Aksi keprihatinan
dilakukan untuk menyikapi dampak Larangan Ekspor CPO dan
Minyak Goreng yang berdampak langsung kepada anjloknya harga TBS (tandan buah
segar) kelapa sawit di seluruh Indonesia, terkhusus sentra perkebunan kelapa
sawit.
Jakarta akan menjadi
sentra utama Aksi Keprihatinan Petani Sawit Indonesia yang diadakan pada 17 Mei
2022 di Kantor Kemenko Perekonomian dan Patung Kuda Monas, selanjutnya akan ke
Istana Presiden.
Kegiatan ini akan
diikuti lebih 250 peserta yang melibatkan petani sawit anggota APKASINDO dari
22 Provinsi dan 146 Kabupaten/Kota serta anak petani sawit yang tergabung dalam
Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia. Selanjutnya, Gulat menjelaskan aksi
keprihatinan ini juga dilakukan serentak (hari dan jam yang sama) di 146
Kabupaten Kota DPD APKASINDO dari 22 Provinsi APKASINDO.
"Petani sawit yang
datang ke Jakarta mulai dari Aceh sampai Papua Barat akan berpakaian
adat-budaya masing-masing, kami ingin menunjukkan sawit itu pemersatu bangsa
dan anugerah Tuhan kepada Indonesia", ujar ujar Ketua Umum DPP APKASINDO,
Gulat Manurung, dalam keterangan tertulis, Senin (16/5).
Indra Rustandi, Ketua
APKASINDO Provinsi Kalimantan barat (Kalbar), ketika dikonfirmasi awak media,
membenarkan sedang dalam perjalanan dari Kab Sintang menuju Pontianak. Total
petani dari Kalbar yang ke Jakarta sebanyak 25 orang.
"Kami sangat
bersemangat ke Jakarta ingin bertemu Pak Jokowi, karena kami melihat
Kementerian terkait tidak becus mengurus kami petani sawit. Lihat saja Dirjen
Perkebunan sudah hampir 2 tahun Plt (pelaksana tugas), jadi bagaimana kami
dapat perhatian? Padahal sawit sangat strategis dan roh ekonomi Indonesia dalam
5 tahun terakhir, apalagi Menteri Perdagangan yang sudah membuat kami
menderita," tutur Indra.
Kondisi Sudah Kritis
Selanjutnya, Gulat
mengatakan bahwa saat ini sudah kritis, dari 1.118 pabrik sawit se-Indonesia
paling tidak 25 persen telah stop pembelian TBS sawit petani. Ini terjadi
setelah harga TBS petani sudah anjlok 40 persen hingga 70 persen dari harga
penetapan Disbun dan ini terjadi secara merata sejak larangan ekspor, tanggal
22 April lalu.
"Kami berpacu
dengan waktu karena sudah rugi Rp11,7 triliun sampai akhir April lalu, termasuk
hilangnya potensi pendapatan negara melalui Bea Keluar, terkhusus Pungutan
Ekspor dimana sejak Februari sampai April sudah hilang Rp.3,5 Triliun per
bulannya," urai Gulat.
Semua permasalahan ini
terjadi sejak adanya gangguan pasokan Minyak Goreng Sawit (MGS) domestic dan
harga MGS curah yang tergolong mahal, padahal sudah disubsidi. Sehingga
Presiden Jokowi mengambil kebijakan Larangan ekspor CPO dan Bahan Baku MGS.
Namun sangat tragis dampaknya kepada Petani sawit.
Surati Jokowi, Petani Sawit Minta Larangan Ekspor
CPO Dicabut
Petani kelapa sawit
yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat
(Aspekpir) mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Isi surat terbuka
berisi permintaan mencabut kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunanya.
Surat tersebut dilayangkan Minggu, 15 Mei 2022.
Dijelaskan dalam surat
tersebut, kebijakan larangan ekspor CPO dan turunanya yang berlaku sejak
tanggal 28 April dan sampai sekarang belum dicabut, dinilai sudah menghancurkan
ekonomi petani sebagai komponen paling hulu dari rantai pasok minyak kelapa
sawit.
Kebijakan ini ibaratnya
siapa yang berulah tetapi siapa yang harus menanggung. Petani sama sekali tidak
tahu kenapa minyak goreng pernah langka , waktu itu petani juga sama dengan
masyarakat Indonesia lainnya juga mengalami kesulitan mendapatkan minyak
goreng. Tetapi larangan ekspor diberlakukan yang pertama kali terdampak adalah
petani.
"Kami tidak tahu
siapa yang makan nangka tetapi sekarang tangan kami penuh getahnya. Petani yang
tergabung dalam ASPEKPIR Indonesia adalah petani yang sejak mulai menanam
kelapa sawit sudah terbina dengan baik oleh perusahaan dan pemerintah,
kelembagaan berupa koperasi sudah berjalan dengan baik, mengerti dan menerapkan
GAP," kata petani tertulus dalam surat terbuka itu, dikutip Liputan6.com,
Senin (16/5/2022).
Pertani juga
menyampaikan berbagai akibat larangan ekspor CPO, diantaranya di mana tangki
untuk memasok tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sudah penuh dan hampir
penuh. Apa lagi, industri juga tidak lagi bisa menjual CPO-nya karena 70 persen
pasarnya merupakan pasar ekspor.
"PKS tempat kami
menjual TBS juga punya kebun sendiri sehingga dalam situasi seperti ini mereka
memprioritaskan TBS dari kebun sendiri. Sekarang karena tangki sudah penuh
beberapa PKS berhenti beroperasi dan akan berhenti beroperasi," katanya.
Sehingga PKS yang masih
beroperasi juga tidak menerima TBS petani mitranya yang sudah punya kontrak
karena kondisi ini. Saat ini harga sarana produksi juga naik tinggi sedang TBS
tidak terjual sehingga petani sudah jatuh tertimpa tangga.
Masalah Kelapa Sawit
Menurut para petani,
kelapa sawit secara teknis agronomis buah matang harus segera dipanen , kalau
dibiarkan tidak dipanen maka tanaman akan rusak dan perlu waktu untuk
memulihkanya.
TBS harus segera masuk
pabrik kalau tidak akan busuk dan CPO yang dihasilkan bermutu rendah.
CPO yang terlalu lama
disimpan ditangki timbun juga akan rusak sehingga tidak bisa memenuhi syarat
untuk pangan. Dunia saat ini kekurangan minyak nabati dan Indonesia sebagai
pemilik kebun kelapa sawit terbesar punya tanggung jawab memenuhi permintaan
dunia ini sebagai bagian dari masyarakat internasional yang beradab.
"Karena itu kami
dari ASPEKPIR Indonesia minta dengan tegas supaya Bapak Presiden Jokowi Segera
Mencabut Larangan Ekspor dan jangan ditunda-tunda lagi. Kehidupan petani kelapa
sawit jadi taruhan utama. Jangan sampai bapak Jokowi punya legacy buruk sebagai
presiden yang menghancurkan perkebunan kelapa sawit," ungkap petani.
Mereka berharap,
kedepan pemerintah harus mengatur secara ketat pemenuhan kebutuhan minyak
goreng di dalam negeri dan menindak tegas pada perusahaan yang bermain-main
dengan kebutuhan rakyat.
Sumber : Liputan6.com