmu, ia akan mendudukkan murid itu di
atas selembar mori putih dan menghadap sesajen seperti bunga, kemenyan, dan
makanan.
Saat itu, sedikitnya
setahun sekali diadakan nazaran oleh masyarakat sekitar. Gunanya
untuk menghormati dan memuja roh di Sendang Semangung. Andai tidak dilakukan,
maka masyarakat sekitar mendapat gangguan gaib. Sayang, tradisi itu malah
diselewengkan menjadi ajang judi dan pemuasan nafsu seksual.
Dipercayai pula sosok
penunggu Sendang Semangung bernama Dewi Lantamsari dan putra semata wayangnya,
Den Baguse Samijo. Ketika malam tiba, masyarakat sekitar akan datang dan
bersemedi di dekat sendang. Mereka mendaraskan permohonan pada dua penguasa gaib
itu.
Bukan itu saja, jauh
sebelum dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, Sendang Semangung adalah
peristirahatan biksu (pendeta Budha). “Saat itu belum ada Jembatan Klangon.
Sendang ini letaknya di tengah Borobudur dan Bara Kidul (sekarang dikenal
dengan Boro) yang merupakan biara biksu,” ungkap Yohanes Setyanto (52),
pengelola Gua Maria Sendangsono, saat ditemui di sekretariat.
Ketika berjalan kaki,
para biksu melewati Pegunungan Menoreh. Perjalanan lama dan menantang matahari,
membuat mereka menjadikan Sendang Semangung tempat peristirahatan untuk minum
air.
Barnabas Sarikrama yang sakit misterius dan Romo Van
Lith
Penggemar ilmu gaib
lainnya adalah Sariman Soerawirja. Ia pergi dan bertandang dari satu guru ke
guru lainnya untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan supranatural.
“Suatu hari, ketika anak pertamanya lahir, laki-laki itu sakit misterius,”
cerita Yanto, biasa dipanggil. Tungkai kakinya terdapat lubang yang
mengeluarkan bau tidak sedap. Akibatnya, Sariman harus ngesot untuk
berpindah tempat.
Penyakitnya membuat
Sariman tidur di emperan rumah. Sebagai penganut kejawen, ia berupaya semedi agar
segera sembuh, salah satunya di Sendang Semangung. Dalam keheningan, ia
mendapatkan wangsit menyanga ngalor-ngetan lan kowe bakal oleh
loro-loroning atunggal. “Akhirnya, pada tengah malam, Sariman mengikuti
perintah itu dengan berjalan ngesot ke arah Muntilan dan bertemu Romo
Van Lith, SJ,” ungkap Yanto.
Ketika melihat Sariman,
tergeraklah hati Romo Van Lith. Ia merawat dengan telaten. Dibersihkan lukanya,
dioleskan salep, dan dibalut perban bersih. Ia juga memberi salep dengan perban
baru dan meminta laki-laki datang seminggu sekali.
Bersinggungan dengan Katolik,
membuat Sariman ingin belajar lebih dalam. Oleh Romo Van Lith ia diajari Doa Bapa Kami (Rama Kawula). Dengan telaten juga, Romo Van Lith,
mengajarkan agama Katolik pada Sariman yang tidak bisa baca-tulis. Saat
sakitnya sembuh, ia mendapatkan sebuah kitab suci.
“Kesembuhan Sariman
membawanya mengenalkan agama Katolik pada mertuanya yang seorang Pamong Desa Kajoran,”
cerita Yanto. Ia merasa disembuhkan oleh Doa Bapa Kami yang sering didaraskan. Ungkapan
terima kasihnya pun diwujudkan dengan menyebarkan agama Katolik pada masyarakat
sekitar sesuai yang diajarkan Romo Van Lith.
Pada hari raya
Pentakosta, 20 Mei 1904, Sariman dibaptis oleh Romo Van Lith dengan nama
pemandian Barnabas. Ia juga diberi nama Sarikrama yang berarti rakyat
jelata yang mampu menerima ajaran Kristiani. Kemudian ia dikenal dengan nama
Barnabas Sarikrama.
“Kaki saya dapat
digunakan lagi berkat kemurahan Tuhan, maka selanjutnya akan saya pergunakan
untuk karya Tuhan,” ungkap Yanto menirukan perkataan Sariman pada waktu itu.
Tanpa dibayar ia datang ke seluruh penjuru Kalibawang dengan berjalan kaki.
Kegigihannya membawa 171 orang untuk dibaptis pada 14 Desember 1904. Sejak itu,
empat desa di Kalibawang yaitu Kajoran, Semangung, Tuksongo, dan Promasan
menjadi basis umat Katolik.
Tempat wingit yang jadi tempat doa
Setelah mengobrol
dengan pengurus Gua Maria Sendangsono, saya pun diajak berkeliling dan ditemani
oleh Romo Kristoforus Rhesa Allem Pramudita Pr (31), romo Paroki Promasan. Romo
Rhesa, biasa dipanggil, menceritakan 19 tahun kemudian, ketika Romo JB
Prennthler SJ datang dari Pegunungan Tirol, Austria. Romo berkebangsaan Jerman
itu berkarya di Kalibawang dan menggagas membagi 2 wilayah, yaitu Boro sebagai
pusat ekonomi dan Promasan, yang saat itu berbentuk stasi, sebagai pusat
rohani.
Suatu hari, Sariman
bercerita tentang pembaptisan umat Katolik di Sendang Semangung. Mata air itu
berada di bawa Pohon Angsana, dikelilingi semak belukar. Romo Prennthler SJ
berpikir untuk menjadikan sebagai tempat berdoa. Ia ingin menghilangkan stigma
dari tempat wingit menjadi ruang untuk berdevosi atau berdoa maka
jadilah Gua Maria Sendangsono.
Rencana Romo Prennthler
disambut baik oleh masyarakat sekitar. Ia menelepon temannya sesama Romo Jesuit
yang bertugas di Spanyol untuk mengirimkan patung Bunda Maria Ratu Surga.
Karena tidak ada, akhirnya patung itu didatangkan dari Austria.
“Masyarakat gotong
royong membangun gua. Mereka mengumpulkan batu dan pasir bersama-sama. Pasir
diambil dari Sungai Progo. Batu diambil dari Gorolangu, Samigaluh,” ujar Romo
Rhesa. Dibentuklah menjadi gua untuk meletakkan patung Bunda Maria.
Peziarah berdoa di Gua Maria Sendangsono. (Brigitta Adelia/Mojok.co) |
Gua mengandung
filosofi. Gua berbentuk oval mengibaratkan lubang vagina, sumber kehidupan.
Lubang itu jadi tanda lahirnya manusia melalui pembaptisan.
Patung itu datang.
Setelah sebelumnya sampai ke Batavia, kemudian diturunkan di Sentolo, Wates.
Barulah dengan gerobak sapi dibawa sampai Kalibawang (Slanden). Sebanyak 30
orang turun dan menjemput Patung Bunda Maria dalam peti seberat 300 kilogram.
Mereka mengangkatnya melalui perjalanan panjang dan berbatu untuk sampai ke Gua
Maria Sendangsono dan ditakhtakan di sana.
Pada 8 Desember 1929,
dilakukan pemberkatan Gua Maria Sendangsono, bertepatan 75 tahun dogma Maria
dikandung tanpa noda. “Gua Maria Sendangsono menjadi wujud syukur perlindungan
Bunda Maria atas karya misi dan monumen 25 tahun misi Katolik di Kalibawang
sebagai gereja dengan umat Jawa,” ungkap Romo Rhesa. Pada pemberkatan ini juga,
dihadiahkan penghargaan pada Barnabas Sarikrama berupa bintang Pro Ecclesia
et Pontifice oleh Paus Pius IX.
Romo Prennthler juga
memberikan 19 lonceng Belanda yang berkumandang tiga kali, yaitu jam 6 pagi, 12
siang, dan 6 sore, sebagai ajakan umat Katolik berdoa Malaekating Allah (Angelus).
Pada lonceng tertulis Sembah Bektinipun Tanah Jawa Ugi. Ketika
berkumandang, seluruh orang menghentikan aktivitasnya dan mulai berdoa.
Sentuhan Romo Mangun di Sendangsono
Tahun 1969, dilakukan
revitalisasi Gua Maria Sendangsono. “Berada dalam lingkup Keuskupan Agung
Semarang, Mgr Soegijapranata meminta Romo YB. Mangunwijaya Pr, yang piawai
dalam seni arsitektur, untuk menata dengan konsep Rumah Jawa,” ujar Romo Rhesa.
Menurut tradisi Jawa,
rumah dibagi menjadi pelataran, rumah depan, tengah, dan belakang. Gua Maria
Sendangsono pun dibagi dalam tiga bagian yaitu pelataran (jalan masuk yang
ditandai dengan jalur jalan salib), ruang depan (tempat mengambil air suci),
dan ruang tengah (tempat bertemu Bunda Maria dan Tritunggal Maha Kudus).
Romo Mangun
kemudian membuat tanah berteras miring sebagai pelataran dengan bentuk trap
trapesium. Hal itu dilakukan agar orang dapat berdialog secara setara. Dibantu
masyarakat, ia membeli tanah-tanah yang ada di sekitar Gua Maria Sendangsono.
Di pelataran, dibangun rumah panggung sebagai ruang diskusi yang model
bangunannya mengikuti rumah di sekitarnya.
Pun dengan jalan salib
yang jadi penanda masuk ke Kompleks Gua Maria Sendangsono. Ada dua versi, yaitu
jalan salib panjang dan jalan salib pendek. Sejatinya, jalan salib
menggambarkan perjalanan dan perjuangan manusia. Sedangkan ornamen mawar di
tembok jalan salib pendek menandakan akhirnya yang bahagia.
Salah satu titik pemberhentian jalan salib di Sendangsono. (Brigitta Adelia/Mojok.co) |
Romo Mangun seorang
konseptor. Ia memiliki pengikut sebagai eksekutornya yang diambil dari
masyarakat sekitar. Jumlahnya mencapai 4000 orang. Pembangunan 26 tahun itu
baru berakhir pada 1995. Seluruh reliefnya dibuat sendiri, pun dengan batu-batu
yang disusun membentuk aneka pola. “Semua itu dilakukan agar umat Katolik tetap
hidup,” ungkapnya. Bangunan ini mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitektur
Indonesia sebagai karya seni dengan perjalanan panjang.
Berbagai macam permohonan peziarah
Setelah berkeliling,
saya menepi di dekat sendang yang kini tertutup kaca. Katanya, tidak ada
persiapan untuk paskah tahun 2022 ini.
“Dulu, setiap Jumat
Agung ada perarakan dari Padusan (perhentian pertama jalan salib panjang)
sampai ke Gua Maria Sendangsono, sekitar 1 kilometer,” ungkap Romo Rhesa, Pr.
Perarakan itu membawa patung Maria Dolorosa (Maria yang berduka cita) mulai
pukul 1 siang dan berakhir pukul 3 sore dilanjutkan misa.
Ada pula sholawatan Katolik
yang dilakukan pada minggu kedua pukul 7 malam. Pun juga novena arwah Bulan
November untuk mendoakan arwah umat Katolik di sekitar Gua Maria Sendangsono
dan ujub khusus dari para peziarah setiap pukul 3 sore. Namun, sejak Pandemi
Covid-19 kegiatan dihentikan sementara.
Sekarang, hanya ada 2
kegiatan, yaitu novena kepada Bunda Maria sebulan sekali dan misa setiap Hari
Minggu pukul 11 siang. Dalam misa, dibacakan pula permohonan para peziarah yang
diletakkan di kotak depan Gua Maria Sendangsono. “Kebanyakan permohonan
peziarah untuk kelancaran usaha, permintaan keturunan, dan jodoh,” ungkapnya.
Memang sengaja, sedikit
kegiatan keagamaan Katolik di Gua Maria Sendangsono. Hal itu lantaran memberi
kebebasan peziarah untuk devosi dan bertemu Tuhan secara Pribadi. “Bunda Maria
merengkuh segala ciptaan, baik terlihat maupun tidak, seagama ataupun tidak,
terbuka bagi semua orang untuk menemukan Tuhannya masing-masing,” tambahnya.
Romo Rhesa (biru) dan Pak Yanto (merah). (Brigitta Adelia/Mojok.co) |
Romo Rhesa ingat ketika
bertemu suami-istri yang meminta berkat bagi anak bayinya. Ternyata sudah
sepuluh tahun mereka memohon di Gua Maria Sendangsono ini. Dan anak yang dibawa
itu adalah hasil penantiannya. Pun dengan seorang laki-laki asal Sumatera yang
memilih menepi selama 1,5 tahun. Hanya sumeleh yang didapatkan
setelah tidur dan berdoa di tempat ini, sebelum pulang.
Keterbukaan Gua Maria
Sendangsono juga dirasakan oleh penggarap film. Ada dua film yang mengambil
lokasi di tempat ini yaitu bertajuk 3 Hari Untuk Selamanya yang
dibintangi Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti dan Lukas: The Journey of
an Altar Boy yang dibintangi oleh Dimas Andrean. “Bahkan pre-wedding,
sampai kunjungan lintas agama boleh dilakukan,” ungkapnya.
Ada kejadian yang
membuat miris yang pernah terjadi di tempat ini. Ada orang-orang yang mencoba
menarik pusaka dari Pohon Angsana. Namun, banyak yang akhirnya pulang dengan
tangan kosong karena kalah dengan energi positif tempat ini.
Gua Maria Sendangsono tak
pernah sepi peziarah, bahkan mencapai rekor 1.5000 orang dalam sehari
pasca-pandemi Covid-19. Bertambah ramai pada Bulan Mei dan Oktober sebagai
peringatan Bulan Maria dan saat libur Lebaran. “Nanti, saat libur Lebaran
pertama sampai ketujuh banyak yang datang untuk ziarah dan rekreasi,” ujar Romo
Rhesa. Hujan turun rintik-rintik, saya segera berpamitan. Tak lupa mengambil
botol plastik berisi air sendang dan membayar biaya sukarela. Pukul 5 sore,
perjalanan ziarah di Gua Maria Sendangsono ini selesai.
***
Artikel ini merupakan karya dari Brigitta Adelia Dewandari yang telah di publikasikan di https://mojok.co dengan judul "Gua Maria Sendangsono, Lokasi Keramat yang Jadi Tempat Ziarah Umat Katolik" Reporter: Briggita Adelia dan Editor: Agung Purwandono