Politik Penyegaran atau Balas Dendam: Sebuah Realitas yang Menghantui?

Politik Penyegaran atau Balas Dendam: Sebuah Realitas yang Menghantui?



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Kita tahu bahwa seorang pemimpin politik seperti bupati tidak 'diangkat' begitu saja mengikuti garis genealogis, tetapi jabatan itu diperoleh melalui perjuangan yang melibatkan banyak aktor. Ada banyak pihak yang rela mengorbankan segalanya agar impian mengantarkan sosok favorit itu ke singgasana kekuasaan, bisa terwujud.

Bahwa mutasi atau perombakan pejabat di lingkungan pemerintahan, baik di tingkat kabupaten dan kota maupun provinsi adalah hak prerogatif kepala daerah. Namun, sebaiknya hak tersebut tak digunakan seenaknya atau secara membabi-buta. Sehingga tidak lagi mempertimbangkan prinsip-prinsip the right man in the right place (menempatkan seseorang pada bidang keahliannya). Tapi yang terjadi adalah the right man in the wrong place (menempatkan seseorang di posisi yang salah, bukan bidang keahliannya).

Aksi brutal seorang bupati atau kepala daerah seperti ini jelas sangat berbahaya, sekalipun mutasi itu hak prerogatif kepala daerah. Tapi idealnya, penggunaan hak tersebut tidak boleh sesuka hati. Harus tetap profesional dan proporsional, sebab baik buruknya kinerja pemerintah dipengaruhi oleh optimalisasi pelaksanaan tupoksi dan kewenangan masing-masing instansi.

Semakin singkatnya masa jabatan seseorang yang disebabkan oleh seringnya dimutasi, berakibat rendahnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik, karena pejabat baru harus belajar lagi, beradaptasi dengan kondisi dan regulasi yang harus dilaksanakan dan patuhi. Hal ini berimplikasi pada menurunnya tingkat profesionalitas dalam bekerja, karena pejabat yang bersangkutan harus kembali beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.

Dalam Undang-Undang ASN, Baperjakat diberikan kewenangan penuh untuk melakukan evaluasi atau penilaian atas kinerja pegawainya. Tapi itu formalitas belaka, karena yang melakukan mutasi penuh adalah kepala daerah dan sering sekali tak sesuai hasil penilai Baperjakat, tetapi lebih kepada faktor like and dislike (suka dan tidak suka).

Kepala daerah memiliki hak mengutak-atik pejabat mulai level eselon 4, eselon 3, kepala sekolah dan lain-lain. Sedangkan eselon 2 harus dilakukan lelang terbuka. Sangat berbahaya jika dasar untuk melakukan mutasi adalah karena dendam politik, karena pejabat yang bersangkutan dianggap mendukung calon lain saat pilkada. Bahaya lain adalah jika balas jasa karena PNS yang bersangkutan merupakan pendukung saat pilkada. Suka atau tidak suka, tak bisa menjadi dasar melakukan mutasi.

Pengangkatan pejabat tetap mesti memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Mutasi karena balas jasa atau dendam mesti ditolak tegas, berbagai cara bisa dilakukan, salah satunya adalah membawa persoalan ini ke Ombudsman RI.



Memang selama ini, pelantikan kepala daerah kerap diikuti kegelisahan pejabat. Mereka khawatir bakal dicopot atau dimutasi dari jabatannya. Apalagi saat pilkada PNS yang bersangkutan tidak mendukung pemenang atau malah secara diam-diam memihak kepada calon lainnya. Akibatnya berdampak terhadap kenyamanan kerja. Tak sedikit melakukan gerilya demi mempertahankan jabatan. Berbagai cara ditempuh untuk mencari dukungan politik asal tidak dicopot dari jabatannya. Di sisi lain, PNS yang mengincar jabatan tertentu akan melakukan pembusukan agar pejabat tertentu dicopot dengan berbagai modus antara lain yang bersangkutan merupakan pendukung calon lain saat pilkada.

ASN harus melawan praktik-praktik politik balas jasa yang dilakukan kepala daerah usai pilkada. Dalam Undang-Undang ASN disebutkan hanya tunduk pada negara, bukan pada pemerintah. Pejabat hanya wajib melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai aturan yang ada. Meski membina hubungan baik dengan kepala daerah tetap penting, tetapi sebaiknya secara profesional, bukan karena sogokan dan lain-lain. Mutasi tidak bisa dilakukan sesuka hati. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, sudah jelas bahwa ada alasan seorang kepala daerah memutasi anak buahnya. Jika tidak, maka sang kepala daerah bisa dikenakan sanksi.

PNS yang mempunyai skill (kemampuan), profesionalisme, dan tanggung jawab, sebenarnya tak perlu takut terkena mutasi karena sudah jelas PNS tak boleh berpolitik. Meski memang politisasi PNS masih sering terjadi karena jumlahnya tak sedikit dan relatif mudah diarahkan karena organisasinya rapi. Kepala daerah seharusnya merangkul mereka yang dicurigai tidak mendukungnya saat pilkada, bukan malah memusuhi dan seolah-olah membunuh karakter PNS tersebut dengan kedok ‘penyegaran’. PNS yang bersangkutan sebaiknya diberi kesempatan menunjukkan kinerjanya. Jika dalam jangka waktu yang ditentukan memang tidak mampu, maka bupati sah-sah saja melakukan penggantian pejabat.

Bukan hanya wartawan, tapi kepala daerah juga mesti memahami istilah cover both side. Istilah ini tidak asing lagi di dunia jurnalistik yang artinya, mengonfirmasi atau mendengar keterangan dari sudut pandang yang berbeda. Mengapa demikian? Karena bupati atau wali kota yang bijak, semestinya mendengar dan mengonfirmasi terlebih dahulu laporan atau bisikan-bisikan yang sampai di kupingnya dari orang lain, sebelum mengambil tindakan. Sebab biasanya penjilat itu identik dengan laporan palsu.

Publik mesti mengawal dan mengkritisi setiap kebijakan pemimpin yang berpotensi mencederai aturan yang berlaku.

Selain itu sebagai masyarakat, kita mendorong bupati dan wakil bupati untuk menerapkan sistem perekrutan berbasis kinerja dan kompetensi dalam mengisi jabatan strategis di setiap instansi publik. Azan merit system (berdasarkan kecakapan) harus diterapkan secara konsisten.

Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa birokrasi adalah jantung dari pemerintahan itu sendiri. Agar jantung itu kuat dan berfungsi optimal, maka pemimpin politik mesti menyuplai 'darah segar' dalam tubuh birokrasi. Pengangkatan dan penentuan berdasarkan 'pertimbangan politik personal', soal suka dan tidak suka, berpotensi menghancurkan jalannya roda pemerintahan itu sendiri. Kita tidak ingin tubuh politik Mabar dikendalikan oleh jantung birokrasi plastik dan keropos.

Hal yang sama berlaku untuk pemberian dan pengerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten semisal Kabupaten Malaka. Saya berpikir, pertimbangan balas jasa dan balas dendam kepada kontraktor sebagai rekanan pemerintah, bisa berbuntut pada tragedi senjata makan tuan. Jika rezim politik yang baru terpilih ini, tidak ingin tergerus dan ternoda, maka pola atau paradigma politik klasik itu segera ditinggalkan.

***

Mendaur badai, menepis resah

Jalan setapak sosial dan Politik






Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama