77 Tahun Proklamasi, Masihkah Ada Kesempatan Mewujudkan Cita-cita Kemerdekaan? (Catatan Bunga Rampai Jalan Tanah Gersang)

77 Tahun Proklamasi, Masihkah Ada Kesempatan Mewujudkan Cita-cita Kemerdekaan? (Catatan Bunga Rampai Jalan Tanah Gersang)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Setidaknya, itu prengakuan bangsa Indonesia. Indonesia mencari dukungan dari sejumlah negara untuk ikut mengakui kemerdekaan ini. Tapi, bagi Belanda, Indonesia belum merdeka. Belanda datang kembali dan melakukan agresi.

Sejumlah serangan oleh Belanda pasca 1945 (agresi Belanda 1 tahun 1947 dan agresi Belanda II tahun 1948) dengan beberapa perjanjian Indonesia-Belanda menjadi bukti bahwa Indonesia sepenuhnya belum diakui merdeka, setidaknya di mata Belanda.

Seiring perjalanan waktu, Indonesia akhirnya mampu mengambil alih dan menguasai sepenuhnya Tanah Air Indonesia.

Belanda hengkang, dan Jepang telah pergi. Saatnya mengurus negeri sendiri dengan mewujudkan cita-cita dan tujuan kemerdekaan yang secara sederhana bisa disimpulkan dalam Sila kelima Pancasila yaitu: "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Inilah tujuan kita merdeka.



Apakah kita sudah mewujudkan cita-cita dan tujuan kemerdekaan itu? Apakah kita sudah benar-benar merasakan keadilan itu?

Di negeri ini, ketimpangan ekonomi teramat lebar. 1 persen orang menguasai 50 persen kekayaan negera. Ini telah menghadirkan oligarki baru. Mereka mengontrol dan mengendalikan negara.

Ketimpangan yang sedemikian lebar ini bukan semata-mata akibat cara kelola negara yang salah, tetapi lebih karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh elite negeri ini. Para elite gemar menyerahkan aset negara secara melanggar hukum terhadap oligarki.

Bayangkan, para pejabat negara jadi kaya raya, itu uang dari mana? Suap dan korupsi. Kecuali sedikit dari mereka yang punya basic pengusaha. Karena itu, pembuktian terbalik untuk menelusuri kekayaan para pejabat, tidak pernah disetujui.

Penguasaan hutan yang dilakukan oleh Surya Darmadi alias Apeng baru-baru ini, merupakan contoh riil adanya perampokan aset negara. Apeng mengambil 37,095 hutan milik negara. Nilai angkanya ditaksir 78 T.

Apeng tidak sendirian. Apeng berkolaborasi dengan pejabat terkait, yaitu bupati dan gubernur. Mungkin juga dengan pejabat yang ada di pusat. Ini hanya satu dari sekian banyak penguasaan hutan tidak sah yang dilakukan oleh sejumlah penguasaha. Namun tidak semuanya diungkap. Hanya Apeng yang apes nasibnya.

Belum lagi, perampokan uang negara melalui kasus BLBI, Bank Century, ASABRI, PT. Jiwasraya, dan sejenisnya adalah bentuk lain dari penghianatan para elit negeri ini. Tidakkah ini sebuah penghianatan dan penjajahan?

Bicara mafia tanah, berapa banyak anak negeri yang kehilangan tanahnya setelah terbitnya sertifikat baru oleh perusahaan-perusahaan besar tanpa adanya transaksi jual beli. Hal yang nyata ada dan dialami oleh jutaan rakyat Indonesia yang kehilangan tanahnya. Ini tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan pejabat yang punya otoritas.

Di Indonesia, tak ada institusi yang bebas korupsi. Eksekutif, yudikatif dan legislatif, semua punya banyak oknum yang berkolaborasi dalam melakukan korupsi. Jika Jusuf Kalla memprediksi 2,5 persen APBN dikorupsi (12/2/2019), maka angka ini patut dievaluasi. Boleh jadi Prabowo yang benar yaitu 25 persen APBN yang dikorupsi. Silakan Prabowo memberi penjelasan.

Benar sekali kata Bung Karno: "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, dan perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri".

Ketika rakyat mencari keadilan, tak sedikit yang diintimidasi, bahkan malah masuk bui. Yang benar masuk penjara, yang mencuri tanah malah bisa tertawa. Inilah Indonesia. Keadaan ini telah berlangsung lama, dari zaman Orde Lama, hingga orde yang orang sebut sebagai reformasi. Apa yang direformasi? tanya para aktivis.

Keadaan ini membuat rakyat semakin frustrasi. Mulai dari mana untuk memperbaiki, semua jalan penuh intimidasi.

Jika dulu Bung Karno bilang: "beri aku 1000 orang tua, niscaya akan aku cabut gunung semeru. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan aku guncangkan dunia".

Mungkin Bung Karno tidak pernah membayangkan betapa pemuda hari ini, para aktivis yang tergabung di berbagai organisasi kepemudaan dan mahasiswa telah dibungkam untuk bicara kritis. Sebagian menerima upeti bulanan, sebagian yang lain ketakutan setelah temannya diculik dan ada yang tidak balik. 10 pemuda mana yang dimaksud Bung Karno itu?

Pers yang diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi, justru tak jarang malah berbalik melawan setiap perjuangan demokrasi. Ikut membungkam orang-orang yang kritis, dan tak jarang pers juga terlibat politik praktis.

George Washington, presiden pertama Amerika (1789-1797) berkata: "If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep ton the slaughter" (Jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam kita mungkin akan membawa semacam domba ke pembantaian).

77 tahun pasca proklamasi, api perjuangan untuk merdeka harus tetap ada dan menyala. Tidak hanya merdeka dari Belanda dan Jepang, tapi harus merdeka dari penghianatan bangsa sendiri. Merdeka dari penjajahan bangsa sendiri.

Rakyat butuh tokoh inspirator dan revolusioner seperti Bung Karno, yang berani memimpin negeri ini untuk merealisasikan cita-cita kemerdekaan. 2024, Indonesia butuh pemimpin yang berintegritas, tegas dan punya keberanian untuk menggelorakan perlawanan terhadap oligarki, serta menyingkirkan para pengkhianat negeri. Pemimpin yang punya visi perubahan untuk Indonesia masa depan. Hanya dengan cara ini, Indonesia akan mampu mengawali langkah untuk membangun pondasi sebuah harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan kemerdekaan.

 



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama