Roslinda (kiri) dan Grace, ketua Forum Anak Sumba Timur, di Rumah Aman Sumba Timur (9/9). (FERLYNDA PUTRI/JAWA POS) |
Bukan untuk sekadar
jalan-jalan. Tapi, membicarakan hal yang penting: hak anak. Di ajang bergengsi:
High Level Political Forum (HLPF) on Sustainable Development.
’’Saya memulai pidato
dengan cerita teman satu kelas yang kesulitan mengikuti lomba karena tak
memiliki identitas,” tutur remaja 17 tahun itu kepada Jawa Pos yang menemuinya
di Rumah Aman Sumba Timur (9/9).
Menurut data BPS Sumba
Timur 2022, jumlah penduduk di kabupaten yang berada di Pulau Sumba itu 246.618
jiwa.
Sebanyak 5,68 persen di
antaranya pernah menikah di bawah usia 16 tahun. Sedangkan 13,19 persen menjadi
suami atau istri pada usia 17–18 tahun dan 22,14 persen lainnya menikah pada
usia 19–20 tahun. Pernikahan dini memang problem besar di Sumba Timur.
Kendala lainnya di
Sumba Timur adalah belum semua orang tua sadar bahwa akta kelahiran anak adalah
hal yang penting. Bukan sekadar syarat administrasi. Inilah yang menggugah
Oslin, sapaan Roslinda, untuk bersuara.
”Ada teman SD Oslin
yang tidak bisa ikut lomba sains tingkat nasional karena tidak punya identitas
(akta kelahiran),” tutur Oslin yang ketika ke New York masih duduk di bangku
SMP.
Dia tak bisa lupa wajah
si teman yang murung saat istirahat. Tak seperti biasanya, teman yang enggan
dia sebutkan namanya itu tak mau bermain bersama kawan-kawan yang lain. Dan,
ini berlangsung tidak satu-dua hari saja.
Saat itu, Oslin sudah
menjadi anggota forum anak di Desa Kombapari, Sumba Timur. Dari obrolan mereka
berdua, baru dia tahu apa persoalan sebenarnya. Padahal, mengikuti lomba sains
itu salah satu mimpi terbesarnya dan dia sudah belajar sangat keras untuk itu.
Termasuk meluangkan waktu selepas sekolah untuk belajar lagi.
Oslin pun berinisiatif
konsultasi kepada guru. Namun, tak ada titik temu.
Dari satu masalah ini,
mata Oslin terbuka lebar bahwa akta kelahiran sangat penting. Padahal, adalah
hak setiap anak mendapatkan identitas secara hukum negara.
Oslin sudah tergabung
di forum anak di desanya sejak masih duduk di kelas IV SD. Dan, ketika membawa
masalah ini ke forum tersebut, terungkaplah memang banyak upik dan buyung di
Kombapari yang tidak memiliki akta kelahiran.
Mikel Presty Carlo,
seorang pekerja sosial dari Kementerian Sosial untuk wilayah Kabupaten Sumba
Timur, yang ditemui pada saat yang sama menuturkan bahwa pada 2018 baru 20
persen anak di Kombapari yang memiliki akta kelahiran.
Salah satu pemicunya
adalah banyaknya orang tua yang tidak menikah dan dicatatkan negara. ”Jadi,
urus akta pun sulit,” tuturnya.
Didampingi Lembaga
Swadaya Masyarakat Wahana Visi Indonesia (LSM WVI), Oslin dan teman-temannya di
Forum Anak Desa Kombapari pun maju ke musyawarah rencana pembangunan
(musrenbang) desa. ”Awalnya ya disepelekan. Kenapa anak-anak ikut rapat,”
ujarnya.
Beruntungnya, Oslin dan
teman-temannya dapat pelatihan sebelum ikut musrenbang yang pertama. Setidaknya
dia tahu di undang-undang ada aturan bahwa suara anak juga perlu didengar dalam
pembangunan. Suara anak tidak boleh dibungkam.
Mikel yang juga salah
satu mentor untuk forum anak ingat bagaimana anak-anak itu bicara saat rapat.
”Bahkan, kepala desa pun sempat tidak tahu aturan bahwa ada suara anak dalam
keputusan pembangunan. Anak-anak dibekali aturan, makanya percaya diri,”
ujarnya.
Rapat pertama mereka
mungkin diabaikan. Namun, lambat laun didengar. Dalam kesempatan-kesempatan
selanjutnya, akhirnya diketahui masalah minimnya akta kelahiran juga disebabkan
jarak tempuh yang jauh.
Orang tua yang memiliki
anak merasa keberatan kalau harus ke kota. Dari Kombapari ke Waingapu, ibu kota
Kabupaten Sumba Timur, jaraknya 51 km. Jalan di sana belum bagus dan tentu
harus melewati pegunungan.
Belum lagi perjalanan
ke kota membutuhkan biaya. Jika sekali datang langsung jadi, mungkin masih
ringan. Bagaimana jika ada syarat yang kurang. Itu akan jadi beban bagi orang
tua.
”Dari sini ada ide
untuk urus bersama. Secara massal,” tuturnya.
Akhirnya, siapa saja
yang belum memiliki akta didata. Anggota forum anak menanyai teman-teman
mereka. Yang mau urus, dibantu kumpulkan persyaratan.
Buah kerja keras itu,
kini di desanya sudah 100 persen anak-anak punya akta. Setiap bayi lahir, orang
tua akan diingatkan oleh perangkat desa. ”Sekarang ada satu orang di balai desa
yang mengurus ini. Jadi tidak susah lagi,” ujarnya.
Cerita itu pun menginspirasi
Oslin ketika dirinya ditunjuk untuk mengikuti forum internasional di New York.
Tema lain yang disampaikannya adalah seputar partisipasi anak, mekanisme
perlindungan anak, dan pernikahan dini.
Semua itu dilihatnya di
kehidupan teman-temannya. Dia ingin mengangkat isu tersebut agar dunia
internasional tahu bahwa masih banyak anak-anak di sudut negeri ini yang belum
terpenuhi haknya. Banyak anak yang masih menjadi korban dari sistem yang
dibentuk oleh orang dewasa.
Penunjukan dirinya
untuk berbicara di New York itu salah satunya dilakukan oleh WVI. Dia dianggap
sebagai anak yang menonjol dan memiliki pemikiran kritis. Perannya untuk
anak-anak di lingkungan pun cukup banyak.
”Saya belajar
aturan-aturan dan bahasa Inggris,” katanya.
New York tentu jauh
lebih bising dan gemerlap dibandingkan Sumba Timur. Sempat ada rasa gelisah di
hati Oslin. Namun, dia ingat, di Sumba Timur ayah dan ibunya mendoakan.
Teman-temannya pun
berharap agar kondisi mereka didengar dunia. Para pembimbing juga pasti
memiliki banyak harapan atas apa yang dilakukannya di HLPF . ”Awalnya
deg-degan. Tapi, cuma pertama saja saat baca pidato. Selanjutnya tidak,”
tuturnya.
Lalu, apa hasilnya
setelah dia menyuarakan realitas anak-anak di Sumba Timur? Kini perlahan ada
perubahan yang lebih baik. Orang tua sadar bahwa anak adalah titipan. Namun,
perjuangan tak hanya berhenti di New York.
Sepulang dari forum
tersebut, Oslin masih aktif bersuara untuk teman-temannya. Dia kini aktif
menjadi pengurus Forum Anak Sumba Timur. Masih banyak hak anak yang perlu
diperjuangkan. Air bersih, pendidikan, dan kesehatan di antaranya.
Dari anak perempuan di
Pulau Sumba, Oslin bercerita kepada dunia. Dia berteriak agar orang dewasa
melihat masih ada anak-anak yang perlu dipenuhi haknya. ”Pola pikir harus diubah.
Anak juga manusia yang patut dijamin keamanan dan kenyamanannya dalam tumbuh
kembang,” katanya. (*)