Zaman itu, awal tahun 1990-an Televisi masih menjadi barang mewah dan langka di Numbei, sebuah Dusun Kecil di di ujung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak, listrik saja belum ada saat itu. Dusun Numbei, Desa Kateri, selain terpencil di kecamatan Malaka Tengah saat itu, dusun yang dikelilingi hutan suaka marga satwa kateri dan aliran sungai Mota Baen dan Benanain itu masih sangat terbatas untuk mendapatkan informasi. Akses jalan terbatas, listrik tidak ada, motor dan mobil saja jarang terdengar bisingnya di jalan.
Entah kenapa tiba-tiba saya teringat akan masa kecil yang indah di kampung Numbei, masa dimana waktu itu tontonan menjadi sesuatu yang sangat langka, televisi dan radio adalah barang mewah, dan satu-satunya sarana untuk menonton film saat itu adalah Televisi di salah satu rumah warga.
Pertanyaan ini akan muncul belakangan ini ketika
kita jadi sering melihat iklan, tepatnya sosialisasi, soal program TV digital
yang diperkenalkan pemerintah.
Ya, saat ini negara kita Indonesia, tengah melakukan
migrasi sinyal siaran TV dari analog menjadi digital. Migrasi ini dilakukan
bertahap dimulai April 2022.
Di tulisan ini, saya tidak akan membahas bagaimana
cara menangkap siaran TV digital. Apakah dengan menggunakan antena, parabola,
atau menggunakan layanan berbayar?
Yang saya akan ceritakan, bagaimana ketika pertama kali nonton televisi di kampung. Waktu itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), umur saya baru 6 tahun di era 1990-an.
Itulah pertama kali saya menonton siaran televisi di
kampung saya di Numbei, Desa Kateri Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur.
Waktu itu, baru ada satu siaran televisi. Yaitu
Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan beberapa saluran atau chanel siaran Tv yang lainnya. Bukan dalam siaran hitam
putih tetapi sudah berwarna dan ada iklan "Siaran Niaga"-nya. Warga
masyarakat yang memiliki pesawat televisi pun, masih langka.
Ilustrasi |
Saking langkanya, jumlah pesawat televisi masih bisa
dihitung dengan jari. Baru ada satu rumah yang memutar siaran televisi.
Ya, televisi ketika itu, boleh dibilang barang
langka. Penerangan listrik juga belum ada. Hanya lampu pelita di rumah penduduk.
Di wilayah kampung Numbei tempat tinggal kami saja,
hanya ada satu orang yang punya televisi. Dia adalah Penjaga Sekolah SDI
Numbei, Bapak Marsel Berek.
Orang sederhana yang punya modal cukup untuk membeli
Televisi. Perlu diketahui bahwa untuk memutar televise harus menggunakan mesin genset,
sekaligus penerangan rumah.
Saya termasuk beruntung karena memanfaatkan momen
ini dengan selalu ke rumahnya untuk nonton bareng dengan semua warga kampung
Numbei.
Siang hari, aktivitas kami sebagai anak sekolah usai
kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di SDI Numbei, kami memanfaatkan waktu luang
untuk bermain dengan teman-teman yang sebaya.
Usia bermain kami selalu menyempatkan diri pada sore
hari mandi di kali Benanain, mempersiapkan diri apabila ada pemutaran Televisi.Uniknya
apabila ada kabar akan dihidupkan mesin genset kami anak-anak sudah berkumpul
lebih dahlu di rumah Bapak Marsel. Istilah kami nongkrong duluan adalah agar kami
anak-anak bisa mendapat tempat untuk duduk menonton Televisi. Kegiatan menonton
Televisi ini dlakukan semisal, jika esok harinya tidak ada PR dari sekolah,
atau kebetulan malam Minggu.
Penontonnya tertib, sopan-sopan, sebab semua mata fokus
pada layar Televisi yang berukuran sedang itu.
Hampir setiap kesempatan, kami anak-anak kampung
berjalan ke rumah Bapak Marsel yang berada di kompleks SDI Numbei ---
"konvoi" lebih dahulu sebelum orang tua kami menyusul untuk bergabung
menonton Televisi. Berangkat sejak sore biar lebih lama nonton televisi.
Ketika siaran televisi pun berakhir, sudah larut
malam. Bahkan sudah dini hari waktu Indonesia bagian Tengah. Kamipun kembali
berjalan kaki bergerobol bak karnaval yang baru pulang dari lomba Agustusan.
Jika malam harinya kami sudah menonton film, maka
kami biasanya akan saling menceritakan apa yang kami tonton semalam, padahal
semua sama-sama menonton tapi ya tetap saja seru saling menceritakan
Mengingat peristiwa di era 1990-an itu, saya sering
tertawa sendiri. Betapa mahalnya ya tontonan televisi ketika itu.
Siapa menyangka kalau John Logie Baird, penemu
televisi asal Skotlandia itu, bisa juga dinikmati karyanya bagi anak kampung
seperti saya dan teman-teman.
Maka jika sekarang saya sudah bebas nonton TV
sendiri di rumah, itu bukan berarti saya juga sudah siap beralih ke TV digital.
Iya belum.
Televisi seperti apa yang ada di rumah saya?
Alhamdulillah sudah sedikit ada kemajuan. Sudah layar datar meski belum yang
Smart TV amat hehe..
Artinya, saya dan keluarga sudah melewati era TV
layar tabung. Namun agak bingung jika harus migrasi sinyal siaran TV dari
analog menjadi digital dimulai April 2022 ini.
Memang tidak semua masyarakat memahami apa itu TV
digital. Apakah itu berarti saya harus membeli TV baru? Apakah saya harus
berlangganan TV kabel? Bagaimana jika saya tidak memiliki anggaran untuk
menikmati TV digital?
Agaknya pemerintah harus lebih gencar
mensosialisasikan program Tv digital ini kepada masyarakat luas. Bagaimana
tahapan mengajukan STB gratis di kota/kabupaten.
Juga memberikan semacam "kursus" kiat
memasang STB pada ragam jenis TV, kiat membeli TV digital, dan life-hack serupa
lainnya. Atau juga menceritakan tentang dilema beralih ke TV digital, kesulitan
yang dihadapi, dan pertimbangan untung-rugi beralih ke TV digital.
Ini semua tentu saja perlu, terutama saudara kita di
pedesaan. Atau jangan-jangan mereka lebih siap dari pada kita, atau saya
terutama hehe...***