Sejumlah serangan oleh
Belanda pasca 1945 (agresi Belanda 1 tahun 1947 dan agresi Belanda II tahun
1948) dengan beberapa perjanjian Indonesia-Belanda menjadi bukti bahwa
Indonesia sepenuhnya belum diakui merdeka, setidaknya di mata Belanda.
Seiring perjalanan
waktu, Indonesia akhirnya mampu mengambil alih dan menguasai sepenuhnya Tanah
Air Indonesia.
Belanda hengkang, dan
Jepang telah pergi. Saatnya mengurus negeri sendiri dengan mewujudkan cita-cita
dan tujuan kemerdekaan yang secara sederhana bisa disimpulkan dalam Sila kelima
Pancasila yaitu: "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Inilah tujuan kita merdeka.
Apakah kita sudah
mewujudkan cita-cita dan tujuan kemerdekaan itu? Apakah kita sudah benar-benar
merasakan keadilan itu?
Di negeri ini,
ketimpangan ekonomi teramat lebar. 1 persen orang menguasai 50 persen kekayaan
negera. Ini telah menghadirkan oligarki baru. Mereka mengontrol dan
mengendalikan negara.
Ketimpangan yang
sedemikian lebar ini bukan semata-mata akibat cara kelola negara yang salah,
tetapi lebih karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh elite negeri ini.
Para elite gemar menyerahkan aset negara secara melanggar hukum terhadap
oligarki.
Bayangkan, para pejabat
negara jadi kaya raya, itu uang dari mana? Suap dan korupsi. Kecuali sedikit
dari mereka yang punya basic pengusaha. Karena itu, pembuktian terbalik untuk
menelusuri kekayaan para pejabat, tidak pernah disetujui.
Penguasaan hutan yang
dilakukan oleh Surya Darmadi alias Apeng baru-baru ini, merupakan contoh riil
adanya perampokan aset negara. Apeng mengambil 37,095 hutan milik negara. Nilai
angkanya ditaksir 78 T.
Apeng tidak sendirian.
Apeng berkolaborasi dengan pejabat terkait, yaitu bupati dan gubernur. Mungkin
juga dengan pejabat yang ada di pusat. Ini hanya satu dari sekian banyak
penguasaan hutan tidak sah yang dilakukan oleh sejumlah penguasaha. Namun tidak
semuanya diungkap. Hanya Apeng yang apes nasibnya.
Belum lagi, perampokan
uang negara melalui kasus BLBI, Bank Century, ASABRI, PT. Jiwasraya, dan
sejenisnya adalah bentuk lain dari penghianatan para elit negeri ini. Tidakkah
ini sebuah penghianatan dan penjajahan?
Bicara mafia tanah,
berapa banyak anak negeri yang kehilangan tanahnya setelah terbitnya sertifikat
baru oleh perusahaan-perusahaan besar tanpa adanya transaksi jual beli. Hal
yang nyata ada dan dialami oleh jutaan rakyat Indonesia yang kehilangan tanahnya.
Ini tidak mungkin terjadi tanpa melibatkan pejabat yang punya otoritas.
Di Indonesia, tak ada
institusi yang bebas korupsi. Eksekutif, yudikatif dan legislatif, semua punya
banyak oknum yang berkolaborasi dalam melakukan korupsi. Jika Jusuf Kalla
memprediksi 2,5 persen APBN dikorupsi (12/2/2019), maka angka ini patut dievaluasi.
Boleh jadi Prabowo yang benar yaitu 25 persen APBN yang dikorupsi. Silakan
Prabowo memberi penjelasan.
Benar sekali kata Bung
Karno: "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, dan perjuanganmu
lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri".
Ketika rakyat mencari
keadilan, tak sedikit yang diintimidasi, bahkan malah masuk bui. Yang benar
masuk penjara, yang mencuri tanah malah bisa tertawa. Inilah Indonesia. Keadaan
ini telah berlangsung lama, dari zaman Orde Lama, hingga orde yang orang sebut
sebagai reformasi. Apa yang direformasi? tanya para aktivis.
Keadaan ini membuat
rakyat semakin frustrasi. Mulai dari mana untuk memperbaiki, semua jalan penuh
intimidasi.
Jika dulu Bung Karno
bilang: "beri aku 1000 orang tua, niscaya akan aku cabut gunung semeru.
Beri aku 10 pemuda, niscaya akan aku guncangkan dunia".
Mungkin Bung Karno
tidak pernah membayangkan betapa pemuda hari ini, para aktivis yang tergabung
di berbagai organisasi kepemudaan dan mahasiswa telah dibungkam untuk bicara
kritis. Sebagian menerima upeti bulanan, sebagian yang lain ketakutan setelah
temannya diculik dan ada yang tidak balik. 10 pemuda mana yang dimaksud Bung
Karno itu?
Pers yang diharapkan
mampu menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi, justru tak jarang
malah berbalik melawan setiap perjuangan demokrasi. Ikut membungkam orang-orang
yang kritis, dan tak jarang pers juga terlibat politik praktis.
George Washington,
presiden pertama Amerika (1789-1797) berkata: "If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led,
like sheep ton the slaughter" (Jika kebebasan berbicara diambil, maka
bodoh dan diam kita mungkin akan membawa semacam domba ke pembantaian).
77 tahun pasca
proklamasi, api perjuangan untuk merdeka harus tetap ada dan menyala. Tidak
hanya merdeka dari Belanda dan Jepang, tapi harus merdeka dari penghianatan
bangsa sendiri. Merdeka dari penjajahan bangsa sendiri.
Rakyat butuh tokoh
inspirator dan revolusioner seperti Bung Karno, yang berani memimpin negeri ini
untuk merealisasikan cita-cita kemerdekaan. 2024, Indonesia butuh pemimpin yang
berintegritas, tegas dan punya keberanian untuk menggelorakan perlawanan
terhadap oligarki, serta menyingkirkan para pengkhianat negeri. Pemimpin yang
punya visi perubahan untuk Indonesia masa depan. Hanya dengan cara ini,
Indonesia akan mampu mengawali langkah untuk membangun pondasi sebuah harapan
mewujudkan cita-cita dan tujuan kemerdekaan.