Roslinda, Remaja Cantik dari Sumba Timur NTT yang Suarakan Hak Anak di Forum PBB

Roslinda, Remaja Cantik dari Sumba Timur NTT yang Suarakan Hak Anak di Forum PBB

Roslinda (kiri) dan Grace, ketua Forum Anak Sumba Timur, di Rumah Aman Sumba Timur (9/9). (FERLYNDA PUTRI/JAWA POS)


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)HARI itu, pertengahan Juli tiga tahun lalu, tidak akan pernah dilupakan Roslinda. Dia pergi jauh dari kampungnya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, ke New York, di Amerika Serikat sana.

Bukan untuk sekadar jalan-jalan. Tapi, membicarakan hal yang penting: hak anak. Di ajang bergengsi: High Level Political Forum (HLPF) on Sustainable Development.

’’Saya memulai pidato dengan cerita teman satu kelas yang kesulitan mengikuti lomba karena tak memiliki identitas,” tutur remaja 17 tahun itu kepada Jawa Pos yang menemuinya di Rumah Aman Sumba Timur (9/9).

Menurut data BPS Sumba Timur 2022, jumlah penduduk di kabupaten yang berada di Pulau Sumba itu 246.618 jiwa.

Sebanyak 5,68 persen di antaranya pernah menikah di bawah usia 16 tahun. Sedangkan 13,19 persen menjadi suami atau istri pada usia 17–18 tahun dan 22,14 persen lainnya menikah pada usia 19–20 tahun. Pernikahan dini memang problem besar di Sumba Timur.

Kendala lainnya di Sumba Timur adalah belum semua orang tua sadar bahwa akta kelahiran anak adalah hal yang penting. Bukan sekadar syarat administrasi. Inilah yang menggugah Oslin, sapaan Roslinda, untuk bersuara.

”Ada teman SD Oslin yang tidak bisa ikut lomba sains tingkat nasional karena tidak punya identitas (akta kelahiran),” tutur Oslin yang ketika ke New York masih duduk di bangku SMP.

Dia tak bisa lupa wajah si teman yang murung saat istirahat. Tak seperti biasanya, teman yang enggan dia sebutkan namanya itu tak mau bermain bersama kawan-kawan yang lain. Dan, ini berlangsung tidak satu-dua hari saja.

Saat itu, Oslin sudah menjadi anggota forum anak di Desa Kombapari, Sumba Timur. Dari obrolan mereka berdua, baru dia tahu apa persoalan sebenarnya. Padahal, mengikuti lomba sains itu salah satu mimpi terbesarnya dan dia sudah belajar sangat keras untuk itu. Termasuk meluangkan waktu selepas sekolah untuk belajar lagi.

Oslin pun berinisiatif konsultasi kepada guru. Namun, tak ada titik temu.

Dari satu masalah ini, mata Oslin terbuka lebar bahwa akta kelahiran sangat penting. Padahal, adalah hak setiap anak mendapatkan identitas secara hukum negara.

Oslin sudah tergabung di forum anak di desanya sejak masih duduk di kelas IV SD. Dan, ketika membawa masalah ini ke forum tersebut, terungkaplah memang banyak upik dan buyung di Kombapari yang tidak memiliki akta kelahiran.

Mikel Presty Carlo, seorang pekerja sosial dari Kementerian Sosial untuk wilayah Kabupaten Sumba Timur, yang ditemui pada saat yang sama menuturkan bahwa pada 2018 baru 20 persen anak di Kombapari yang memiliki akta kelahiran.

Salah satu pemicunya adalah banyaknya orang tua yang tidak menikah dan dicatatkan negara. ”Jadi, urus akta pun sulit,” tuturnya.

Didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Visi Indonesia (LSM WVI), Oslin dan teman-temannya di Forum Anak Desa Kombapari pun maju ke musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) desa. ”Awalnya ya disepelekan. Kenapa anak-anak ikut rapat,” ujarnya.

