Koperasi sendiri diatur
dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian yang diperbaharui
dengan UU 11 Tahun 2020 tentang Perkoperasian, di dalamnya diatur mengenai
landasan, asas dan juga prinsip dan nilai pengelolaan koperasi.
Salah satu hak yang
dimiliki oleh anggota sebagai pemilik saham dan juga pemilik koperasi adalah
hak untuk memberikan saran, kritik dan juga pendapat baik dalam forum RAT
ataupun di luar RAT, dengan diminta ataupun tidak. Sehingga jelas bahwa pada
dasarnya koperasi menganut landasan Pancasila dan juga berdasarkan hukum.
Lebih jauh, asas
penyelenggaraan koperasi adalah berdasarkan kekeluargaan, dengan nilai
demokrasi dan keterbukaan serta kegotongroyongan dalam pengelolaan koperasi.
Koperasi di NTT
Provinsi Nusa Tenggara
Timur salah satunya Kabupaten Sikka dapat dikatakan sebagai salah satu
kabupaten pelopor dan penggerak roda perkoperasian di Indonesia. Di Nian Sikka
terdapat beberapa koperasi berkaliber Nasional bahkan eksistensinya sampai di
dunia Internasional, Koperasi tersebut antara lain; Pintu Air, Obor Mas dan
beberapa koperasi lainnya.
Secara eksplisit
membuktikan bahwa masyarakat Sikka dan NTT pada umumnya adalah masyarakat yang
sadar dan mendukung lahirnya demokrasi ekonomi dan ekonomi kerakyatan.
Sayangnya, di tengah
euforia masyarakat untuk geliat berkoperasi ada banyak persoalan yang ikut
menjadi problem, baik secara internal maupun secara eksternal. Persoalan yang
sedang hangat adalah masalah internal antara anggota dan pengurus. Terjadi
konflik internal yang berkembang antara pengurus dan anggota.
Berawal dari beberapa
anggota yang tidak dilayani atau terlambat dilayani pengajuan pinjaman,
berlanjut kepada salah satu anggota yang mengeluarkan pernyataan bahwasanya
koperasi dalam keadaan colaps (tidak sehat), yang pada somasi oleh pengurus
koperasi secara hukum.
Secara harafiah, frasa
colaps berarti dalam keadaan jatuh, roboh, pingsan. Dalam bidang ekonomi dan
koperasi, dapat kita tafsirkan sebagai keadaan di mana pengelolaan koperasi
dalam keadaan tidak sehat, tidak jalan ataupun ada praktik yang berlawanan
dengan tujuan didirikannya koperasi.
Maka, ketika ada
anggota koperasi yang bersuara, berpendapat dan memberikan kritik, dan dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum dan akan diproses hukum oleh pengurus koperasi,
maka semakin jelas, terang, dapat dikatakan bahwa koperasi memang benar-benar
dalam keadaan colaps karena membatasi anggota ataupun masyarakat dalam
memberikan kontrol berupa kritik dan saran sesuai dengan ketentuan
undang-undang koperasi.
Jadi, sejatinya
pengurus tidak boleh “bawa perasaan” (BAPER) dalam menanggapi kritik dan saran
dari anggota yang sebenarnya adalah bentuk kepedulian terhadap koperasi.
Sedangkan untuk anggota
yang merasakan dampak dari penyelenggaraan koperasi yang jika dianggap tidak sehat
‘colaps’ maka dalam rapat anggota tahunan (RAT) dapat meminta akuntan publik
untuk mengaudit dan melaporkan kondisi keuangan dan pengelolaan koperasi.
Hal ini perlu didorong,
agar kepercayaan masyarakat kepada koperasi dan pengurus dapat meningkat dan
geliat koperasi bisa tumbuh lebih besar.*