Jurnal Nature menyebut fosil yang ditemukan berwujud
seorang wanita dewasa berusia sekitar 30 tahun setinggi 3,5 kaki atau 1,06
meter. Fosil itu terdiri dari tengkorak yang hampir lengkap dan kerangka tulang
tungkai, tangan dan kaki serta sebagian tulang panggul.
"Kerangka terkaitnya adalah salah satu hal yang
membuat spesimen ini cukup menarik," kata Mark Collard, antropolog biologi
di Simon Fraser University di Burnaby, British Columbia, kepada Live Science.
Arkeolog kemudian menemukan sisa-sisa rahang dan
kerangka setidaknya delapan individu kecil lainnya, menurut artikel 2009 di Journal
of Human Evolution. Perawakan kecil dari spesimen ini menunjukkan penemuan
fosil pertama bukan anomali.
Tubuh mungil yang ditemukan pada fosil tersebut membuat
spesies itu mendapat julukan "the Hobbit". Homo floresiensis atau
"the Hobbit" adalah hominin kuno yang hidup setidaknya 17.000 tahun
yang lalu.
Fosil Homo Floresiensis diprediksi berumur antara
sekitar 100 ribu dan 60 ribu tahun yang lalu, dan perkakas batu yang dibuat
oleh spesies ini berumur antara sekitar 190 ribu dan 50 ribu tahun.
Homo floresiensis merupakan individu disebut
memiliki otak kecil, gigi besar untuk ukuran kecil mereka, bahu mengangkat ke
depan, tidak ada dagu, dahi surut, dan kaki yang relatif besar karena mereka
pendek.
Meskipun ukuran tubuh dan otaknya kecil, Homo
floresiensis membuat dan menggunakan alat-alat batu untuk berburu gajah kecil
dan tikus besar. Bahkan mereka dilaporkan dapat melawanpredator seperti komodo
raksasa dengan menggunakan api.
Human Origins menjelaskan perawakan dan otak
kecil Homo floresiensis mungkin dihasilkan dari dwarfisme pulau, yakni proses
evolusi yang dihasilkan dari isolasi jangka panjang di pulau kecil dengan
sumber makanan terbatas dan kurangnya pemangsa.
Menebak
Asal Usul Homo Floresiensis
Gajah kerdil di Flores, yang sekarang sudah punah,
menunjukkan adaptasi yang sama. Spesies terkecil dari gajah Homo dan Stegodon
ditemukan di pulau Flores, Indonesia. Namun, beberapa ilmuwan sekarang
mempertimbangkan kemungkinan bahwa nenek moyang Homo floresiensis berukuran
kecil ketika mereka pertama kali mencapai Flores.
Menurut hasil penelitian, perkakas batu yang ditemukan di pulau Flores
menunjukkan manusia purba tiba di sana setidaknya 1 juta tahun yang lalu.
Namun, tidak diketahui bagaimana manusia purba sampai di sana karena pulau
terdekat berjarak 9 km dengan melintasi lautan berbahaya kala itu.
Ahli paleoantropologi menemukan banyak alat batu
yang terkait dengan Homo floresiensis. Alat-alat tersebut secara umum mirip
dengan yang ditemukan sebelumnya di Flores dan sepanjang karir evolusi manusia
yaitu alat Paleolitik Bawah di Asia atau alat Oldowan di Afrika.
Ada juga bukti bahwa H. floresiensis secara selektif
memburu Stegodon (sejenis gajah yang telah punah) karena ratusan fragmen tulang
Stegodon yang menunjukkan bekas pemotongan ditemukan di dalam lapisan
pendudukan Homo floresiensis.
Saat pertama kali ditemukan, Homo floresiensis
diduga merupakan keturunan dari Homo erectus Jawa. Namun, analisis yang lebih
rinci dari sisa-sisa kerangka telah menemukan ciri-ciri yang lebih kuno
daripada Homo erectus Asia dan lebih mirip dengan australopithecus, Homo
habilis atau hominin dari Dmanisi di Georgia (diklasifikasikan sebagai Homo
ergaster atau Homo georgicus).
Kebanyakan ilmuwan menyebut Homo floresiensis
sebagai spesies yang sah sekarang berpikir bahwa nenek moyangnya mungkin
berasal dari penyebaran Afrika awal oleh spesies Homo primitif yang mirip
dengan Homo habilis atau hominin Dmanisi.
Hal ini menandakan, ia memiliki nenek moyang yang
sama dengan Homo erectus Asia tetapi tidak diturunkan darinya. Analisis
kladistik mendukung kurangnya hubungan dekat dengan Homo erectus.
Penemuan tulang rahang dan beberapa gigi dari Mata
Menge di Flores yang baru-baru ini diumumkan (2016) membantu mengisi
kesenjangan waktu antara Homo floresiensis dan nenek moyang sebelumnya.
Alat-alat batu yang mungkin dibuat oleh Homo erectus
(atau spesies serupa) ditemukan di Flores 840 ribu tahun lalu yang
menunjukkan bahwa spesies hominin mungkin hidup di pulau itu pada waktu itu.
Apapun asal usul populasi leluhur, dapat diterima
bahwa populasi tersebut menjalani isolasi jangka panjang di pulau itu dan
beberapa pengerdilan pulau (walaupun mungkin awalnya kecil) yang membuat mereka
menjadi spesies 'kerdil' endemik Homo floresiensis. Ini adalah fenomena umum
yang terlihat pada mamalia lain di lingkungan yang sama melansir australian.museum.
Sebelumnya, arkeologi dari Institut Teknologi
Bandung (ITB) Pindi Setiawan membantah temuan peneliti asing yang menyebut
manusia purba masih hidup di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Pindi, dari kelas Homo, yang masih hidup
sampai sekarang hanya Homo Sapiens atau manusia yang kini hidup di Flores.
"Setahu saya sekarang ya Homo Sapiens saja,
dari kelas Homo yang masih hidup. Homo Sapiens itu ya DNA manusia Adam. Sama
aja sih, hanya ada variasi warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, bisa juga
cebol, jangkung, berjari 6. Itu variasinya," kata Pindi sebagaimana
dilansir dari CNNIndonesia.com, Senin (25/4).
Pindi menjelaskan, masyarakat yang ada di Flores
tidak ada hubungannya dengan Homo Floresiensis atau yang disebut juga Hobbit
yang disebut arekologasing tersebut.