Keterisolasian itu
bukan sekadar keadaan; ia adalah luka yang diwariskan dari tahun ke tahun.
Numbei seakan dirangkul alam tetapi diabaikan manusia. Bertahun-tahun
masyarakat mendengar janji tentang jembatan, namun janji itu menguap seperti
kabut pagi di hutan margasatwa Kateri—muncul sesaat, hilang tanpa bekas. Janji
pembangunan Jembatan Gantung Numbei yang pernah dilontarkan oleh mantan Bupati
Simon Nahak hanya tinggal gema politik tanpa bentuk. Rakyat pun belajar bahwa
harapan harus disimpan rapat-rapat agar tidak berubah menjadi kekecewaan.
Tetapi tahun ini, waktu
tiba-tiba bergerak berbeda. Di era kepemimpinan SBS–HMS, janji yang dulu hanya
menjadi kalimat di panggung akhirnya bersentuhan dengan tanah, batu, dan baja.
Pemerintahan ini tidak sibuk menabur slogan; mereka membongkar jarak antara
kata dan tindakan. Jembatan Gantung Numbei resmi masuk tahap konstruksi—sebuah
peristiwa yang bagi kota mungkin terasa kecil, namun bagi masyarakat Numbei,
ini adalah revolusi diam-diam yang mengubah masa depan.
Tanggal 21 November
2025 menjadi penanda sejarah: Dinas PUPR Malaka melaksanakan MC-0, langkah awal
pembangunan yang menandai bahwa proyek ini bukan lagi wacana, tetapi realitas
yang bergerak. MC-0 mungkin tampak administratif bagi sebagian orang, namun
bagi warga yang puluhan tahun terjebak banjir, itu adalah kabar yang lebih
menyejukkan daripada hujan pertama di musim kering. Di hadapan mereka, alat
berat berdiri bukan sebagai simbol kekuasaan, tetapi sebagai simbol janji yang
akhirnya dihormati.
Plt. Kadis PUPR, Lorens
L. Haba, menjelaskan bahwa pembangunan ini merupakan bagian dari visi ketiga
SBS–HMS: memperkuat infrastruktur jalan, jembatan, serta mitigasi banjir. Visi
yang sering dianggap abstrak oleh masyarakat kini hadir dalam bentuk tali
sling, pondasi, dan rencana kerja yang terukur. Kehadiran unsur Forkompimda,
termasuk Dandim 1605 Belu–Malaka, memperlihatkan bahwa pembangunan desa bukan
lagi urusan pinggiran; ia menjadi komitmen lintas institusi, sebuah kesadaran
bahwa kesejahteraan tidak boleh lagi bergantung pada geografi.
Di balik kabar gembira
itu, terdapat refleksi yang lebih filosofis: pembangunan bukan hanya tentang
beton dan baja, tetapi tentang mengembalikan martabat. Jembatan ini akan
menjadi ruang di mana manusia tidak lagi tunduk pada ketidakadilan geografis.
Ia menyatukan bukan hanya dua sisi sungai, tetapi dua sisi kehidupan: ruang
bertahan dan ruang berkembang. Jembatan ini adalah simbol bahwa negara hadir
ketika rakyat paling membutuhkan, bukan hanya ketika rakyat paling bersorak.
Kini, harapan tumbuh di
Numbei seperti rumput liar setelah banjir surut—gigih, hijau, dan tak bisa
dihentikan. Anak-anak akhirnya bisa membayangkan perjalanan sekolah tanpa rasa
ngeri. Petani dapat menapaki ladang tanpa menanti turunnya air. Ibu-ibu bisa
bernapas lebih tenang saat hujan datang, tidak lagi menatap sungai dengan
ketakutan yang menua bersama mereka. Kampung Numbei, yang selama ini seperti
halaman terakhir dari buku pembangunan, kini menjadi paragraf penting di
halaman depan.
Namun narasi ini juga adalah
pengingat kritis: pembangunan harus terus dipantau, dijaga, dan diawasi agar
tidak berhenti di tengah jalan. Rakyat perlu memastikan bahwa setiap tiang
jembatan berdiri tegak bukan hanya karena kemauan pemerintah hari ini, tetapi
karena hak mereka sebagai warga negara. Karena pembangunan yang sejati bukanlah
hadiah; ia adalah kewajiban negara kepada rakyat.
Dan ketika jembatan itu
nanti berdiri memanjang di atas arus Benanain, masyarakat Numbei akan mengingat
hari ini sebagai titik balik. Mereka akan berkata bahwa setelah sekian lama
menunggu, akhirnya ada pemimpin yang mengerti bahwa pembangunan bukan soal
ingar-bingar politik, tetapi soal kehidupan yang lebih mudah dijalani.
Di akhir cerita ini,
satu kalimat berdiri tegak seperti pilar jembatan itu sendiri:
Janji lama akhirnya
dipenuhi.
SBS–HMS bekerja, dan masyarakat Numbei akhirnya merasakan hasilnya—bukan
sebagai wacana, tetapi sebagai kenyataan yang bisa diinjak