Beruntungnya, Oslin dan teman-temannya dapat pelatihan sebelum ikut musrenbang yang pertama. Setidaknya dia tahu di undang-undang ada aturan bahwa suara anak juga perlu didengar dalam pembangunan. Suara anak tidak boleh dibungkam.

Mikel yang juga salah satu mentor untuk forum anak ingat bagaimana anak-anak itu bicara saat rapat. ”Bahkan, kepala desa pun sempat tidak tahu aturan bahwa ada suara anak dalam keputusan pembangunan. Anak-anak dibekali aturan, makanya percaya diri,” ujarnya.

Rapat pertama mereka mungkin diabaikan. Namun, lambat laun didengar. Dalam kesempatan-kesempatan selanjutnya, akhirnya diketahui masalah minimnya akta kelahiran juga disebabkan jarak tempuh yang jauh.

Orang tua yang memiliki anak merasa keberatan kalau harus ke kota. Dari Kombapari ke Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, jaraknya 51 km. Jalan di sana belum bagus dan tentu harus melewati pegunungan.

Belum lagi perjalanan ke kota membutuhkan biaya. Jika sekali datang langsung jadi, mungkin masih ringan. Bagaimana jika ada syarat yang kurang. Itu akan jadi beban bagi orang tua.

”Dari sini ada ide untuk urus bersama. Secara massal,” tuturnya.

Akhirnya, siapa saja yang belum memiliki akta didata. Anggota forum anak menanyai teman-teman mereka. Yang mau urus, dibantu kumpulkan persyaratan.

Buah kerja keras itu, kini di desanya sudah 100 persen anak-anak punya akta. Setiap bayi lahir, orang tua akan diingatkan oleh perangkat desa. ”Sekarang ada satu orang di balai desa yang mengurus ini. Jadi tidak susah lagi,” ujarnya.

Cerita itu pun menginspirasi Oslin ketika dirinya ditunjuk untuk mengikuti forum internasional di New York. Tema lain yang disampaikannya adalah seputar partisipasi anak, mekanisme perlindungan anak, dan pernikahan dini.

Semua itu dilihatnya di kehidupan teman-temannya. Dia ingin mengangkat isu tersebut agar dunia internasional tahu bahwa masih banyak anak-anak di sudut negeri ini yang belum terpenuhi haknya. Banyak anak yang masih menjadi korban dari sistem yang dibentuk oleh orang dewasa.

Penunjukan dirinya untuk berbicara di New York itu salah satunya dilakukan oleh WVI. Dia dianggap sebagai anak yang menonjol dan memiliki pemikiran kritis. Perannya untuk anak-anak di lingkungan pun cukup banyak.

”Saya belajar aturan-aturan dan bahasa Inggris,” katanya.

New York tentu jauh lebih bising dan gemerlap dibandingkan Sumba Timur. Sempat ada rasa gelisah di hati Oslin. Namun, dia ingat, di Sumba Timur ayah dan ibunya mendoakan.

Teman-temannya pun berharap agar kondisi mereka didengar dunia. Para pembimbing juga pasti memiliki banyak harapan atas apa yang dilakukannya di HLPF . ”Awalnya deg-degan. Tapi, cuma pertama saja saat baca pidato. Selanjutnya tidak,” tuturnya.

Lalu, apa hasilnya setelah dia menyuarakan realitas anak-anak di Sumba Timur? Kini perlahan ada perubahan yang lebih baik. Orang tua sadar bahwa anak adalah titipan. Namun, perjuangan tak hanya berhenti di New York.

Sepulang dari forum tersebut, Oslin masih aktif bersuara untuk teman-temannya. Dia kini aktif menjadi pengurus Forum Anak Sumba Timur. Masih banyak hak anak yang perlu diperjuangkan. Air bersih, pendidikan, dan kesehatan di antaranya.

Dari anak perempuan di Pulau Sumba, Oslin bercerita kepada dunia. Dia berteriak agar orang dewasa melihat masih ada anak-anak yang perlu dipenuhi haknya. ”Pola pikir harus diubah. Anak juga manusia yang patut dijamin keamanan dan kenyamanannya dalam tumbuh kembang,” katanya. (*)

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama