Tinjauan Alkitab dan Teologi
Teologi bukanlah
sekadar pengajaran tentang “apa yang dikatakan oeleh Alkitab” atau tentang
“sejarah perjalanan umat Allah”. Teologi harus bersentuhan dengan berbagai
pergumulan dan persoalan nyata manusia. Melalui teologi, gereja melihat,
merespons, dan menyoroti bagaimana Allah berprakarsa, berencana, bekerja, dan
berperan dalam penanganan masalah-masalah kemanusiaan. Salah satu di antaranya
adalah masalah kemiskinan.
J.B. banawiratma dan J. Muller mengatakan, “mengingat teologi selalu harus
berbicara berhadapan dengan masyarakat, maka seluruh usaha teologi harus
mempunyai ciri sosial atau kontekstual, agar dapat dimengerti secara lebih
jelas dan karena itu lebih berfungsi bagi Gereja.”[1]
Karena itulah, gereja pun seharusnya bertanggung jawab untuk menolong
masyarakat miskin. Apalagi kita tahu, Allah peduli kepada orang-orang miskin
dan peduli untuk mengatasinya. Kemiskinan bukanlah kehendak Allah, bukan juga
karena hukuman atas dosa. Kemiskinan juga bukan hal baik untuk ditiru atau
dijadikan ukuran kedekatan dengan Allah. Karena itulah, manusia harus berjuang
untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Allah sendiri, melalui
umat-Nya, berusaha menolong orang-orang miskin. Dalam Ulangan 15:11 Allah
mengatakan: “… Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudara-mu yang
tertindas dan yang miskin di negerimu.” Dalam Yesaya 58:6-7 Allah katakan, “…
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali
kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu
orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang,
supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap
saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-7).
Masalahnya sekarang,
banyak gereja yang mengabaikan atau tidak serius menjalankan tugas untuk
menolong orang-orang miskin. Padahal, gereja perlu memberdayakan mereka,
sehingga mereka mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari.
Alkitab Perjanjian Lama
(PL) dan Perjanjian Baru (PB) sendiri banyak sekali berbicara tentang perintah
Allah untuk memperhatikan dan mengasihi kaum miskin. Dalam PB, Yesus katakan
bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kita lakukan untuk mengasihi salah
seorang dari yang paling hina ini – mereka yang lapar, haus, telanjang, sakit,
yang hidup sebagai orang asing dan orang tahanan – kita tidak melakukannnya
juga untuk Tuhan (Mat. 25:42-45).
Perintah Tuhan untuk
mengasihi sesama seperti mengasihi diri kita sendiri pun tak terlepas dari
pengertian mengasihi orang-orang miskin. Beberapa ayat dalam PL tentang
perintah Tuhan untuk mengasihi kaum miskin ini, antara lain: Janganlah engkau
memperkosa hak orang miskin di antaramu dalam perkaranya (Kel. 23:6); Sebab
TUHAN mendengarkan orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya
dalam tahanan (Mzm. 69:34); Ia akan sayang kepada orang lemah dan orang miskin,
Ia akan menyelamatkan nyawa orang miskin (Mzm. 72:13); Siapa menindas orang
yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada
orang miskin, memuliakan Dia (Ams. 14:31).
Dengan begitu,
keberpihakan kita kepada kaum miskin seharusnya muncul berdasarkan pengalaman
kita dengan Firman Allah. Jorge C. Bravo dalam Samuel Amirtham dan John S.
Pobee mengatakan, “Dasar-dasar dari refleksi dan misi kita harus terjadi dengan
membaca dan membaca ulang Alkitab dalam konteks pengalaman rakyat. Iman kita
muncul dari pengalaman sehari-hari dengan Allah dan dengan sesama kita. Itu
sebabnya, pemilihan untuk berpaling kepada yang miskin dan yang tersisih adalah
hasil pembacaan ulang amanat Alkitab dalam menjawab serbuan dari orang-orang
miskin dan tersisih, ke dalam jantung gereja.[2]
Perhatian kepada kaum
miskin tentu saja bukan berarti bahwa gereja harus terdiri atas orang miskin.
Dalam hal ini tentu saja gereja pun harus melindungi orang-orang kaya, yang
dengan kekayaannya, mereka dapat membantu memberdayakan orang-orang miskin. Dengan
kekayaan itulah gereja menolong dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Michael Wilson dalam
salah satu tulisannya tentang pendampingan pastoral menyatakan bahwa
pendampingan pastoral merupakan sesuatu yang situasional sifatnya.[3] Tekanan
pada sifat situasional dari pendampingan pastoral ini didasarkan pada keyakinan
Wilson bahwa bentuk-bentuk pendampingan pastoral berakar pada konteks di mana
pendampingan pastoral itu dilaksanakan. Itulah sebabnyaq secara tegas Wilson
mengatakan bahwa: “pendampingan pastoral dipengaruhi berbagai pertanyaan yang
terus menerus membentuk konteks seperti ‘dunia macam apa yang kita harapkan?;
komunitas macam apa yang kita inginkan dalam kehidupan bermasyarakat?[4]’”Jika
pernyataan Wilson ini dikaitkan dengan gereja sebagai salah satu basis
pelayanan atau pendampingan pastoral, menurut penulis pernyataan ini mengandung
tiga implikasi penting. Pertama dalam pernyataan ini ada pengakuan
bahwa tidak ada praktik pendampingan atau pelayanan pastoral yang tidak
berkonteks. Semua praktik pelayanan pastoral gereja lahir dan dibentuk oleh
konteks tertentu. Pelayanan pastoral karenanya merupakan bentuk tanggapan
gereja terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi pada waktu dan tempat
tertentu. Sesuatu yang kemudian diteruskan sebagai tradisi. Kedua yang
berkaitan dengan ini adalah pertanyaan-pertanyaan kritis tentang konteks dengan
mana manusia hidup, turut mewarnai pendekatan, metode, dan bentuk pelayanan
pastoral yang diterapkan.
Dengan demikian pelayanan pastoral bersifat unik dan khas untuk setiap konteks.
Sesuatu yang mendorong Wilson secara khusus menegaskan bahwa tidak ada blueprint pelayanan
pastoral yang berlaku umum untuk segala situasi dan tempat.[5] Ketiga, yang
tak kalah penting adalah implikasi imperatifnya dimana gereja sendiri
sebenarnya perlu selalu mencari pendekatan, metode, dan bentuk pelayanan
pastoral yang lebih relevan dengan kebutuhan konteks. Satu tuntutan yang wajar
karena bagaimanapun konteks merupakan sesuatu yang terus berubah dari waktu ke
waktu dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, jika gereja
tidak memikirkan dan merancangkan bentuk-bentuk pelayanan pastoral yang relevan
dengan kebutuhan konteks, maka pelayanan pastoral gereja akan kehilangan
relevansi.
Sehubungan dengan itu, Theodore Wedel melukiskan bahwa bahaya abadi yang
dihadapi gereja adalah ketidak-relevanan. Pada khususnya, bahaya ini amat hebat
pada saat gereja berhasil secara lahiriah. Relevansi yang dimaksudkan adalah
relevansi kepada kebutuhan manusia yang mendalam. Artinya, gereja harus relevan
kepada situasi manusia yang menimbulkan rasa sakit, kelaparan akan arti
kehidupan, dan kehausan akan hubungan yang bermakna. Pendampingan dan konseling
pastoral adalah alat-alat yang berharga yang melaluinya gereja tetap relevan
kepada kebutuhan manusia.[6]
Pelayanan Pastoral Sosial
Allah, melalui
Firman-Nya, dengan jelas dan tegas meminta perhatian kita untuk memperhatikan,
menolong, memberi sedekah atau bantuan, dan memberdayakan orang-orang miskin –
dalam arti turut menangani penyebab kemiskinan itu sendiri, sehingga mereka
mampu mandiri dan berdaya. Inilah salah satu bentuk pelayanan pastoral sosial.
Pelayanan ini tidak muncul karena keinginan hati semata, tetapi lebih
karena panggilan hidup kita sebagai umat yang beriman kepada Tuhan dan karena
dialog kita dengan Firman Tuhan.
Pelayanan pastoral itu sendiri. Menurut Abineno, sekarang ini memiliki banyak
jenis dan aliran – yang tidak biasa dianggap berdiri sendiri. Ada jenis
pelayanan pastoral sebagai pemberitaan Firman, pelayanan pastoral sebagai
konseling (pemberian bantuan), ada juga jenis yang mengkombinasikan pemberitaan
Firman dan pemberian bantuan dalam pelayanannya. Selain itu, ada juga pelayanan
pastoral sebagai persekutuan (koinonia) dan sebagai diakonia.[7]
Beragam jenis pelayanan pastoral itu ternyata belum mampu meningkatkan peran
serta gereja untuk mengangkat masyarakat dari keterpurukan dan kemiskinan.
Perhatian dan peran yang yang masih minim itu adalah juga karena ketidakmampuan
gereja dan umat Kristen pada umumnya untuk mengerti makna pelayanan pastoral.
Gereja (khususnya Protestan) masih memandang bahwa pelayanan pastoral itu
adalah pelayanan penggembalaan bagi anggota jemaat. Padahal, seharusnya
meliputi semua manusia (lintas iman dan agama) serta alam ciptaan Tuhan (secara
holistik).
Menurut Daniel Susanto, pemahaman pelayanan pastoral di Indonesia (yang sempit
dan terbatas itu) bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: (a) pemahaman
pelayanan pastoral di Indonesia diwarisi dari Barat (bersifat individualistis
dan pietis) dan belum dikembangkan sesuai dengan konteks Indonesia; (b)
pelayanan pastoral masih didasarkan pada gambaran gembala dan domba pada
masyarakat agraris. Di sini, domba dipahami sebagai orang-orang percaya atau
anggota gereja saja; (c) pelayanan pastoral masih mengikuti pembagian pelayanan
gereja secara tradisional, sehingga terjadi pengkotak-kotakan; (d) pelayanan
pastoral masih belum mencakup alam sebagai sasaran pelayanan. Padahal, alam
adalah ciptaan Tuhan yang dipelihara oleh Tuhan. Gereja sebagai umat-Nya juga
dipanggil untuk memelihara alam ciptaan Tuhan.[8]
Demikian luasnya ladang pelayanan pastoral, namun sedikit sekali gereja yang
memperhatikan dan “mengolahnya”. Gereja-gereja, menurut Abineno[9],
lebih banyak melakukan bentuk pelayanan verbal dan kurang sekali dalam bentuk
perbuatan (diakoni). Pelayanan verbal itu harus diubah, khususnya dalam
pelayanan di kota-kota. Di kota – di mana penderitaan mengganas di segala
bidang – tidak cukup kalau gereja-gereja hanya berfungsi sebagai “rumah rohani”
dari anggota-anggotanya. Mereka harus berbuat lebih daripada itu. Mereka harus
benar-benar berfungsi sebagai “persekutuan-persekutuan pelayanan” bagi mereka
yang lapar, mereka yang dahaga, mereka yang telanjang, mereka yang sakit, dan
lain-lain (Mat. 25).
Karena itulah, sudah saatnya gereja dan umat Allah tidak lagi terus memandang
ke atas dan memimpikan kehidupan bahagia di surga, sehingga lupa memandang ke
bawah ke arah sesama (yang hidup menderita, tersisih, dan miskin itu) untuk
mendatangkan Kerajaan Allah di dunia. Bagaimana kasih dan pemeliharaan Allah
terwujud melalui orang-orang percaya yang melayani dan memberdayakan
orang-orang miskin dan menderita itu. Di situlah terlihat salah satu bentuk
pelayanan pastoral sosial. Pelayanan pastoral ini juga merujuk pada pandangan
Howard Clinebel yang mengungkapkan fungsi pelayanan pastoral, yaitu: menyembuhkan
(healing), mendukung (sustaining), membimbing (guiding), memulihkan atau
mendamaikan (reconciling). Kemudian Clinebell menambahkan satu fungsi lagi,
yaitu: memelihara atau mengasuh (nurturing).[10]
Kelima fungsi pelayanan pastoral di atas, selain digunakan untuk pelayanan bagi
seseorang atau individu, bisa juga diterapkan bagi masyarakat sebagai bentuk
pelayanan pastoral sosial. Untuk hal ini, Susanto mengungkapkan bahwa
fungsi menyembuhkan bermakna untuk menolong masyarakat sembuh dari
penyakit sosial (seperti: menyebarnya pengemis, meningkatnya kriminalitas,
pengangguran, pelacuran, kenakalan remaja, pemakaian narkoba dan psikotropika,
serta korupsi). Fungsi mendukung bermakna untuk menolong orang-orang
miskin (secara ekonomi), korban bencana alam, dan sebagainya.[11]
Sedangkan fungsi membimbing bermakna untuk membantu masyarakat
mengambil keputusan-keputusan yang bermakna bagi kehidupan bangsa, seperti pada
keputusan untuk memilih kepala daerah, anggota dewan, atau presiden dan
wakilnya. Kemudian fungsi memulihkan/mendamaikan bermakna untuk
mendamaikan masyarakat yang terlibat berbagai konflik sosial atau politik,
sehingga mereka kembali rukun/berdamai. Sedangkan fungsi memelihara bermakna
untuk membantu masyarakat untuk mengembangkan potensi-potensi yang mereka
miliki. Dengan begitu, mereka diberdayakan agar hidup mandiri dan tidak lagi
bergantung pada belas kasihan orang.
Kemiskinan sebagai Masalah Pastoral
Diantara sekian masalah
dan tantangan (konteks) pelayanan pastoral yang perlu dijawab gereja, salah
satu diantaranya yang penting adalah masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan
secara pastoral perlu mendapat perhatian gereja karena berbagai alasan. Alasan
yang pertama adalah alasan teologis. Sebagaimana kita tahu kemiskinan merupakan
masalah kemanusiaan yang secara teologis terus menantang kehadiran gereja
secara lebih bermanfaat. Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri karena Alkitab
penuh dengan gagasan mengenai keberadaan orang miskin dan bagaimana seharusnya
mereka diperlakukan. Secara umum bisa dikatakan bahwa dalam Alkitab kemiskinan
terutama dilihat sebagai sebuah skandal, bukan sesuatu yang diterima apa
adanya. Sebagai skandal, kemiskinan dianggap sebagai kondisi yang mencederai
hakikat manusia sebagai ciptaan Allah. Dengan demikian panggilan utama orang
percaya adalah melawan kemiskinan dengan segala dampak buruknya terhadap
kehidupan.
