Kami berkisah tentang suka dan duka di tanah kelahiran Numbei tercinta, Desa Kateri Kabupaten Malaka, NTT |
Meski terpisah raga dari segala musim yang berbeda, dari jalanan kota, sentuhan
angin atau aroma pagi. Percayalah, aku ada selamanya. Dan menjaga saat kau
lelap atau terjaga.
Seru namaku, Nak, Kampung Halaman Numbei darahmu dan darahku menyatu dan mengalir deras dalam tubuhmu,
lautan maha dalam yang memeluk kapal karam, gunung julang yang menangkis
mendung datang, dan mimpi buruk bagi mereka yang ingin menumpas cita-citamu
turun ke tanah.
Walau aku terhalang rutinitas
aktivitas sunyi di jalan setapak awal mula tangisanmu, juga pulau-pulau jauh di lekuk samudera, dan
kabut-kabut tebal udara. Yakinlah, aku mengatap dan mengatupmu selalu.
Tegaplah berdiri, tegakkan tubuhmu. Jangan tunduk dan merasa kalah, selama
langit masih kau junjung, kebenaran dan nama leluhur masih kau dekap, juga
bahasa ibu tak kau luputkan, maka aku berakar dalam tubuhmu seluruh. Selamanya
selalu.
Ingat namaku, Nak, Kampung Halamanmu Numbei, penjaga silsilah sejarah, rahim
yang melindungimu dari segala badai, juga ruang pendiam yang menunggumu pulang
rebahkan risau, rebahkan lelahmu yang panjang.
Meski kau serupa ombak gegabah yang mengais diri di laut jauh, tetapi aku
dirimu selalu. Hulu yang menggaris muaramu, setelah kau hanguskan suara ayah di
pintu dan kau kosongkan air mata ibu di ruang tamu karena kepergianmu, aku
satu-satunya yang tak pudar di tubuhmu. Dan yang akan memerah lukamu ketika
orang-orang menolak perbedaanmu, menolak keberadaanmu.
Lagi, aku satu-satunya tempat yang tak henti menanti gemerincing langkahmu tiba
di beranda rumah. Serukan aku, Nak! Numbei selalu di hatimu.
’’Setiap orang selalu saja tidak bisa menghindar dari perjalanan. Jika tak pandai-pandai menikmati, setiap harinya orang seperti ini diperbudak oleh perjalanan.’’
Dalan Inuk Numbei
Ran Numbei