Bahwa mutasi atau
perombakan pejabat di lingkungan pemerintahan, baik di tingkat kabupaten dan
kota maupun provinsi adalah hak prerogatif kepala daerah. Namun, sebaiknya hak
tersebut tak digunakan seenaknya atau secara membabi-buta. Sehingga tidak lagi
mempertimbangkan prinsip-prinsip the right man in the right place (menempatkan
seseorang pada bidang keahliannya). Tapi yang terjadi adalah the right man in the wrong place (menempatkan
seseorang di posisi yang salah, bukan bidang keahliannya).
Aksi brutal seorang
bupati atau kepala daerah seperti ini jelas sangat berbahaya, sekalipun mutasi
itu hak prerogatif kepala daerah. Tapi idealnya, penggunaan hak tersebut tidak
boleh sesuka hati. Harus tetap profesional dan proporsional, sebab baik
buruknya kinerja pemerintah dipengaruhi oleh optimalisasi pelaksanaan tupoksi
dan kewenangan masing-masing instansi.
Semakin singkatnya masa
jabatan seseorang yang disebabkan oleh seringnya dimutasi, berakibat rendahnya
kualitas dan kuantitas pelayanan publik, karena pejabat baru harus belajar
lagi, beradaptasi dengan kondisi dan regulasi yang harus dilaksanakan dan patuhi.
Hal ini berimplikasi pada menurunnya tingkat profesionalitas dalam bekerja,
karena pejabat yang bersangkutan harus kembali beradaptasi dengan lingkungannya
yang baru.
Dalam Undang-Undang
ASN, Baperjakat diberikan kewenangan penuh untuk melakukan evaluasi atau
penilaian atas kinerja pegawainya. Tapi itu formalitas belaka, karena yang
melakukan mutasi penuh adalah kepala daerah dan sering sekali tak sesuai hasil
penilai Baperjakat, tetapi lebih kepada faktor like and dislike (suka
dan tidak suka).
Kepala daerah memiliki
hak mengutak-atik pejabat mulai level eselon 4, eselon 3, kepala sekolah dan
lain-lain. Sedangkan eselon 2 harus dilakukan lelang terbuka. Sangat berbahaya
jika dasar untuk melakukan mutasi adalah karena dendam politik, karena pejabat
yang bersangkutan dianggap mendukung calon lain saat pilkada. Bahaya lain
adalah jika balas jasa karena PNS yang bersangkutan merupakan pendukung saat
pilkada. Suka atau tidak suka, tak bisa menjadi dasar melakukan mutasi.
Pengangkatan pejabat
tetap mesti memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Mutasi karena balas jasa atau dendam mesti ditolak tegas,
berbagai cara bisa dilakukan, salah satunya adalah membawa persoalan ini ke
Ombudsman RI.
Memang selama ini,
pelantikan kepala daerah kerap diikuti kegelisahan pejabat. Mereka khawatir
bakal dicopot atau dimutasi dari jabatannya. Apalagi saat pilkada PNS yang
bersangkutan tidak mendukung pemenang atau malah secara diam-diam memihak
kepada calon lainnya. Akibatnya berdampak terhadap kenyamanan kerja. Tak
sedikit melakukan gerilya demi mempertahankan jabatan. Berbagai cara ditempuh
untuk mencari dukungan politik asal tidak dicopot dari jabatannya. Di sisi
lain, PNS yang mengincar jabatan tertentu akan melakukan pembusukan agar
pejabat tertentu dicopot dengan berbagai modus antara lain yang bersangkutan
merupakan pendukung calon lain saat pilkada.
ASN harus melawan
praktik-praktik politik balas jasa yang dilakukan kepala daerah usai pilkada.
Dalam Undang-Undang ASN disebutkan hanya tunduk pada negara, bukan pada
pemerintah. Pejabat hanya wajib melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai aturan
yang ada. Meski membina hubungan baik dengan kepala daerah tetap penting,
tetapi sebaiknya secara profesional, bukan karena sogokan dan lain-lain. Mutasi
tidak bisa dilakukan sesuka hati. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN,
sudah jelas bahwa ada alasan seorang kepala daerah memutasi anak buahnya. Jika
tidak, maka sang kepala daerah bisa dikenakan sanksi.
PNS yang
mempunyai skill (kemampuan),
profesionalisme, dan tanggung jawab, sebenarnya tak perlu takut terkena mutasi
karena sudah jelas PNS tak boleh berpolitik. Meski memang politisasi PNS masih
sering terjadi karena jumlahnya tak sedikit dan relatif mudah diarahkan karena
organisasinya rapi. Kepala daerah seharusnya merangkul mereka yang dicurigai
tidak mendukungnya saat pilkada, bukan malah memusuhi dan seolah-olah membunuh
karakter PNS tersebut dengan kedok ‘penyegaran’. PNS yang bersangkutan
sebaiknya diberi kesempatan menunjukkan kinerjanya. Jika dalam jangka waktu
yang ditentukan memang tidak mampu, maka bupati sah-sah saja melakukan
penggantian pejabat.
Bukan hanya wartawan,
tapi kepala daerah juga mesti memahami istilah cover both side. Istilah ini tidak asing lagi di dunia jurnalistik
yang artinya, mengonfirmasi atau mendengar keterangan dari sudut pandang yang
berbeda. Mengapa demikian? Karena bupati atau wali kota yang bijak, semestinya
mendengar dan mengonfirmasi terlebih dahulu laporan atau bisikan-bisikan yang
sampai di kupingnya dari orang lain, sebelum mengambil tindakan. Sebab biasanya
penjilat itu identik dengan laporan palsu.
Publik mesti mengawal
dan mengkritisi setiap kebijakan pemimpin yang berpotensi mencederai aturan
yang berlaku.
Selain itu sebagai
masyarakat, kita mendorong bupati dan wakil bupati untuk menerapkan sistem
perekrutan berbasis kinerja dan kompetensi dalam mengisi jabatan strategis di
setiap instansi publik. Azan merit system
(berdasarkan kecakapan) harus diterapkan secara konsisten.
Bagaimanapun juga,
harus diakui bahwa birokrasi adalah jantung dari pemerintahan itu sendiri. Agar
jantung itu kuat dan berfungsi optimal, maka pemimpin politik mesti menyuplai
'darah segar' dalam tubuh birokrasi. Pengangkatan dan penentuan berdasarkan
'pertimbangan politik personal', soal suka dan tidak suka, berpotensi
menghancurkan jalannya roda pemerintahan itu sendiri. Kita tidak ingin tubuh politik
Mabar dikendalikan oleh jantung birokrasi plastik dan keropos.
Hal yang sama berlaku
untuk pemberian dan pengerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten semisal
Kabupaten Malaka. Saya berpikir, pertimbangan balas jasa dan balas dendam
kepada kontraktor sebagai rekanan pemerintah, bisa berbuntut pada tragedi
senjata makan tuan. Jika rezim politik yang baru terpilih ini, tidak ingin
tergerus dan ternoda, maka pola atau paradigma politik klasik itu segera
ditinggalkan.
***
Mendaur badai, menepis resah
Jalan setapak sosial dan Politik