Oligarki dipahami
sebagai hubungan yang dibangun oleh komunitas atau kelompok kecil yang
bekerjasama dalam mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka. Komunitas orang
kaya berusaha merentangkan kekuasaannya dalam berbagai bidang, baik itu
politik, hukum, ekonomi dan lain sebagainya untuk terus mempertahankan
kekuasaan dengan bonus sekaligus untuk meningkatkan kekayaannya. Pelaku
oligarki lebih menomorsatukan kepentingan pribadi dan menganaktirikan
kepentingan umum.
Dalam oligarki ada
semacam sentralisasi kekuasaan yang ada di bawah naungan kelompok elite yang
jumlahnya relatif kecil namun memiliki otoritas yang berpengaruh terhadap
masyarakat luas. Dengan adanya sistem hubungan kekuasaan yang terstruktur,
oligarki memungkinkan adanya ketimpangan sosial ekonomi. Elite dengan harta
berlimpah akan semakin melangit, sementara golongan bawah akan terus menangis.
Dengan kekayaan yang
dimiliki itu, pelaku oligarki akan menggunakan kekuasaan dan kekayaannya untuk
memainkan peranannya dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik untuk
memastikan stabilitas kekayaan mereka sendiri. Elite-elite tersebut mungkin
banyak mempelajari teori dari Karl Marx, seorang filsuf sekaligus pakar ekonomi
politik berkebangsaan Jerman, yang mengemukakan bahwa kapital ekonomi memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Ini sangat bertolak
belakang dengan demokrasi yang dianggap sebagai sistem pemerintahan paling
ideal saat ini yang memungkinkan adanya kesetaraan status sosial. Demokrasi
menjunjung tinggi kesejahteraan untuk selalu bisa diakses seluruh rakyat di
setiap tingkatan.
Namun nyatanya,
perilaku oligarki dan demokrasi dapat berjalan bersama. Dan bahkan dengan
berada dalam negara demokrasi, pelaku oligarki akan mendapat panggung besar. Dengan
segala aset dan kekayaan yang dimiliki, mereka biasanya mampu dengan mudah
duduk di kursi kekuasaan yang begitu strategis, baik di lembaga eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Dengan posisi yang ideal itu mereka dapat
memaksimalkan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri.
Keadaan seperti ini
sangatlah berbahaya. Jangankan para elite yang sudah memiliki kursi kehormatan,
yang masih berstatus “pengusaha kaya” saja sangat dimungkinkan untuk terjun
mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Contohnya seperti adanya pengusaha yang
masuk dalam circle pemerintahan untuk membawa salah satu paslon dari partai
politik unggul dalam mencapai ambang batas pencalonan presiden, atau yang lebih
dikenal dengan presidential threshold.
Presidential threshold
merupakan ketentuan tentang batas perolehan suara yang harus dicapai oleh
partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Dalam UU Pemilu
Pasal 222 dijelaskan bahwa,
“Pasangan
calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu
yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara
sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”
Awalnya UU ini
dijalankan dengan tujuan untuk memastikan dukungan penuh partai koalisi dari
paslon yang akan menjabat. Jadi, apabila partai politik pasangan calon itu
tidak berhasil mencapai perolehan suara sebesar 20 dan 25 persen, maka ia tidak
dapat maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Namun jika dilihat
lebih seksama, ada rencana dalam gelap dari berbagai parpol untuk meraih
perolehan suara itu. Dengan apa? Dengan menjalin kerjasama dengan elite-elite
yang telah kita singgung tadi.
Parta-partai politik
itu akan mencari pemodal untuk membantunya secara finansial, demi mendapatkan
tambahan suara. Para pengusaha kaya juga akan sesegera mungkin untuk membuka
pintu dan melobi partai politik yang sudah memiliki tiket masuk dengan memberi
bantuan dana pada mereka agar bisa maju di pemilu.
Hal demikian tentu
melalui kesepakatan bahwa harus ada balas budi apabila paslon tadi sudah
menjabat sebagai presiden dan wakil presiden. Setelah pelantikan, parpol yang
menang haruslah memudahkan bisnis si pemodal atau pengusaha tadi.
Dari sinilah kemudian
benih oligarki akan tumbuh. Elite yang telah berjasa menaikkan capres dan
cawapres ke panggung kekuasaan tadi juga akan memiliki kekuasaan dan kekayaan
lebih dari interaksi tersebut. Ia akan semakin kaya, sementara parpol yang didukungnya
akan semakin berkuasa.
Para elite, dan
penguasa elite itu bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka bisa
saja memonopoli penguasaan tanah atau lahan hingga aset keuangan. Mereka akan
memperluas kekuasaan dan juga kekayaannya.
Dikatakan dalam satu
riset di salah satu negara kawasan Asia Tenggara bahwa ada sekitar 1% orang
kaya menguasai 45% dari total kekayaan negara tersebut. Ini merupakan angka
yang begitu fantastis. Hampir setengah aset negara berada dalam penguasaan
orang-orang kaya itu.
Rakyat di negara yang
terjamah oleh politik semacam itu hanya akan berperan sebagai penonton drama.
Rakyat hanya disuguhkan dengan paslon dari partai politik yang itu-itu saja.
Maka jangan merasa ada yang ganjil ketika banyak terjadi golput dalam pemilu.
Itu semua karena memang tidak ada calon presiden dan wakil presiden yang
menurut rakyat layak dan pantas untuk memimpin mereka. Harapan mereka kandas
pada permainan “siapa yang kuat dialah yang akan menang”.
Pada akhirnya rakyat
akan melakukan perlawanan, demonstrasi besar-besaran, sebagai protes pada
kebijakan pemerintahan.
Tidak ada lagi
aktualisasi politik bersih yang kompetitif. Yang ada hanyalah perilaku-perilaku
manipulatif. Tak ada lagi stabilitas ekonomi, kecuali hanya hanya bagi yang
berpakaian rapi. Jika ini terus terjadi, tidak akan lama lagi hidupnya sistem
demokrasi, ia akan dikalahkan oleh eksistensi oligarki.