Tampilan layar Umat Kapela Harekain, Paroki St. Lukas Wekfau Keuskupan Atambua saat bernyanyi di Gereja St. Lukas Wekfau, Kabupaten Malaka, NTT |
Jenis Musik
@setapakrainumbei Original Vocal From Harekain People's in at the Church of St. Luke Wekfau #lagurohanikristen #katolikindonesia ♬ original sound setapakrainumbei
“Musik-gereja”
atau musica eccelsiastica adalah istilah yang digunakan oleh para
pengikut Kristus atau Gereja ketika persekutuan beriman ini menyadari
kekhasannya dalam mengekspresikan iman lewat musik terutama dalam ibadat atau
liturgi. Istilah ini mengacu pada tatanan bunyi dengan melodi tertentu tanpa
teks atau sesuai dengan bentuk teks yang mengungkapkan baik isi hati umat
beriman maupun ajaran dan iman Gereja. Musik ini dapat dihasilkan dengan
bantuan alat/instrumen atau/dan dengan suara penyanyi. Karena mengungkapkan
iman yang diajarkan dan dihayati oleh umat beriman maka musik Gereja memiliki
kekhasan dibandingkan dengan musik dari umat yang beragama lain meskipun
dipengaruhi juga oleh musik agama lain misalnya dari musik orang Yahudi. Musik
gereja pada umumnya adalah salah satu bentuk dari musik-religus atau
musik-rohani.
Yang dimaksudkan dengan
“musik-religius” (musica religiosa) atau “musik-rohani” adalah musik yang
mengungkapkan atau mengandung tema-tema rohani. Musik atau lagu rohani ini
dimiliki umat agama manapun. Bahkan ada tema musik-rohani yang umum diterima
oleh umat manapun karena bersifat universal. Baik melodi maupun teksnya
mengungkapkan pengalaman rohani yang diterima oleh orang beriman dari berbagai
agama. Ketika suatu musik/lagu rohani mengungkapkan pengalaman khusus dari umat
agama tertentu, maka ia menjadi musik/lagu yang khas misalnya lagu-rohani khas
Yahudi atau khas Hindu dan Budha atau khas Kristen dan Islam. Musik-rohani itu
jadi khas Kristiani bila mengungkapkan keyakinan iman akan Kristus Tuhan dan
Penyelamat atau akan Tritunggal Mahakudus serta pokok iman lain yang diyakini
orang Kristiani. Itulah yang kita namakan secara umum musik-gereja. Di dalam
lingkup Gereja sendiri, musik-rohani dalam arti sempit berarti segala macam
musik/lagu yang mengungkapkan pengalaman rohani khas Gereja tetapi tidak
dimaksudkan untuk digunakan dalam perayaan-perayaan liturgis.
Ada juga istilah
“musik-suci” (musica sacra) yang pernah dipakai oleh Gereja Katolik dalam arti
segala macam musik-rohani atau musik-gereja yang digubah khusus untuk ibadat
atau perayaan-perayaan liturgis. Kini istilah yang lebih populer adalah
“musik-liturgis”. Karena itu sekedar untuk membedakan musik-suci dari
musik-liturgis, menurut Gelineau (Voices and Instruments in Christian Worship:
Principles, Laws, Applications, Collegeville: The Liturgical Press, 1964)
musik-suci dalam arti tertentu mengacu pada semua macam musik yang inspirasinya
atau maksud dan tujuan serta cara membawakannya mempunyai hubungan dengan iman
Gereja. Lalu apa itu musik-liturgis dan ciri-cirinya?
Ciri-ciri Musik Liturgis
“Musik-liturgis”
(khususnya melodi yg dihasilkan oleh alat-alat musik) dan “nyanyian-liturgis”
(khususnya teks atau tindakan liturgis yang diberi melodi), dapat dilagukan
dengan suara dan bunyi alat-alat musik sebagai pengiring. Baik teks maupun
musik dengan melodinya yang secara khas mengekspresikan iman Gereja yang
dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang dilakukan Allah (karya agung
Allah yang menyelamatkan) dan tanggapan manusia beriman (syukur-pujian,
sembah-sujud, dan permohonan).
Kita menggunakan
istilah “musik-liturgis” dan bukan “musik dalam liturgi” karena dengan
“musik-liturgis” mau digarisbawahi pandangan Gereja tentang musik sebagai
bagian utuh dari perayaan liturgi dan bukan sebagai suatu unsur luar yang dicopot
dan dimasukkan ke dalam perayaan liturgis seakan-akan suatu barang asing atau
hal lain dari liturgi lalu diletakkan di tengah perayaan liturgi.
Sebagai bagian utuh
dari liturgi, musik-liturgi itu merupakan doa dan bukan sekedar suatu ekspresi
seni yang jadi bahan tontonan. Memang musik-liturgi itu mesti indah dan
memenuhi persyaratan-persyaratan seni musik/nyanyian pada umumnya, namun lebih
dari itu musik-liturgi mengungkapkan doa manusia beriman. Bahkan musik atau
nyanyian-liturgis sebagai doa mempunyai nilai tinggi. Sebab musik-liturgi
menggerakkan seluruh diri manusia yang menyanyi atau yang menggunakan alat-alat
musik (budi, perasaan-hati, mata, telinga, suara, tangan atau kaki dll).
Sekaligus demi harmoni dituntut kurban untuk meninggalkan diri sendiri dan
menyesuaikan diri dengan orang lain, dengan tempat, dengan situasi, dengan
maksud-tujuan musik/nyanyian liturgis yaitu demi Tuhan dan sesama. Ini memang
cocok dengan hakekat dari liturgi sebagai perayaan bersama yang melibatkan
banyak orang demi kepentingan umum (kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia,
bukan hanya demi diri sendiri). Oleh karena itu Gereja mewarisi pandangan bahwa
orang yang menyanyi dengan baik sebenarnya berdoa dua kali (si bene cantat bis
orat). Sekali lagi, nilai yang tinggi itu tercapai kalau ada kurban dengan
meninggalkan diri sendiri dan bersatu dengan yang lain dalam menyanyi atau
bermusik demi kepentingan bersama.
Seni Musik Liturgis
Musik-liturgis sebagai
karya seni (bukan tontonan atau pertunjukan) sebenarnya membantu kita semua
sebagai peraya untuk mengarahkan seluruh diri kepada inti misteri yang
dirayakan dalam liturgi yaitu kepada Tuhan sendiri sebagai sumber segala karya
seni. Oleh karena itu cara-cara yang mengalihkan perhatian kita kepada hal lain
atau kepada tokoh tertentu perlu diwaspadai. Bisa saja kita memilih seorang
artis sebagai pemazmur atau penyanyi solo tetapi ketika ia menjalankan tugasnya
tidak boleh ditonjolkan keartisannya, tetapi “fungsi liturgisnya”. Memberikan
aplaus kepada si pemazmur atau solist karena suaranya yang bagus lebih
merupakan bagian dari suatu acara panggung pertunjukan. Demikian juga pembawa
homili yang memilih dan membawakan lagu yang sedang populer di tengah atau di
akhir homili (karena ada kaitan dengan tema homili) yang langsung ditanggapi
oleh umat dengan tepuk tangan meriah, perlu dipertimbangkan apakah hal seperti
itu punya fungsi atau makna liturgis. Padahal ketika imam menyanyikan Prefasi
atau Kisah Institusi dalam Doa Syukur Agung dengan suara yang bagus tidak
diberi aplaus.
Pertimbangan yang sama
dapat kita pakai untuk menilai kebiasaan koor menyanyikan semua lagu selama
perayaan liturgis. Sebetulnya koor dengan dirigen yang bagus sungguh berfungsi
liturgis kalau dapat membantu semua peraya yang lain untuk menyanyi bersama dengan
lebih baik seperti atau mendekati cara koor menyanyi. Kalau dari awal sampai
akhir semua nyanyian dibawakan hanya oleh koor, meskipun semuanya sangat
mempesona, sebetulnya telah mengurangkan maknanya sebagai musik/nyanyian
liturgis. Perlu ada suatu pembagian yang lebih seimbang dalam hal ini.
Proses Menjadi Musik Liturgis
Menerima musik-liturgis
sebagai doa liturgis menuntut pula kesediaan setiap peraya atau kelompok peraya
untuk menerima musik atau nyanyian yang sudah disepakati oleh Gereja untuk
dipakai di dalam perayaan-perayaan liturgi. Musik/nyanyian yang ada di dalam
buku-buku nyanyian yang diterbitkan dengan nihil obstat dan imprimatur pimpinan
Gereja, dipandang sebagai musik-liturgis. Tentu melewati proses seleksi yang
dibuat oleh orang-orang yang punya kemampuan dalam bidangnya hingga mendapat
persetujuan dari pimpinan Gereja. Kesempatan terbuka bagi para komponis untuk
mencipta lagu-lagu bagu yang lebih sesuai dengan rasa seni musik orang
setempat, namun untuk dipakai sebagai musik/nyanyian liturgis perlu menempuh
prosedur seleksi hingga mendapat pesetujuan resmi untuk dipakai dalam perayaan
liturgi. Patut kita puji inisitip-inisitip untuk mencipta dan menemukan
lagu-lagu baru yang lebih seusai dengan budaya setempat dan kebutuhan liturgis,
misalanya dalam misa dengan “lagu-lagu alternatif”. Akan tetapi perlu kita
waspadai kecenderungan menggunakan nyanyian-nyanyian baru itu tanpa peduli pada
proses untuk “menjadi milik besama” dari Gereja, apalagi kalau yang jadi
patokan utama adalah rasa suka, tertarik, tersentuh tanpa mengindahkan
persyaratan liturgis.
Kadang terjadi bahwa
kita memilih musik/nyanyian tertentu untuk perayaan liturgi karena sudah bosan
dengan yang lama padahal yang baru itu belum tentu memenuhi persyaratan
liturgis. Ini tantangan buat kita: merasa bosan dengan musik/nyanyian liturgis
karena terus menerus menyanyikan yang sama (lama) atau merasa tidak tertarik,
tidak suka, tidak tersentuh, tidak tergerak. Kita cendrung tersentuh dengan
yang baru. Maka serta merta kita mencari dan membawakan musik/nyanyian baru
dalam liturgi, tetapi tanpa pertimbangan atau seleksi. Dengan demikian dapat
terjadi bahwa kita menggunakan musik/nyanyian yang sebenarnya tidak memenuhi
persyaratan untuk perayaan liturgis.
Jadi bukan soal utama
suka atau tidak suka, menarik atau tidak menarik, menyentuh atau tidak
menyentuh, baru atau lama tetapi apakah telah menjadi “milik bersama” dari
Gereja karena disepakati sebagai musik/nyanyian liturgis. Sebuah nyanyian atau
musik diterima sebagai “milik bersama” bukan hanya karena telah dimasukkan ke
dalam buku nyanyian resmi tetapi juga karena dilatih bersama, dinyanyikan
bersama dan dipahami serta dihayati bersama maknanya dalam perayaan.
Musik-liturgis diterima
atau diakui oleh Gereja sebagai miliknya, milik persekutuan demi kepentingan
bersama (dikenal tradisi untuk tidak menulis si komponisnya dalam buku-buku
resmi nyanyian-liturgis, tetapi nama mereka ditulis dalam catatan sejarah
penyusunan buku). Perlu ada proses menjadikan musik-liturgis itu sebagai milik
bersama. Dalam proses ini Gereja melihat betapa pelunya membuat latihan untuk
menguasai dan menghayati musik/nyanyian bersama sebagai nyanyian dari hati,
nayanyian yang mempengaruhi seluruh pribadi peraya. Jadi ada proses
meninggalkan diri sendiri (rasa dan keinginan pribadi atu kelompok khusus) lalu
menerima yang umum dan menjadikannya bagian atau milik pribadi demi kepentingan
umum. Ini sebuah proses yang tidak gampang, karena yang menjadi tantangan
adalah kecenderungan untuk mengutamakan rasa atau keinginan pribadi/kelompok
khusus. Aspek personalnya lebih nampak dari pada aspek liturgis (yang umum).
Kepentingan pribadi lebih menonjol dari pada kepentingan umum.
Untuk memenuhi
persyaratan sebagai bagian utuh dari liturgi, musik-liturgi juga mesti
berfungsi liturgis dalam arti baik teks maupun lagunya sesuai dengan unsur atau
tindak liturgis dalam keseluruhan tata perayaan liturgis. Maka kita dapati
nyanyian yang cocok untuk liturgi pembaptisan tetapi tidak sesuai untuk liturgi
pernikahan. Nyanyian-liturgis untuk Ekaristi juga mesti sesuai dengan teks
liturgi Ekaristi dan tindakan liturgis dalam unsur-unsur atau bagian-bagian
tertentu dari liturgi Ekaristi. Sebuah lagu pembuka tentu tidak cocok untuk
kesempatan seruan “kudus-kudus”, meskipun dari sudut kebenaran teks dan
keindahan lagu tak ada cacat. Dalam hal ini tempat liturgis lagu pembuka itu
tidak cocok atau nyanyian itu tidak mempunyai fungsi liturgis karena
dinyanyikan pada saat “kudus kudus”.
Memilih Musik Liturgis
Perlu diketahui juga
teks-teks liturgis mana saja yang dapat dinyanyikan (khususnya dalam liturgi
Ekaristi). Ada teks-teks baku-tetap (antara lain Tuhan Kasihanilah Kami,
Kemuliaan, Aku Percaya, Kudus-Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah). Nyanyian ini
disebutordinarium. Ada juga teks-teks yang dapat berubah atau bervarisi
rumusannya sesuai dengan perayaan pada hari bersangkutan dan disebutproprium (Antifon
Pembuka atau Lagu Pembuka untuk mengiringi perarakan masuk, Mazmur Tanggapan
untuk menanggapi Sabda Allah yang telah dimaklumkan, Alleluia-Bait Pengantar
Injil untuk menyiapkan diri mendengarkan pemakluman Injil, Antifon Komuni atau
Lagu Komuni selama atau sesudah komuni, Nyanyian Persiapan Persembahan untuk
mengiringi perarakan bahan-bahan persembahan dan Lagu Penutup untuk mengiringi
perarakan kembali). Teks-teks ini sangat kaya dan berhubungan erat dengan
tindakan liturgis, unsur-unsur liturgis, tema perayaan, masa liturgis serta
bacaan-bacaan dalam perayaan liturgi. Suatu hal yang patut dipuji adalah
kebiasan menyanyikan Mazmur Tanggapan dan Alleluia-Bait Pengantar Injil dengan
teks yang bervariasi sesuai dengan hari atau pestanya. Suatu hal yang perlu
diperhatikan adalah lagu yang sesuai dengan teks-teks antifon (Pembuka dan
Komuni) yang sebenarnya sangat kaya dan bervariasi serta biblis.
Dalam hubungan dengan
teks-teks liturgi, terutama yang harus atau boleh dinyanyikan, diharapkan agar
susunannya tepat serta mudah dan indah kalau dinyanyikan. Dalam hal ini lagu
melayani teks dan bukan sebaliknya. Baiklah kita waspadai nyanyian-nyanyian
yang mengorbankan ketepatan dan kebenaran iman demi mempertahankan suatu
melodi. Misalnya lagu Bapa Kami Filipina, demi penyesuaian dengan melodinya
diubahlah rumusan “jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”
menjadi “jadilah kehendak-Mu di bumi dan di surga”. Mengganti “seperti” dengan
“dan” sebenarnya mengubah iman kita akan surga, bahwa di surga dan di bumi
kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Padahal kita percaya bahwa kehendak Tuhan
selalu terjadi di surga sedangkan di bumi tidak selalu terjadi karena ulah
manusia yang suka melawan kehendak Tuhan, maka kita mohon agar kehendak Tuhan
terjadi di bumi seperti di surga. Kalau prinsip “melodi melayani teks”
diperhatikan, maka ketepatan dn kebenaran teks-teks liturgis juga dapat lebih
dijamin. *** katolisitas.org
Ditulis
oleh: Romo Bernardus Boli Ujan SVD (Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi
Liturgi KWI tahun 2002-2008)
Tulisan
ini pernah dimuat sebagai artikel dalam Majalah Bulanan Kristiani
INSPIRASI, Lentera Yang Membebaskan, No 24, Tahun II Agustus 2006, hlm
27-29.