Suatu perlawanan yang dilakukan dengan keyakinan dan pengharapan akan campur
tangan Allah yang berjanji memulihkan kerajaanNya termasuk bagi orang-orang
miskin yang tersisih.[12] Selain
alasan teologis, alasan lain mengapa kemiskinan secara pastoral perlu mendapat
perhatian gereja adalah dampak buruk kemiskinan bagi manusia sebagai individu
yang menjadi sasaran pelayanan pastoral. Dari berbagai fakta di lapangan kita
tahu bahwa kemiskinan dalam wajah yang semakin massif ikut menciptakan dan
memperumit berbagai persoalan pada level individu. Masalah-masalah seperti
alkoholisme, kriminalitas, pelacuran, konflik rumah tangga, dan lain-lain
menjadi semakin kompleks akibat kemiskinan. Itulah sebabnya Clinebell misalnya
mengatakan bahwa ketidakadilan masyarakat/kemiskinan melahirkan dosa dan
penyakit individu, sama seperti rawa tergenang melahirkan nyamuk-nyamuk.[13]
Sesuatu yang bisa dipahami karena seperti disitir Halmos dalam masyarakat
sendiri sebenarnya ada pertentangan yang tidak korelatif antara nilai-nilai
yang menghargai dan yang tidak menghargai kemanusiaan.[14] Mengingat
dalam kondisi kemiskinan yang dominan adalah nilai-nilai yang tidak menghargai
kemanusiaan, sudah tentu nilai-nilai ini seperti dikatakan memperumit dan
memperparah persoalan-persoalan orang miskin.
Dengan demikian jika gereja dalam hal ini tidak melakukan pelayanan pastoral
terhadap orang miskin secara bermanfaat, tentu gereja mengabaikan salah satu
mandat teologis yang paling mendasar dan juga salah satu fakta sosial yang
mempunyai pengaruh luar biasa dalam merusak manusia sebagai sasaran pelayanan
pastoral gereja.
Pelayanan Pastoral Gereja bagi Orang Miskin
Sehubungan dengan hal
di atas maka pertanyaan selanjutnya adalah apa yang seharusnya dilakukan gereja
agar pelayanan pastoralnya bermanfaat bagi orang miskin? Pertanyaan ini penting
karena bagaimanapun upaya mengembangkan pelayanan pastoral terhadap orang
miskin perlu berangkat dari realitas pelayanan pastoral yang sejauh ini
dilakukan gereja. Tanpa titik berangkat seperti ini dipastikan apa yang
ditawarkan hanya sebatas konsep yang sulit diimplementasikan.
Untuk itu sebagai entry point pertama-tama perlu dikonstantir apa
sesungguhnya ciri pelayanan pastoral yang sejauh ini telah dipraktikkan gereja
sebagai titik pijak untuk memikirkan apa yang seharusnya dilakukan. Dari
berbagai sumber dan juga berdasarkan fakta empirik, kita bisa mengatakan bahwa
secara umum pelayanan pastoral gereja sejauh ini dipraktikkan sangat bersifat
gereja sentris[15],
terorientasi pada segi-segi spiritual, mengutamakan pelayanan individu[16],
dan mengacu pada kerangka nilai masyarakat kelas Menengah.[17]
Inilah ciri-ciri umum pelayanan pastoral gereja. Orientasi pelayanan yang
bersifat gereja sentris merupakan buah dari apa yang oleh Gutierrez disebut
mentalitas ghetto, yang serba tertutup dan defensif, yang secara
menentukan mengarahkan praktik kehidupan bergereja.[18]
Sebagaimana kita tahu gereja/orang kristen dalam hal ini sering memahami diri
sebagai komunitas yang dikhususkan/disendirikan. Masalahnya seringkali tafsiran
keliru terhadap kekhususan ini membuat gereja/orang kristen gagal melihat bahwa
sebenarnya ada persoalan di luar praktik kehidupan bergereja yang seharusnya
juga diperhatikan. Secara operasional, pemahaman ini kemudian membuat pelayanan
gereja, termasuk pelayanan pastoral diartikan secara sempit sebagai bentuk
pelayanan untuk kebaikan gereja dan bukan untuk kebaikan dunia kemana gereja
dipanggil.
Tekanan pada segi-segi spiritual dalam pelayanan gereja, merupakan akibat
pengaruh ajaran dua kerajaan yang dipahami dalam kerangka berpikir filsafat
platonis. Sebagaimana kita tahu, dalam kekristenan ada tekanan yang sangat kuat
terhadap ide kerajaan Allah. Ide Kerajaan Allah ini aslinya merupakan sebuah
cita-cita untuk mentranformasikan kehidupan menjadi sesuatu bersesuaian dengan
kehendak Allah. Dalam hal ini sebuah transformasi yang menghadirkan damai
sejahtera (shalom) dalam arti yang holistik, menyangkut segi-segi jasmani dan
rohani. Persoalannya pada tataran operatif, ide tentang kerajaan Allah ini
dipertentangkan secara asimetris dengan apa yang disebut ide tentang kerajaan
dunia yang dianggap sebagai sumber masalah/kejahatan.
Satu cara mempertentangkan yang kemudian karena intervensi pemikiran filsafat
platonis dalam ajaran kristen membuat adanya kecenderungan merohanikan ide
kerajaan Allah. Sesuatu yang tidak terhindarkan karena sebagaimana kita tahu
dalam kategori berpikir filsafat platonis, dunia spiritual/dunia maya dianggap
sebagai dunia yang lebih ideal ketimbang dunia materi/dunia nyata.
Konsekuensinya pelayanan gereja, termasuk pelayanan pastoral sebagaimana
dikatakan di atas cenderung diarahkan pada pelayanan yang mengurus segi-segi
spiritual/rohani karena pandangan bahwa secara kualitatif hal-hal spiritual
lebih berharga dari hal-hal materi.
Selanjutnya orientasi pada pelayanan individu dan nilai masyarakat kelas
menengah, dalam hal ini merupakan ciri pelayanan pastoral gereja yang menguat
karena fakta bahwa dalam sejarahnya masyarakat kelas menengah Eropa dan Amerika
yang sangat individualis menjadi lahan subur bagi berkembangnya
pelayanan/pendampingan pastoral. Sesuatu yang membuat pelayanan pastoral sering
juga disebut sebagai fenomena gereja barat.[19] Dengan
demikian tidak mengherankan kalau perhatian pada individu dan nilai-nilai
masyarakat kelas menengah seperti dikatakan di atas sangat mewarnai bentuk,
metode, dan pendekatan pelayanan pastoral gereja.
Masalahnya dengan ciri seperti di atas tentu tidak mudah bagi gereja melakukan
pelayanan pastoral terhadap orang miskin. Gereja dengan ciri-ciri pelayanan
pastoral seperti di atas, tidak mungkin mengakomodir kepentingan pelayanan
pastoral terhadap orang miskin. Bahkan boleh dikatakan dengan ciri pelayanan
seperti di atas, realitas kemiskinan sebagai masalah pastoral menjadi masalah
yang out of context.
Sebab itu bertolak dari ciri-ciri di atas, menurut kami beberapa hal perlu
dilakukan agar pelayanan pastoral gereja menjadi berguna bagi orang miskin.
Adapun hal-hal tersebut adalah: Pertama, praktik pelayanan pastoral gereja
perlu melampaui kecenderungan membatasi dan memperalat pelayanan pastoral
semata untuk kepentingan gereja dalam arti sempit. Tekanan ini penting karena
faktanya seringkali pelayanan pastoral gereja hanya dipakai sebagai alat
melayani kepentingan pelayanan internal gereja. Sebagai contoh secara
tradisional, pelayanan pastoral gereja antara lain dipakai sebagai alat untuk
memelihara persekutuan jemaat dan juga kepentingan lain seperti penginjilan.
Dalam hal ini mengingat persekutuan merupakan suatu dimensi pelayanan gereja
yang penting, gereja tentu merasa berkepentingan memelihara persekutuan yang
harmonis. Alat untuk memelihara persekutuan sebagaimana diidealkan tidak lain
adalah pelayanan pastoral.[20] Selain
itu dalam sejarah gereja bahkan hingga sekarang kita juga melihat bahwa
seringkali pelayanan pastoral dipakai sebagai alat penginjilan. Sesuatu yang
membuat istilah pelayanan pastoral seringkali identik dengan istilah-istilah
penginjilan seperti ‘memenangkan jiwa bagi Kristus’, dan lain-lain.[21] Walaupun
cara pandang ini bisa dipahami mengingat gereja tentu juga perlu melakukan
pelayanan pastoral secara internal, cara pandang ini seperti dikatakan di atas,
tidak akan menolong gereja dapat melayani orang miskin dalam arti yang
sesungguhnya. Dengan kepentingan pelayanan pastoral sempit seperti digambarkan
di atas, hampir tidak mungkin bagi gereja melihat persoalan orang miskin dan kemiskinan
sebagai titik berangkat dalam melakukan pelayanan pastoral. Alasannya karena
persoalan orang miskin adalah persoalan yang terjadi di domain publik dan bukan
di domain privat (gereja). Sebab itu kalaupun gereja dalam pelayanan pastoral
bersentuhan dengan orang miskin dapat dipastikan bahwa pelayanan itu lebih
diarahkan untuk menjadikan orang miskin hidup sebagai warga gereja yang baik
ketimbang membebaskan mereka dari kemiskinan. Sesuatu yang tentu bertentangan
dengan tujuan pelayanan pastoral terhadap orang miskin yang pada dasarnya
dimaksudkan mengeliminir bahkan menghapuskan dampak buruk kemiskinan dan
kemiskinan itu sendiri sebagai fakta/skandal yang merusak hidup
manusia/individu.
Dengan demikian, agar pelayanan pastoral gereja benar-benar menjawab persoalan
orang miskin, pelayanan pastoral gereja yang sangat bersifat gereja sentris
perlu ’dibaptis’ menjadi satu jenis pelayanan publik. Maksudnya satu pelayanan
yang berbasis gereja namun lebih terorientasi pada kepentingan publik dimana
persoalan kemiskinan menjadi tantangan pelayanan.
Kedua, dalam melayani
orang miskin, gereja harus sadar bahwa diperlukan bentuk-bentuk dan
pendekatan-pendekatan pelayanan yang lebih holistik. Seperti dikatakan di atas,
pelayanan pastoral gereja seringkali lebih memperhatikan dan mengutamakan
hal-hal yang bersifat spiritual. Kalaupun di sana sini ada perhatian pada
hal-hal materi, perhatian tersebut bersifat sekunder. Padahal sebagaimana kita
tahu, persoalan kemiskinan sendiri merupakan masalah yang kompleks. Orang-orang
miskin tidak saja miskin secara spiritual, tetapi terutama mereka juga miskin
secara materi. Mereka tidak hanya memerlukan perhatian secara spiritual tetapi
juga memerlukan perhatian secara material. Dengan demikian kalau pelayanan
pastoral gereja seperti dikatakan di atas hanya memperhatikan segi-segi
spiritual tentu saja pelayanan itu kurang bermanfaat bagi orang miskin. Karena
itu dalam pelayanan pastoral terhadap orang miskin perhatian terhadap hal-hal
yang bersifat material perlu juga dikedepankan. Perhatian terhadap hal-hal yang
bersifat material ini dapat dilihat sebagai bentuk pelayanan nonverbal yang
pada prinsipnya melengkapi pelayanan-pelayanan pastoral yang umumnya bersifat
verbal.[22]
Ketiga, dalam melayani
orang miskin, gereja perlu melampaui pendekatan-pendekatan pastoral yang semata
diarahkan pada individu. Gereja juga perlu memikirkan bentuk-bentuk pelayanan
pastoral yang bersifat sosial/politis dalam mentransformasi masyarakat.
Sebagaimana kita tahu, terutama karena pengaruh asumsi ilmu-ilmu
psikologi/psikiatri, pelayanan pastoral dalam sejarahnya cenderung melihat
manusia dalam arti individu sebagai sumber masalah sekaligus sasaran pelayanan
pastoral. Meminjam istilah dalam dunia filsafat, individu dalam hal ini menjadi
objek formal sekaligus objek material pelayanan pastoral. Kenyataan seperti ini
menyebabkan gereja kurang sensitif melihat bahwa dalam pelayanan pastoral,
sebenarnya aspek-aspek sosio-politis juga perlu mendapat perhatian.[23] Itulah
sebabnya kalaupun kemudian dalam pelayanan pastoral gereja ada perhatian pada
aspek-aspek sosio-politis, maka meminjam istilah Robert Solomon, perhatian
tersebut lebih didasarkan pada perspektif individu membentuk
masyarakat/komunitas. Satu perspektif yang pada akhirnya juga mengarah pada
kurangnya keseriusan menagani segi-segi sosio-politis dalam pelayanan pastoral.[24] Padahal
seperti dikatakan Kemp dalam pelayanan pastoral terhadap orang miskin,
perhatian terhadap kondisi dalam komunitas orang miskin dan tindakan-tindakan
sosial perlu dilakukan sama baiknya dengan perhatian terhadap individu.[25]
Dari pendapat ini jelas ada kesadaran bahwa pelayanan pastoral terhadap orang
miskin merupakan satu bentuk pelayanan yang seharusnya dilakukan dalam dua
ranah. Yang pertama, ranah sosial-politik dan yang kedua ranah individu. Dalam
ranah sosial-politik pelayanan pastoral diarahkan untuk meningkatkan kesadaran
kritis dan memampukkan orang miskin melawan berbagai dampak buruk kemiskinan.[26] Perhatian
pada dua ranah ini harusnya dilakukan secara seimbang dalam pelayanan pastoral
terhadap orang miskin. Sesuatu yang penting karena seperti dikatakan Heitink:
“suatu pastorat yang hanya menyibukkan dirinya dengan memelihara dan menambal
sulam para korban, dan tidak berbuat apa-apa unutk menyadarkan manusia dan
mengubah serta membaharui masyarakat, adalah pastorat yang pada dasarnya
mendukung dan memperkokoh keadaan yang sedang berlaku.”[27]dengan
kata lain jika gereja dalam hal ini ingin hadir secara bermanfaat dalam
melakukan pelayanan pastoral terhadap orang miskin, gereja perlu melakukan apa
yang selama ini dalam dunia pelayanan pastoral biasa disebut dengan pelayanan
pastoral individu dan pelayanan pastoral sosial/politis secara bersama-sama.
