Diskusi tentang hakikat
Waktu yang membenturkan teori Bergson dan teori Einstein sudah ramai dan tajam
sebelum hari-H debat itu, 6 April 1922 di Paris. Sampai-sampai ketika Einstein
beberapa bulan sebelumnya dianugerahi Hadiah Nobel bidang ilmu fisika tapi yang
dinilai ‘hanya’ penemuannya tentang Hukum Efek Foto-listrik, justru bukan teori
terbesarnya yakni Hukum Relavitas yang mengenai Waktu, semua kalangan langsung
mengatakan bahwa para ahli fisika yang terlibat dalam penilaian untuk Nobel itu
sudah digoyahkan oleh kritik dari Bergson terhadap teori Waktu-nya Einstein.
Albert Einstein sendiri dalam orasinya pada malam penganugerahan Nobel itu
mengatakan: “Bukan rahasia lagi bahwa filsuf terkenal Bergson di Paris telah
menantang teori saya ini….”
Dapat dimaklumi,
ide-ide filosofis Bergson memang sudah merasuk pelbagai lapisan masyarakat
sedunia sejak seperempat abad terakhir, sejak bukunya “Waktu dan Kehendak
Bebas” terbit thn 1889 dan disusul karya-karya berikutnya. Sehingga ketika
tahun 1905 Einstein mempublikasi teorinya tentang Waktu dalam esai “Relativitas
Khusus”, itu langsung dianggap seperti lalat yang mengusik macan tidur. Para
filsuf penganut Bergson segera melayangkan tantangan kepada Einstein, ia
diundang ke Paris untuk menjelaskan teorinya, dimana sang macan sudah menunggu!
Henri-Louis Bergson
(1859-1941) memang amat diagungkan. Sejak masuk era modern belum pernah ada
filsuf seperti dia, langsung dianut oleh kalangan sangat luas dengan penuh
semangat, karena langsung merasuk, tidak seperti kebanyakan filsuf kontemporer
yang menjadi sangat tersohor hanya karena kemajuan teknologi komunikasi dan
semaraknya industri informasi walaupun filsafat mereka sangat sulit diterima
bahkan terlalu sukar dipahami. Setiap buku Bergson langsung mengalami cetak
ulang dan ulang terus, tidak sebagaimana lumrahnya karya pemikiran filsafat.
Ketika Bergson diundang berceramah di Amerika Serikat, pengunjung tumpah-ruah,
dan untuk pertama kalinya dalam sejarah jalan raya Broadway terjadi macet total.
Sejumlah terminologi
khas Bergson — seperti “élan vital” — sangat gemar diandalkan dalam pidato
banyak negarawan, termasuk Bung Karno di Indonesia. Sutan Sjahrir, politisi
Indonesia yang kecerdasannya sampai melegenda itu, bahkan seutuhnya dirasuk Bergson.
Sudah di tahun 1990-an, Begawan Ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo dengan
bangga mengaku penganut permanent Bergsonisme.
WAKTU, menurut Bergson,
bukanlah terutama seperti yang umum dimengerti berupa ruang statis abadi yang
kemudian oleh manusia diberi tanda-tanda kronometer yang berkategori
kuantitatif (detik, menit, jam, hari, bulan, dan seterusnya) untuk menandai
semua gerak dan aktivitas yang ada dalam ruang itu. Waktu yang terutama dan
terpenting ialah apa yang menurut Bergson memang adalah waktu real, durasi,
yang baru terjadi bersama gerak atau peristiwa. Peristiwa dan gerak [termasuk
gerak manusia dan peristiwa tindakan manusia] bukan sesuatu yang baru hendak
diisi ke dalam ruang waktu yang sudah tersedia sejak keabadian sampai
keabadian. Waktu real atau waktu murni ini tidak bisa terkategorikan secara
kuantitatif, sebab ia bersifat murni kualitatif dan tidak ditentukan oleh
spasialitas. Sebagai sesuatu yang bukan kuantitatif, waktu real tidak dapat
dibagi-bagi atau dipotong-potong menjadi sejumlah kepingan atau sejumlah titik
sebagaimana yang biasa kita lakukan terhadap ruang. Waktu real adalah perubahan
kualitatif, di dalamnya berlangsung proses menjadi. Sifatnya progresif abadi,
keajekan adalah sifat yang terbentuk oleh progresivitas itu. Gerak yang
menghasilkan Waktu itu tak lain adalah memanifestasinya élan vital (daya hidup,
vital impetus). Élan vital adalah dasar dan poros dari seluruh gerak alam
semesta. Tindakan kita yang berdasar élan vital beserta intuisi itu jelas
adalah sepenuhnya bebas, yang terbuktikan dengan antara lain sifat kreatifnya
tindakan kita. Tindakan manusia niscaya bebas bila itu merupakan ekspresi dari
kepribadian utuh kita yang di dalamnya élan vital berperan. Bergson dengan
tepatnya melukiskan kualitas kebebasan tersebut dengan hubungan antara seniman
dan otentisitas karyanya. Hubungan yang pula menurut Bergson tidak selalu
terjadi, hanya kadang kala, terutama pada seorang maestro seni yang menjalani
proses kreatifnya dan kesenimanannya secara total utuh.
Filsafat Bergson
bertolak dari penolakannya terhadap model pemikiran intelektual yang sudah
mendominasi segenap atmosfer filsafat modern, model penalaran yang serba
mekanistik, yang meniscayakan pengetahuan sebagai hasil analisis menjadi
potongan-potongan yang harus berurutan kaku pada satu garis linear dalam
hubungan kausalitas yang homogen ketat. Bagi Bergson itu sebetulnya hanyalah
khayalan melantur yang diberi gaya sains. Yang sebenarnya, realitas hadir dan
berlangsung berupa multiplisitas, serba-beragam, heterogen, yang saling
tembus-menembus membentuk kesatuan dan keserentakan. Sedangkan keping-keping
keterpotongan yang lantas tersusun berurutan kaku itu, yang kalau pun
keping-keping itu dapat terkumpul ‘lengkap’ tetap masih memiliki cacat mendasar
karena tidak meliputi pokok-pokok yang justru mendasar dan yang terpenting
yakni waktu real dan dimensi kualitas, itu hanya terjadi sebagai keharusan
lantaran keterbatasan dan serba sempitnya nalar ilmiah yang mengandalkan
analisis yang membekukan realitas. Akibatnya, pengenalan serta pengetahuan
manusia sebetulnya harus seperti yang diungkap oleh Zeno dari Elea pada abad 5
sM: realitas dipecah serta dipisah menjadi potongan-potongan yang kemudian
diurut kaku di atas satu garis, jauh dari lengkap, jauh dari benar. Padahal
realitas serba dinamis, cair, bahkan sering berlangsung dalam kreativitas yang
menerjang-terjang dengan lompatan-lompatan tanpa arah yang sudah digariskan.
Penegasian oleh Bergson terhadap sistem filsafat yang hanya mengandalkan
intelek — penalaran rasional “ilmiah” yang konvensional, sehingga hasilnya
sempit, hanya terikat pada ruang, serba mekanistis, homogen, hanya mampu
menangkap hal-hal yang bersifat kuantitatif — itu ia perkokoh dengan upaya
positifnya berupa pengandalan pada metode intuisi dan daya hidup.
BERGSON MENISTA
pengetahuan filosofis yang hanya mengandalkan intelektualitas itu dengan
terminologi ejekan realité-superficielle, cuma mengenai realitas dangkal, cuma
di kulit permukaan, yang ia lawankan dengan filsafat pengetahuan yang mengandalkan
intuisi yang mencapai realité-profonde atau realitas mendalam.
Filsafat Bergson
langsung menginvasi serta memformat sistem nalar dari sedemikian banyak ilmuwan
dalam sedemikian beragam disiplin sains. Terlebih lagi dalam bidang filsafat,
juga filsafat seni, dan tentu saja dunia susastra [dimana Bergson sampai
dianugerahi Hadiah Nobel]. Kesemuanya itu seakan membentuk sebuah mazhab yang
mirip gelombang air bah sangat besar yang membanjir masuk ke dalam pelbagai
bidang, membentuk para filsuf, ilmuwan, sastrawan, seniman, teolog, politisi,
antropolog, sosiolog, psikolog, dan lain-lain, dan semuanya menjadi eksponen
Bergsonisme yang penuh gelora. Alfred North Whitehead, William James, Jacques
Maritain, Gabriel Marcel, Emmanuel Levinas, Jean-Paul Sartre, Maurice
Merleau-Ponty, Gilles Deleuze, Liang Shu-ming, Émile Bréhier, Vladimir
Jankélévitch, Michel Aflaq, Guy Debord, Emmanuel Mounier, Anna-Teresa
Tymieniecka, Alfred Schutz, Edouard Le Roy, Jean Piaget, Virginia Woolf, T.S.
Elliot, George Bernard Shaw, William Faulkner, Gertrude Stein, Nikos
Kazantzakis, Marcel Proust, Wyndham Lewis, Robert Lee Frost, Ahmet Necip Fazil
Kisakürek, Henry Miller, Vladimir Nobokov. Sebetulnya masih banyak lagi pemikir
besar yang membangun gagasan besar mereka dengan bertumpu pada Bergson.
Heidegger, misalnya. Bahkan Husserl. Meski mereka tak seperti Merleu-Ponty yang
terbuka mengaku, atau seperti Sartre yang bahkan mengaku mulai berminat pada
filsafat karena membaca buku Bergson. Gelombang besar Bergson mengalir ke semua
benua, dan ke semua kutub politik. Di anak benua selatan Asia, Jawaharlal Nehru
dan Mohammad Iqbal yang kendati berbeda haluan dalam keyakinan dan politik,
sama menyerap Bergson. Di Indonesia, Presiden Sukarno dan Sutan Sjahrir beserta
ekonom Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang kendati berbeda haluan ideologi dan
politik, sama menyerap dan mengandalkan teori Bergson.
TETAPI yang ditantang
Bergson bukan pemikir biasa. Albert Einstein (1879-1955), oleh banyak ahli
sejarah peradaban, dihitung sebagai satu dari beberapa makhluk dengan daya
pikir paling perkasa yang pernah lahir di planet kita. Dikatakan, taraf
kecerdasan Einstein hanya dapat dijajarkan dengan Aristoteles dan Pascal. Sejak
1905, mulai usia 26, Einstein mempublikasi bertubi-tubi sejumlah penemuan hukum
fisikanya yang serba dahsyat, semuanya mengenai dasar-dasar hakiki alam raya
ini. Dan semenjak itu, seluruh sejarah perkembangan science yang paling
signifikan tidak lebih dari rangkaian kisah gemilang pembuktian kebenaran
ide-ide Einstein. Selasatunya baru terjadi belum lama ini, yakni terbuktinya
teori Einstein tentang gelombang gravitasi yang bahkan dapat dicerap secara
langsung. Bahkan pula, selasatu temuan lainnya, yakni yang membawanya pada
anugerah Nobel, yaitu Hukum Efek Fotolistrik yang sempat menimbulkan tanda
tanya di banyak kalangan mengapa bukan teori-teori temuannya yang lebih
spektakuler, ternyata kemudian adalah rintisan penyempurnaan yang paling
menentukan bagi teori yang justru jauh lebih dahsyat lagi, yaitu Teori Quantum.
Bahkan pula, karena sedemikian pentingnya hukum efek fotoelektrik itu sehingga
Robert Milikan, fisikawan Amerika yang semula menilai remeh temuan Einstein
tersebut dan selama sepuluh tahun melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa
itu keliru, justru sampai dianugerahi Nobel karena jasanya membuktikan bahwa
teori Einstein ini benar. Cahaya adalah, selain gelombang, aliran partikel.
RELATIVITAS EINSTEIN,
sederhananya: Ukuran waktu kecepatan gerak setiap benda tergantung pada
masing-masing pengamat, dan siapapun atau apapun boleh memposisikan diri
sebagai pengamat yang tak bergerak untuk bisa menjadi patokan pengukuran
kecepatan gerakan. Walau tak bergerak atau diam itu cuma ilusi, karena tak
mungkin, karena segala sesuatu berada dalam proses, berada dalam gerakan.
Berkenaan dengan pengamat yang bergerak, kecepatan geraknya akan dijumlahkan
atau diselisihkan dengan kecepatan benda yang diamatinya (sesuai teori Newton).
Tetapi dalam hal benda yang diamati itu adalah cahaya, dan kecepatan cahaya
(menurut teori Maxwell) konstan adanya, hasil pengukurannya pun pasti konstan.
[Inilah luarbiasanya Einstein, ketika teori Maxwell yang kendati seorang
new-comer bertabrakan dengan Newton yang sudah selama dua abad dipuja setara
dewa, Einstein tak hanyut dalam opini umum yang condong menyalahkan Maxwell,
kendati bahkan Maxwell sendiri sempat bimbang mengingat teori Newton yang sudah
ditakzimi kewibawaannya setara Kitab Suci. Tapi juga, di saat yang sama, teori
umum Maxwell ttg cahaya ditepiskan Einstein, dan mengukuhkan pandangan dunia Newton.]
Penemuan teori
Relativitas Khusus dan kemudian Relativitas Umum oleh Einstein itu langsung
merombak pandangan dunia tentang Gerak, Ruang, Masa dan Massa. Bersama dengan
entitas-entitas mudasir itu, diungkap pula hakikat Cahaya, Materi, Energi, juga
Gravitasi (penjelasan ttg gravitasi yang lebih mumpuni sekaligus lebih sempurna
daripada Newton — lebih tepatnya: sistem Newton dihisab ke dalam struktur
Einstein). Dalam teori Einstein, Masa atau Waktu tak dipisah dari Ruang,
menjadi ruang-waktu. Ruang harus terdiri dari 4 dimensi, dimana Waktu merupakan
dimensi pasti yang keempat. Segala sesuatu dalam alam ini relatif dalam
konteksnya yang ditatap oleh setiap orang dari masing-masing posisinya. Segala
sesuatu di alam ini, kata Einstein, adalah mutlak memiliki massa yang relatif
karena berubah di dalam setiap gerak serta kecepatannya. Tiada sesuatu apapun
di alam semesta ini, tak kecuali ruang dan waktu pada setiap status
tertentunya, yang bisa dijadikan acuan paling benar atau patokan tetap dari
segala-gala untuk kita bisa menetapkan massa yang sebenarnya dari suatu objek.
Setiap orang sah sebagai penatap yang menganggap dirinya diam sementara segala
sesuatu di sekitarnya bergerak. Dunia tanpa pusat, setiap sesuatu dapat menjadi
pusat.
Di atas setting ini,
dengan ‘dihiasi’ sederet persamaan matematika, Einstein melukis peta yang
paling akurat-adequat tentang sejarah alam semesta dan sekaligus masa depan
beserta akhir riwayat semesta. Di dalamnya ada tambahan ‘hiasan-hiasan’
istimewa, tepatnya: bonus-bonus yg teramat dahsyat, yakni pemanfaatan energi
nuklir, explorasi ruang angkasa luar, radar, sinar laser, jam atomic, dan
seterusnya, yang dikembangkan dari implikasi-implikasi teoretis beserta
aplikasi teknologisnya.
LALU APA dari pandangan
Einstein ttg Waktu yang tak terbantahkan itu yang membuat Bergson harus NAIK
PITAM? Di mana sesungguhnya titik bentur dari teori mereka ttg Waktu? Inilah
yang sampai hari ini banyak ahli sudah salah kaprah.
Inilah penjelasan
sebenarnya perdebatan itu (dalam garis besar):
I. Einstein hanya,
sebagaimana diminta pihak pengundang dan penantang, menjelaskan Teori
Relativitas-nya yang di dalamnya berbicara tentang ruang-waktu.
II. Penjelasan Einstein
itu, bagi Bergson membawa rasa dongkol, karena yang dibicarakan adalah sebuah dunia
sangat luas, MENCAKUP atau pasti bisa mencakup segala sesuatu, dan ditopang
struktur-struktur logika serba kokoh dan dengan bukti-bukti tiada terbantahkan,
tapi samasekali tidak menyentuh apalagi MENCAKUP Waktu-nya Bergson. Jadi, ada
sebuah dunia, dunia yang real, yang realitasnya diakui sendiri oleh Bergson,
tetapi dalam dunia itu teori Bergson sendiri tidak ada. Teori Bergson tidak
relevan dalam dunia realitas. Teorinya tidak masuk hitungan. Maka, bagaimana
mungkin ia tak naik pitam?! Padahal model teori seperti Einstein inilah yang
dalam sistem filsafat Bergson digolongkan dalam kutukan sebagai “realité
superficielle” alias cuma mengenai realitas dangkal.
III. Einstein masih
sempat dengan sabar menjelaskan bahwa hanya ada dua penjelasan yang mendalam
tentang Waktu: fisiologis dan psikologis. Dirinya termasuk pada yg pertama,
waktu-fisika, sedang Bergson pada yang terakhir, waktu-psikologi. Dua jenis ini
tak bisa terdamaikan.
IV. Bergson selanjutnya
jadi serba salah: ia menuding Einstein berteori di atas dasar filsafat yang
salah, tapi ia juga menuntut Einstein harus melihat kemungkinan kebenaran teori
waktu filosofis. Dengan tudingan pertama ia mengakui Einstein bekerja atas
dasar filsafat; dan itu benar, Einstein yang keliru jika tak mengakui kefilsafatan
teorinya, sesungguhnya ia sedang menerapkan meta-fisika Aristotelian.
Bergson menuntut,
sesuai teorinya ttg Waktu, waktu filosofis, yang lebih dalam, yang menurutnya
justru adalah waktu real.
V. Tapi Einstein yang
sudah habis sabar, langsung menembakkan mortir pamungkas: Waktu dari para
filsuf itu tidak ada!
VI. Statement pamungkas
Einstein itu jelas tidak betul. Teori Relativitasnya itu sendiri jelas adalah
buah dari praktik filsafat, tepatnya filsafat alam atau meta-fisika dalam arti
seluasnya.
VII. Sebaliknya
Bergson, jika saja tak terlanjur naik pitam, ia akan bisa dengan jernih melihat
keselarasan antara teorinya dan teori Einstein. Misalnya teori ttg jam-atomic —
bahwa bahkan atom-atom secara individual dapat menjadi penentu waktu karena memiliki
frekuensinya masing-masing — apa bedanya dengan waktu sebagai durasi yang
dicipta oleh tindakan manusia kreatif-nya Bergson? Bahkan penjelasan Einstein
tentang waktu dalam teori Relativitas pun, bahwa waktu relative, jelas adalah
waktu yang bukan tentang rentang keabadian yang di dalamnya para subjek
pengamat ataupun atom-atom hanya bisa berfungsi sebatas pemberi notasi jarak
tempuh alias waktu-arloji.
VIII. Gara-gara sudah
terlanjur emosional pula sehingga Bergson tidak tepat menilai “waktu psikologi”,
dinilai sebagai sesuatu lebih rendah dibanding yang ia sebut “waktu filsafat”.
Waktu psikologi, sebagaimana dalam teori Bergson [yang dgn tepat dikonstatasi
oleh Einstein], itu real dan penting dibutuhkan. Banyak filsuf kemudian —
Heidegger, Virginia Woolf, Hannah Arendt, dan sebagainya, mengakui kebenaran
teori Bergson itu, dan mengandalkannya.
TAPI, TERLEPAS DARI
kebenaran teori kreativitas Bergson yang berimplikasi pada Waktu, maupun teori
gerak Einstein yang berimplikasi mengenai Waktu, waktu sebagai keabadian
bukanlah tiada. Ia bahkan ada jikapun ruang tak ada — walau tentu saja keduanya
tak mungkin tiada. Tak mungkin tiada ruang di dalamnya memberi ruang bagi
segala ruang, tak mungkin tak ada waktu yang memberi waktu untuk berjalannya
segala waktu.
Bagaimanapun, debat
akbar ini telah berakhir dengan Bergson ternilai kalah, bahkan seperti
terpental jauh. Tapi, justru di kalangan ahli fisika, banyak yang menilai
pemikiran Bergson mengandung sejumlah kebenaran sangat penting. Kemudian, dan
sampai sekarang, sejumlah buku sudah ditulis mengenai perdebatan itu, hampir
semua isinya adalah simpati besar ke pihak pemikiran Bergson.
Einstein dan Bergson,
kemudian pada sisa usia mereka, sama bergiat dalam gerakan pro-perdamaian
dunia. Tapi di sini pun justru simpati kian membesar bagi Bergson. Karena
khalayak membandingkan: Einstein hanya aktif (berduet dgn Bertrand Russell) dlm
sedikit tahun menjelang wafatnya, dan hanya berupa pernyataan-pernyataan
public-expose, juga hanya semacam tebus-dosa lantaran usulannya kepada Presiden
USA utk menerapkan teorinya yg menghasilkan bom nuklir, pencabut nyawa ratusan
ribu manusia hanya dalam tempo sekejab, dan sampai hari ini terus
berlomba-lomba diproduksi dgn taruhan bukan saja punahnya spesies manusia
melainkan pula seluruh biosfer. Sedangkan Bergson sejak akhir Perang Dunia I
terjun langsung melalui lembaga-lembaga internasional seperti Liga
Bangsa-Bangsa. Dan tidak sampai di situ saja, pengalaman serta refleksinya
selama dalam kegiatan ini membuahkan teorinya tentang etika untuk kemanusiaan
universal — karya yang menjadi rujukan terpenting sampai sekarang [—semua
analisis yang beredar bila terjadi konflik bernuansa SARA itu niscaya
frasa-frasa dari karya Bergson tersebut].
Bagaimana sejatinya
filsafat Henri Bergson? Dan dimana sebenarnya letak kekurangannya? Baca buku
“Hakikat Etika” (Penerbit: Pohon Cahaya, 2022).