Jenazah Domu Warandoy (Sekda NTT) Belum Dimakamkan, Ini Pengawet Mayat Alami di Sumba Timur

Jenazah Domu Warandoy (Sekda NTT) Belum Dimakamkan, Ini Pengawet Mayat Alami di Sumba Timur

Jenazah Sekda NTT Domu Warandoy saat disemayamkan di rumah duka, Jalan RA Kartini Kelurahan Kelapa Lima Kota Kupang. Kini jenazah telah berada di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur namun hingga Rabu 5 Oktober 2022 belum dimakamkan. 



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Jenazah Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur atau Sekda NTT Domu Warandoy belum juga dimakamkan pihak keluarga.

Hingga Rabu 5 Oktober 2022, belum diperoleh kepastian waktu pemakaman.

Sekda NTT Domu Warandoy meninggal dunia akibat kecelakaan lalulintas di Jalan Frans Seda Kelurahan Fatululi Kota Kupang, Minggu 2 Oktober dini hari.

Mobil Fortuner yang disopiri sendiri oleh Sekda NTT Domu Warandoy hilang kendali dan keluar jalur sehingga menabrak pohon lontar di sisi kanan jalan.

Jenazah Sekda NTT Domu Warandoy telah dibawa ke Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Selasa 4 Oktober.

Menurut rencana, pada Senin 10 Oktober pihak keluarga menggelar pertemuan di Praihiwar untuk menentukan tanggal pemakaman jenazah Sekda NTT Domu Warandoy.

Bagaimana agar jenazah awet? Cara pertama adalah menyuntikan Formalin.

Dilansir dari www.alodokter.com, dijelaskan bahwa Formalin merupakan zat yang sering digunakan dalam proses embalming atau pengawetan mayat dan bertujuan untuk memperlambat proses pembusukan.

Pembusukan

Pada sebagian orang jenazah mungkin perlu disemayamkan dulu di rumah duka, dan hal ini membutuhkan pengawetan mayat untuk memperlambat pembusukan.

"Secara umum teknik embalming dapat mengawetkan mayat hingga sekitar 1 minggu, selanjutnya proses pembusukan tetap berjalan meskipun lebih lambat dibandingkan bila tidak dilakukan embalming. Namun dengan teknik tertentu, pengawetan jenazah dapat diperpanjang hingga sekitar 1-2 minggu," kata dr Devika Yuldharia.

Selain Formalin, bisa digunakan pengawet mayat alami. Cara tradisional ini kerap dipraktikkan kaum bangsawan di Kabupaten Sumba Timur. Dengan metode ini, jenazah bisa bertahan bertahun-tahun dan tidak bau.

Sebelumnya dilansir dari POS-KUPANG.COM, warga Kabupaten Sumba TimurRambu Ana Pura Woha mengatakan, sebelum mengenal formalin, orang Sumba biasa menggunakan metode pengawetan tradisional.

Ada macam-macam pengawet mayat alami, yaitu menggunakan kapur sirih dicampur tembakau atau daun teh. Namun yang sering digunakan adalah kapur sirih dan tembakau.

Agar jenazah lebih bertahan lama, ditambahkan dengan daun bidara atau kom. Cara lainnya, yaitu menyelimuti jenazah dengan ratusan lembar kain tenun atau kain adat.

Kain adat Sumba yang menggunakan zat pewarna asli dari tumbuh-tumbuhan sudah mengandung pengawet alami. Dengan demikian, bau jenazah terserap oleh kain adat.

Menurut Rambu Ana Pura Woha, pengawetan dengan menggunakan kapur sirih dilakukan dengan cara menyiram kapur sirih di atas kain yang digunakan sebagai alas atau pembungkus jenazah.

Setelah kain pertama yang ditabur kapur sirih dan tembakau, dilapisi lagi kain kedua. kapur sirih dan tembakau ini yang akan menyerap bau, bahkan membuat jenazah kering.

Setelah dibaringkan di atas lapisan yang ditabur kapur sirih, pusar jenazah ditutupi dengan cairan daun bidara atau kom yang sudah dikunyah.

Tidak sembarang orang bisa mengunyah daun bidara atau kom yang akan ditaruh di pusar jenazah. Jika yang meninggal adalah lelaki tua, maka daun bidara harus diambil dan dikunyah oleh perempuan muda.

Cara mengambil daun bidara juga menggunakan mulut, mirip seperti kambing memakan. Daun bidara dikunyah sampai halus dan diletakan di pusar jenazah.

Apabila yang meninggal perempuan tua, maka yang mengambil dan mengunyah daun bidara atau kom adalah lelaki muda.

Bagaimana jika yang meninggal adalah lelaki muda atau perempuan muda? Rambu Ana Puru Woha mengatakan, yang mengambil dan mengunyah daun bicara adalah lelaki atau perempuan tua.

Menurut Rambu Ana Puru Woha, daun bidara mampu mengempiskan perut jenazah. Pengalaman telah membuktikan metode tersebut berhasil.

"Cara itu selama ini sering digunakan untuk mengawetkan jenazah. Jika ingin awet lebih lama, bisa juga ditambahkan dengan air cuka campur garam," katanya.

Adapun caranya, sebut Rambu Ana Puru Woha, rebus air cuka campur garam sebanyak-banyaknya.

Setelah itu diminumkan ke jenazah dengan cara mengangkat kepala jenazah kemudian menuangkan air cuka campur garam ke dalam mulut, lalu kepala jenazah dibaringkan lagi.

Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga satu gelas air cuka campur garam habis. Namun sebelum air garam cuka diminumkan, jenazah harus dalam keadaan bersih.

Dia menjelaskan apa yang dimaksud dengan bersih. Menurutnya, seluruh kotoran yang ada dalam perut jenazah harus dikeluarkan semua. Cara ini ternyata mampu untuk mengawetkan jenazah.

Rambu Ana Puru Woha mengatakan, tidak semua orang menggunakan cara ini karena saat ini lebih mudah menggunakan formalin yang mudah didapatkan di apotik.

Tokoh masyarakat Sumba, Umbu Mbani Awang mengatakan, selain kapur sirih dan tembakau, pengawetan mayat bisa dilakukan dengan tepung kopi. Caranya sama seperti kapur sirih dan tembakau. (*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com





Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama