Aliasi Pemuda NTT
menilai, apa yang terjadi dengan masyarakat adat Besipae merupakan bentuk
perampasan dan kalim sepihak tanah milik rakyat oleh pemimpinnya sendiri dengan
iming-iming pembangunan.
Merespons itu, AP NTT
meminta pertanggungjawaban moral pemerintah provinsi dengan melakukan aksi
besar-besaran di depan Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sehari
sebelum peringatan perayaan Sumpah Pemuda, Kamis (27/10/22).
“Pada prinsipnya kita
tidak anti pembangunan. Namun ketika pembangunan itu mengesampingkan hak-hak
masyarakat adat, menabrak aturan hukum dan mengiris nurani kemanusian, tak ada
pilihan lain, mesti dilawan. Itulah sebabnya, kami hari ini meminta
pertanggungjawaban moral pemprov agar berhenti menidas rakyatnya sendiri”, kata
koordinator aksi, Ahmad Natonis.
Untuk diketahui, tanah
seluas 3.780 hektar di Besipae, yang di atasnya dibangun rumah warga diklaim
sebagai milik pemerintah. Pembongkaran terhadap rumah warga dilakukan karena di
lakosi tersebut akan dibangun jalan masuk ke hutan dan kandang untuk peternakan
sapi.
Koordinator aksi, Ahmad Natonis menyampaikan orasi di depan gedung Kemeendagri |
Namun Ahmad Natonis
menilai kebijakan yang diambil tersebut tidak lebih dari upaya untuk
mengilangkan jejak pelanggaran dan penyimpangan hukum, sekaligus pemerintah
ingin menghindar dari tanggung jawabnya membayar kompensasi kerugian
masyarakat.
“Kami menduga kebijakan
yang diambil itu bagian dari cara pemprov untuk tidak membayar kompensasi atas
hak tanah masyarakat sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 2 tahun
2012 tentang pemanfaatan tanah atas kepentingan publik”, ujar Ahmad.
Berikut beberapa poin
tuntutan AP NTT dalam audensinya dengan pihak Kemendagri:
1. Mendesak Kemendagri untuk mengintervensi Gubernut
NTT untuk menghentikan segala kegiatan dilahan Konflik masyarakat adat
Pubabu-Besipae TTS.
2.
Mendesak
Kemendagri menbentuk tim pencari fakta untuk menyelesaikan persoalan
Pubabu-Besipae TTS – NTT
3.
Mendesak Pemda
NTT agar segera membuka ruang dialog untuk menyelesaikan persoalan
Puabu-Besipae Pubabu-Besipae TTS – NTT.
4. Mendesak kemendagri agar memantau dan menertibkan
setiap persoalan pelanggaran administrasi pemerintahan di wilayah Pemda NTT
Ahmad Natonis berjanji,
AP NTT akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Ia bersama bersama AP NTT
yang terdiri dari Himpunan Mahasiswa Nekmese Jakarta, HIMAPEN, Himpunan
Mahasiswa Timur, IMS-J, KABADABAJA, PMB dan Imajar akan terus melakukan
advokasi publik dalam rangka mengusut tuntas pelanggaran hukum kasus Besipae.
Kasus Posisi Konflik Besipae
Konflik lahan yang
melibatkan Pemrov NTT dengan masyarakat adat Besipae memiliki sejarah yang
panjang. Berdasarkan kronologi konflik lahan yang disusun oleh Walhi NTT, ini
bermula sejak tahun 1982, yakni ketika Pemerintah Provinsi NTT masuk ke wilayah
Besipae dengan melakukan kesepakatan kerjasama dengan masyarakat adat
Pubabu-Besipae untuk pelaksanaan Proyek percontohan Intensifikasi Peternakan.
Proyek tersebut juga
melibatkan Desa Oe Ekam, Desa Mio, Desa Poli dan Desa Linamnutu. Lahan dan
hutan masyarakat yang digunakan luasnya mencapai kurang lebih 6 ribu hektare.
Proyek kerjasama Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Australia, dalam
program Percontohan Pembibitan Ternak Sapi ini dilaksanakan dalam rentang
1982-1987. Akan tetapi proyek tersebut rupanya tidak berjalan dengan baik.
Pada 1987, setelah
Program Intensifikasi Peternakan ini berakhir, Dinas Kehutanan melaksanakan
program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (Gerhan) di wilayah Desa Polo, Desa
Milo, Desa Oe Ekam dan Desa Eno Neten, Kecamatan Amanuban Selatan, di atas
lahan seluas sekitar 6 ribu hektare. Melalui program ini wilayah tersebut
dijadikan sebagai kawasan budidaya untuk tanaman komoditas, seperti jati dan
mahoni, dengan skema hak guna usaha (HGU) mulai 1988 hingga 2008. Program ini
dilaksanakan tanpa ada persetujuan dari masyarakat.
Sejak program inilah
masyarakat adat Pubabu-Besipae mulai terenggut haknya atas lahan tersebut.
Sebab, pada 1995 Dinas Kehutanan mengeluarkan register tanah kehutanan dengan
nomor 29 yang ditandatangani oleh Gubernur NTT dan termuat dalam berita tata
batas Negara yang memasukkan kawasan hutan Pubabu-Besipae pada kawasan hutan
negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.
Selama program ini
berjalan, Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan dilaporkan melakukan pembabatan
dan pembakaran hutan adat Pubabu-Besipae seluas kurang lebih 1.050 hektare yang
mengakibatkan hutan tersebut menjadi gundul. Itu terjadi pada 2003 hingga 2008.
Pada 2008 silam,
masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan. Sebab
aktivitas pembabatan hutan alam telah mengakibatkan keringnya sumur-sumur di
sekitar kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber air masyarakat. Penolakan
masyarakat adat tersebut tak membuahkan hasil.
Karena terjadi
pembabatan hutan Besipae di Desa pollo dan Desa Linamnutu oleh sekelompok orang
yang dibentuk Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan dengan alasan untuk
merehabilitasi hutan melalui Gerhan. Pembabatan hutan tersebut dilaporkan oleh
masyarakat adat Pubabu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) pada
2009 lalu.
Pada 2011 masyarakat
adat Pubabu-Besipae yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran
dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan
Provinsi NTT di instalsi Besipae dengan nomor surat: 03/ITAPKK/II/2011.
Di tahun yang sama
KomnasHAM mengeluarkan surat nomor 873/K/PMT/IV/2011 perihal permasalahan hutan
masyarakat adat Pubabu-Besipae. Dengan isi surat yang di antaranya, menjaga
agar situasi aman dan kondusif di dalam masyarakat dan menghindari adanya
intimidasi sampai adanya solusi penyelesaian masalah tersebut.
Kemudian Komnas HAM
juga menekankan, menjaga agar kawasan hutan tetap lestari, menghentikan utuk
sementara kegiatan Dinas Peternakan Provinsi NTT dan Dinas Kehutanan Kabupaten
Timur Tengah Selatan di lahan bermasalah sampai ada pernyelesaian. Terakhirm
KomnasHAM akan menindak lanjuti pengaduan masyarakat adat Pubabu dengan
melakukan pemantauan ke lokasi dan atau upaya mediasi.
Meski begitu, pada
Oktober 2012 terjadi kriminalisasi terhadap 17 masyarakat adat. 4 orang di
antaranya adalah perempuan namun kemudian dilepas karena tidak cukup bukti.
Selain perempuan terdapat pula 2 anak laki-laki di bawah umur yang juga di ikut
dikriminalisasi. 1 warga ditahan selama 2 bulan dan 10 warga lainnya ditahan
selama 4 bulan.
Pada November 2012,
Komnas HAM kembali mengeluarkan surat, dengan nomor 2.720/K/PMT/XI/2012 perihal
permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae. Isi suratnya, mengembalikan
lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang berakhir pada
2012 kepada warga dan mengevaluasi UPTD Provinsi NTT dan Program Dinas
Peternakan yang melibatkan warga, dimana pada kenyatannya program tersebut
tidak mengembangkan warga justru membebani warga.
Pada 19 Maret 2013,
pemerintah menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953
dengan luas 3.780 hektare. Sertifikat tersebut sebagai dasar atas kepemilikan
hutan adat Pubabu. Hal inilah yang kemudian memicu konflik. Karena pada 2011
silam masyarakat adat melalui Ikatan Tokoh Adat Penegak kebenaran dan Keadilan
telah mengirimkan surat pembatalan perpanjangan kontrak dengan Dinas Peternakan
Provinsi NTT.
Oktober 2017, konflik
semakin memanas karena Pemerintah Provinsi NTT melakukan intimidasi terhadap
masyarakat adat Pubabu. Kala itu Dinas Peternakan Provinsi NTT bersama Polisi
Pamong Praja mendatangi masyarakat dan meminta agar masyarakat adat Pubabu
segera mengosongkan tanah. Dengan alasan tanah tersebut merupakan milik
Pemerintah Provinsi NTT atas dasar Sertifikat Hak Pakai yang terbit pada 2013
lalu.
Pada 2020 ini terjadi
beberapa kali peristiwa. Di antaranya, penggusuran terhadap 3 kepala keluarga
masyarakat adat Pubabu oleh tim gabungan kepolisian, satuan polisi pamong praja
dan TNI pada 17 Februari 2020. Penggusuran ini mengakibatkan trauma dan
ketakutan bagi masyarakat adat Pubabu.
Selain itu pada 10
Maret 2020, terjadi pembongkaran pondok dan pagar milik warga di sekitar
lokasi. Kemudian pihak Pemprov membangun satu buah pondok ukuran 4×4 meter
untuk tinggali oleh 2 KK. Namun masyarakat tidak menerima dan membongkar ulang
dan membangun lagi di dekat lokasi yang sama.
Selanjutnya, pada 12
Mei 2020, Gubernur NTT beserta rombongan datang ke lokasi lahan berkonflik di
Besipae dan meminta masyarakat membongkar pagar yang dibangun masyarakat. Namun
terjadi penolakan dari masyarakat adat dengan alasan lahan masih berperkara dan
sempat terjadi keributan serta aksi buka baju beberapa ibu-ibu di Pubabu.
Kemudian pada 18
Agustus lalu 2020 tim gabungan aparat Satuan Polisi Pamong Praja, TNI dan
kepolisian melakukan penggusuran dan perusakan rumah milik 29 KK di Besipae.
Aksi tim gabungan tersebut juga dilakukan dengan melepaskan beberapa kali
tembakan senjata api. Yang mana tindakan represif itu dilaporkan telah
meninggalkan trauma bagi perempuan dan anak-anak adat Besipae.
Bahwa pada Jumat 21
Agustus 2020 lalu, Pemprov NTT bersama tokoh adat di Besipae, membuat
kesepakatan untuk mengakhiri persoalan konflik lahan di Pubabu-Besipae.ditandai
dengan penandatanganan kesepakatan antara pihaknya yang mewakili Pemprov NTT
dan tiga tokoh adat. Yaitu Usif Frans Nabausa, Usif Nope Nabausa dan Usif P.R
Nabausa.
Penandatanganan
kesepakatan ini dilaksakan di Kantor Camat Amanuban Selatan.Terdapat beberapa
poin yang telah disepakati. Yakni, masing-masing pihak bersepakat tanah Besipae
seluas 3.780 hektare tetap menjadi milik Pemprov NTT, 37 KK memperoleh tanah
kaveling seluas 800 meter persegi.
Kemudian pihak Pemprov
akan mengidentifikasi tanah di wilayah Enoneten, Oeekam, Mio, Linamnutu, yang
masuk dalam kawasan 3.780 hetare tersebut untuk dikeluarkan dari sertifikat
untuk diserahkan kepada masyarakat. Selanjutnya, Pemprov diminta untuk
melibatkan masyarakat dalam semua program pemerintah.
Akan tetapi kesepakatan
Pemprov dengan tiga tokoh adat tersebut mendapat reaksi negatif dari sejumlah
warga Pubabu. Sebagian warga yang masih bertahan di lokasi penggusuran di
Besipae menolak kesepakatan penyelesaian masalah lahan Besipae.
Akan tetapi kesepakatan
Pemprov dengan tiga tokoh adat tersebut mendapat reaksi negatif dari sejumlah
warga Pubabu. Sebagian warga yang masih bertahan di lokasi penggusuran di
Besipae menolak kesepakatan penyelesaian masalah lahan Besipae.
Bahwa Kemudian Terbit
surat Nomor Bu/030/690/BPAD/2022 Tanggal 14 Oktober 2022 Prihal Penegasan
Pengososngan Rumah dan Tanh Milik Pemerintah NTT dengan Dalil hak yakni
sertifikat Hak Pakai Nomor 0001 Tahun 2013 yang sesunghunya Objek hak tesebut
letak Lokasi ada di Amanuban Tengah.
Bahwa kemudian Pada
Hari Kamis tanggal 20 Oktober Pemprov NTT melalui Badan Aset Daerah NTT dikawal
dengan Satpol PP, Brmob serta Kepolisian Kab Timor Tengah selatan Turun
dilokasi Melakukan Pengusuran terhadap masayarat adat yang sampai detik ini
belum ada pengelesaian yang baik bagi masyarakat.