Adapun alasan mengapa kedua bentuk pelayanan pastoral di atas perlu dilakukan bersama-sama
dalam melayani orang miskin dikarenakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa
manusia sebenarnya adalah makhluk relasional. Manusia buakanlah makhluk otonom
dalam arti bebas dari pengaruh lingkungan seperti keyakinan-keyakinan dari masa
lalu, yang juga turut mempengaruhi paradigma pelayanan pastoral. Keberadaan
manusia/orang miskin dalam hal ini tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri
tetapi juga oleh lingkungan yang membentuknya. Dengan demikian untuk menolong
orang miskin sebenarnya juga diperlukan kesediaan untuk mengeliminir
faktor-faktor eksternal yang memiskinkan lewat pelayanan pastoral sosial,
disamping bentuk-bentuk pelayanan pastoral individu yang sejauh ini sudah
dilakukan gereja.[28]
Kelima, dalam melakukan
pelayanan pastoral, gereja perlu membebaskan diri dari paradigma nilai
masyarakat kelas menengah dan menjadi lebih sensitif terhadap paradigma nilai
orang miskin. Sensitifitasnya ini menyangkut bagaimana gereja dari segi
pendekatan dan metode, memperhatikan hal-hal yang cocok dan tidak cocok dengan
kepentingan pelayanan pastoral bagi orang miskin.
Perlu disadari bahwa pada tataran praktis, tidak semua pendekatan dan metode
pelayanan pastoral yang sejauh ini dipraktikkan gereja dapat begitu saja
diterapkan untuk kepentingan orang miskin. Banyak pendekatan dan metode
pelayanan pastoral justru bertolak belakang dengan apa yang seharusnya
diberlakukan untuk kepentingan orang miskin mengingat asumsi nilai masyarakat
kelas menengah yang terkandung di dalam pendekatan dan metode tersebut. Itulah
sebabnya Clinebell misalnya kemudian menilai bahwa metode introspektif dalam
pelayanan pastoral bagi orang miskin tampaknya hanya membuang-buang waktu saja.
Budaya orang miskin, demikian Clinebell, tidak cocok dengan pendekatan yang
demikian.[29] Sebab
itu gereja perlu memikirkan bentuk dan metode pendekatan pelayanan pastoralyang
lebih sesuai dengan kebutuhan orang miskin. Sesuatu yang membutuhkan pendalaman
khusus karena sebenarnya orang miskin di berbagai tempat memberikan tanggapan
dan reaksi yang berbeda atas fakta kemiskinan. Preferensi nilai berbeda yang
hidup dan berkembang dalam tiap komunitas orang miskin dalam hal ini ikut
mempengaruhi tanggapan mereka atas kemiskinan. Preferensi-preferensi nilai
inilah yang perlu diperhatikan dalam merumuskan metode dan pendekatan pelayanan
pastoral yang berguna bagi orang miskin. Sebagai contoh hal ini antara lain
bisa kita lihat dari upaya yang dilakukan orang-orang seperti Anthony Yeo.
Karena menyadari kondisi orang-orang Asia yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan,
Yeo menegaskan bahwa konseling pastoral terhadap orang Asia perlu dilakukan
dengan memperhitungkan perspektif yang bersifat nonpatologis dan penggunaan
metode yang lebih direktif.[30] Contoh
lain juga bisa dilihat dalam apa yang dilakukan Robert Solomon. Dengan
kesadaran bahwa cara berpikir orang melayu (baca: orang miskin) lebih
mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, Solomon mengusulkan
perlunya melakukan konseling dari sudut pandang komunitas.[31] Tentu
saja upaya-upaya semacam ini perlu lebih banyak dilakukan gereja dalam rangka
menemukan metode dan pendekatan pelayanan pastoral yang lebih sesuai dengan
kebutuhan orang miskin yang dilayani mengingat setiap komunitas miskin memiliki
karakteristik, pandangan, nilai, serta keyakinan yang berbeda-beda.
Kesimpulan
Dari gambaran di atas
terlihat betapa pentingnya kita mengembangkan pelayanan pastoral dalam gereja
bagi masyarakat khususnya bagi orang miskin. Di sinilah dituntut peran kita
untuk mewujudkan kasih kita kepada sesama. Terlebih lagi kepada orang-orang
yang terpinggirkan, menderita, dan miskin, seperti halnya kaum pemulung. Ini
tentu tidak terlepas dari tujuan Allah menciptakan manusia segambar dengan Dia.
Manusia diciptakan dengan harkat dan nilai yang sama, sehingga Dia tidak
menghendaki ada manusia yang hidup dalam kemiskinan atau penindasan, sehingga
tidak mampu menjalankan hidupnya sebagai manusia yang bermartabat.
Gereja saat ini
perlu mencari bentuk-bentuk pelayanan pastoral yang bisa menjawab
masalah-masalah kekinian. Gereja dalam hal ini perlu memikirkan bentuk-bentuk
pelayanan pastoral berdasarkan karakteristik persoalan/konteks dimana gereja
ada, dalam rangka mentransformasi kondisi kehidupan manusia yang tidak
seharusnya menjadi sesuatu yang lebih baik/ideal sesuai tuntutan injil.
Daftar Pustaka:
Abineno,
J.L. Ch., Pedoman Praktis Untuk
Pelayanan Pastoral, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-3, 2000.
Bartonaldo,
Sara., “Pastoral Care in Latin
America,” International Perspectives on Pastoral
Beek, Aart van. Pendampingan Pastoral. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001.
Counseling, ed. James
Reaves Farris, New York: Haworth Press, 2002.
Gutierrez,
Gustavo, The Power of the Poor in
History, trans. Robert R Barr, New York: Orbis Book, 2nd printing, 1983.
, A Theology of Liberation, trans. Sister Caridad Inda & John
Eagelson, New York: Orbis Book, 8 th Printing, 1973.
Haarsma,
F., Pastorat dalam dunia, Seri
Pastoral no 181, Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1991.
Heitink, Pastorat dan Politik, Seri Pastoral no
140, penyadur J. Thahja Putra, Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1987.
Kemp, Charles, Pastoral Care wit the Poor, Nashville:
Abingdon Press, 1972.
Pattison,
Stephen., A critique of Pastoral
Care, London: SCM Press, 1988.
Solomon,
Robert., “The Future Landscape of Pastoral Care and Counseling,” International
Perspectives on Pastoral Counseling, ed. James Reaves Farris, New York: Haworth
Press, 2002
Van
Beek, Aart., “Pastoral Counseling in
Indonesia,” International Perspectives on Pastoral Counseling, ed. James
Reaves Farris, New York: Haworth Press, 2002
Wilson,
Michael., A Coat of Many Colours: Pastoral Studies of the Christian Way of
life, London: Epworth Press, 1988.
Yeo,
Anthony, Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-6, 2007.
[1] J.B.
Banawiratma. dan J. Muller. Berteologi
Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 25.
[2] Jorge
C Bravo. “Teologia-Rakyat.” Dalam Teologi
oleh Rakyat ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm.56
[3] Michael
Wilson, A Cost of Many Colours:
Pastoral Studies of the Christian Way of Life (London Epworth Press,
1988), hlm. 110.
[4] Ibid., hlm. 111.
[5] Michael
Wilson, Op.Cit., hlm. 110.
[6] Howard
Clinebell, Tipe-Tipe Dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral (terj.) (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002), hlm. 17.
[7] Abineno,
J.L. Ch. Pedoman Praktis untuk
Pelayanan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm.43
[8] Daniel
Susanto, “Pelayanan Pastoral Holistik.”,
(Jakarta: GKI Menteng, 2008), hlm. 27-28.
[9] Ibid., hlm 46.
[10]Howard
Clinebell. Op.cit, hlm. 53-54.
[11] Daniel
Susanto, Op.cit., hlm. 35-37
[12] Gustavo
Gutierrez, A Theology of Liberation,
(Maryknoll: Orbis Book, 1973), hlm. 291-302.
[13] Howard
Clinebell, Op.cit, hlm. 74.
[14] Stephen
Pattison, A Critique of Pastoral
Care (London: SCM Press, 1988), hlm. 101-102.
[15] Gustavo
Gutierrez, The Power of The Poor in
History, (Maryknoll-New York: Orbis Book, 2nd Printing 1983), hlm.
27.
[16] Sara
Bartonaldo, “Pastoral Care in Latin
America,” International Perspectives on Pastoral Counseling, (New
York: Haworth Press, 2002), hlm. 192-193.
[17] Howard
Clinbell, op.cit., hlm. 34.
[18] Gustavo
Gutierrez, loc.cit.
[19] Edward
Wimberley, Pastoral Care in the
Black Church (Nashville: Abingdon Press,1983), hlm. 17.
[20] J..L.Ch
Abineno, Op.cit, hlm. 43-45.
[21] Aart
van Beek, Op.cit, hlm.
167.
[22] J.L.Ch.
Abineno, op.cit., hlm. 45-46.
[23] Stephen
Pattison, Op.cit., hlm. 82-83.
[24] Robert
Solomon, “The Future Landscape of Pastoral Care and Counseling in the Asia
Pacific Region, “International perspectives
on Pastoral Care and Counseling (New York: Haworth Press, 2002), hlm.
108-109.
[25] Charles
Kemp, Pastoral Care with The Poor (Nashville:
Abingdon Press,1972), hlm. 83.
[26] F.
Haarsma, Pastoral dalam dunia (Yogyakarta:
Pusat Pastoral Yogyakarta, 1991), hlm. 24-25.
[27] Heitink, Pastorat dan Politik (Yogyakarta:
Pusat Pastoral Yogyakarta, 1987), hlm. 12-13.
[28] Michael
Wilson, Op.cit., hlm. 21.
[29] Howard
Clinebell., Op.cit., hlm.
124-125.
[30] Anthony
Yeo, Konseling: Suatu pendekatan
Pemecahan Masalah (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 4-7
[31] Robert
Solomon, op.cit, hlm 113.