Aku Anak Kampung Bukan Kampungan (Kisah Anak Kampung Pergi ke Kota Impian)

Aku Anak Kampung Bukan Kampungan (Kisah Anak Kampung Pergi ke Kota Impian)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Aku lahir di kampung. Meski begitu, kurasa aku tidak sebegitu bodoh sampai tidak mengerti cara berperilaku. Kurasa tingkahku pun tak cukup mengusik andai saja parameternya adalah perilaku mayoritas masyarakat di negeriku. Buktinya, aku cukup diterima di lingkunganku. Entah di kampung halamanku, di tempatku bekerja, ataupun di lingkungan saat ini kutinggal.


Kalau aku masih mengenakan penutup tubuh kemanapun aku pergi, kurasa itu juga masih hal yang wajar. Bahkan saat aku menghisap rokok dalam-dalam saat berkumpul di warung kopi, kurasa juga tidak ada yang aneh, Bahkan mereka yang di sekitarku pun kurasa tidak merasa terusik.

Andai kamu terusik dengan sikapku, justru aku merasa aneh. Entah siapa yang punya parameter berbeda tentang kewajaran, aku atau kamu. Kalau kamu bandingkan aku dengan standar kewajaran yang berlaku di keluargamu, kurasa aku pasti terbilang menyimpang. Tapi masa iya, kamu yang kukenal cerdas memiliki parameter dalam lingkup sempit seperti itu?

Saat kedatanganku pertama di ibu kota, seingatku juga tak pernah aku berteriak kegirangan saat melihat bundaran PU Kota Kupang, Pusat Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bahkan aku tidak heran melihat kemegahan gedung-gedung bertingkat sepanjang jalan perkotaan. Mulutku juga tidak menganga saat aku melihat pria-pria bertato berteriakan saling mengumpat di sepanjang jalan. Aku pun juga tidak lantas tertegun saat melihat orang-orang berdesakan di jalanan umum.

Aku tidak lantas berteriak kegirangan saat bertemu public figure di ibukota ini. Pun aku tidak terkejut saat melihat balita berlarian di pinggiran lampu merah sambil membawa botol bekas susu berisi beras. Saat melihat orang-orang mengeluarkan uangnya demi sebotol minuman keras pun, aku tidak lantas terbengong-bengong.

Aku memang lahir di kampung, besar di kampung, terdidik dalam kesederhanaan pola perilaku masyarakat desa. Jauh berbeda denganmu yang terlahir di Kupang, Kotbesar di Jakarta, dan mengenyam pendidikan serta pergaulan ala anak kota. Kuakui, kita memang jauh berbeda.

Kuakui aku sempat menghela nafas dalam saat kamu bilang padaku “Kampung amat sih saya, pake sendal jepit kemana-mana.” Kurasa wajar kalau kamu bilang seperti itu padaku, sebab memang aku tidak tahu kalau kamu akan mengajakku makan di tempat seperti itu. Bahkan aku heran saat kamu mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu hanya untuk dua cangkir kopi dan beberapa camilan. Sungguh, bagiku itu terlalu mewah.

Kupikir, “jadi seperti ini ya orang kota? Menghabiskan uang hanya untuk mencetak tinja?”

Tapi tak pernah terlontar kata itu padamu, sebab sepertinya kamu akan tersinggung kalau kubilang seperti itu. Bagimu, mungkin makan adalah sebuah gaya hidup. Sedangkan bagiku, makan tak lebih dari memenuhi kebutuhanku. Kuakui memang, selain alasan itu, ketiadaan uang juga jadi alasan bagiku.

Aku biasa makan di warung-warung pinggir jalan dengan menu khas Indonesia, itupun dengan harga yang murah. Sama sekali tidak seperti kebiasaanmu menikmati hidangan-hidangan mewah dengan cita rasa mancanegara di restoran-restoran asing. Bahkan menyebutkan tempatnya saja, cukup membuat lidahku kelu.

Aku bahkan tidak terbiasa mengenakan pakaian dengan harga selangit. Toh, yang kubungkus tetap saja tubuhku yang tak berbentuk ini. Tidak sepertimu memang. Pakaianmu bertuliskan nama-nama dagang internasional, dan harganya pun tidak ada yang setara dengan pakaianku. Tentu punyamu lebih mahal. Aku pun ingat kamu pernah bercerita “gue pake parfum yang dipake sama Paris Hilton nih. Jangan tanya berapa harganya, kamu pasti kaget”. Pikirku, untuk apa kamu bercerita, ataukah kamu memang ingin mengejutkanku dengan harga yang akan kamu sebutkan? Kamu pikir aku pingsan, sampai perlu dikejutkan?

Bagimu, kesederhanaan adalah hal yang kampungan. Tapi apa benar begitu? Aku sendiri tidak tahu. Aku memang anak kampung, tapi menurutku aku tidak cukup kampungan kalau hanya tidak berani makan makanan mahal dan berpakaiansetara jenderal. Sebenarnya, aku sendiri sama sekali belum mengerti parameter kampungan yang sesungguhnya.

***

Setiap impian penuh dengan harapan. Kita membandingkan harapan dengan cita-cita. Aku seorang Pemuda biasa yang mampu berjuang sesuai dengan talenta yang ada, sedangkan anak orang lain datang dan pergi membawa impian.

Harapan aku datang untukmu dan mengejarmu karena aku rindu kepadamu. Orang lain selalu membicarakanmu. Setiap aku berteman dan bergaul, orang selalu menyebut namamu. Aku setiap malam berpikir sampai kepalaku rasanya ingin pecah. Siang-malam aku berusaha bertemu denganmu harapanku.

Kamu tidak pernah sadar aku mencintaimu. Setiap aku berkumpul bersama keluarga, kamulah harapanku untuk bisa lebih mengenalmu.

Setelah lulus sekolah, melewati waktu yang cukup lama, penuh dengan rintangan, panas dan hujan, jauh dan dekat, serta kesedihan, aku tetap dengan harapan yang pasti.

Aku tahu harapanku. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan apa-apa. Aku tidak mengerti apa-apa, berjalan merantau meninggalkan orang yang aku sayangi untuk bertemu harapanku.

Bagiku engkaulah segala-galanya, sehingga aku lupa waktu untuk mengejarmu. Wahai, harapanku, dengan aku mencintaimu, aku bisa melewati waktu dari desa ke desa dan dari kota ke kota. Hatiku kan selalu mengejarmu harapanku!

Tanpa harapan dan impian (cita-cita), jiwa kita telah mati. Karena harapanlah, kita bisa berjaya dan bahagia.

***

Pribumi terpelajar harus membuat yang lain terpelajar juga, harus mampu berbicara dalam bahasa yang dimengerti rakyatnya. Karena setiap yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berpikir, apalagi mereka yang terpelajar.” 

- Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer.

Saya seakan-akan sedang mengkhianati perkataan di atas sejak dalam pikiran. Mengerikan sekali. Kalau betul nanti saya jadi sarjana, yang artinya seorang yang terpelajar, lalu lupa bahwa banyak manusia harus dibangun selain diri saya sendiri, betapa egoisnya saya?

Tahu Budiman Sudjatmiko, yang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) lalu diculik Orde Baru itu? Sebelum reformasi dia memberdayakan masyarakat di pedesaan, utamanya petani. Karena kegiatannya itu, dia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya di UGM, tapi toh akhirnya bisa selesai magister di Cambridge University. Dan setelah jadi wakil rakyat di Senayan sana, berkutat lagi dengan undang undang tentang desa.

Tanpa saya menjadi penggemarnya, saya setuju bahwa ide menghidupkan kembali pedesaan adalah gagasan yang patut dipertimbangkan di era serba pragmatis ini. Saya mengerti betul, manusia kota macam saya tidak bisa selamanya di desa, kembali ke kota untuk menempa diri lagi dengan ilmu adalah suatu keniscayaan. 

Setidaknya, ada jeda waktu untuk membangun kampung, utamanya yang berkaitan dengan kualitas manusianya. Lagipula, tidak buruk juga menikmati segala “kelambanan waktu” di kampung, serba santai dan tak buru-buru.

Atau mungkin malah kembali lagi di kampung setelah menempa diri di kota untuk ke sekian kalinya, semenjak harga tanah dan rumah di kampung (masih) murah dan harga komoditas serupa di kota makin biadab saja, bahkan kredit rumah DP nol persen pun terindikasi hanya janji palsu.

 

(Bayangan Jalan Setapak)

 Jumat, 10 Juni 2022




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama